Pas lagi meeting di kantor bulan lalu, badan gue tiba-tiba kayak ada yang error. Di antara semua yang bergantian bicara, gue cuman diem aja di pojokan, duduk sambil mikir, ‘Ini badan gue kenapa ya?’ Lama kelamaan, gue merasa kalau gue susah napas. Gue cuma sanggup ngomong dalam kalimat yang pendek dan patah-patah. Rasanya kayak lagi berenang dan gue ditenggelamkan berkali-kali. Tapi, ini di daratan.
Begitu kelar meeting, gue minta Fahri buat mijitin.
Hipotesis yang Fahri kasih: gue kena angin kadaluarsa.
Sejujurnya, gue juga nggak tahu apa itu angin kadaluarsa. Emang bener sih kayak ada sesuatu yang mengganjal di rongga dada sebelah kanan gue. Feeling gue mengatakan, sesuatu ini yang menyulitkan paru-paru gue buat menyalurkan udara. Tapi, apa bedanya masuk angin biasa dengan angin kadaluarsa? Apakah angin ini kalo kita makan bakal bikin mencret-mencret? Gue nggak tahu, kawan…
Fahri (sambil mijit): Jadi… hoeekk… gue yakkh… hoeek… in… nih.. lo masuk angin… hoeeekk..
Gue: I… ini kenapa gue yang masuk angin, lo yang sendawa ya?
Fahri: Ah, lo mah gak ahli… Hoeeekk! Emang gin… HOEEEKK?! Kalo udah jagghhhOEEKK!!
Pas gue nengok, di pundak gue ada tai tikus.
Beberapa hari berlalu dan semakin lama, rongga dada gue semakin sakit. Gue bahkan nggak bisa tiduran telentang. Supaya bisa tidur, gue harus menghadap kanan dan menekan guling ke dada dengan keras, biar sakit di bagian dalam tubuh tertutup rasa sakit benturan fisik dari guling.
Sampai akhirnya, gue udah gak tahan lagi. Napas gue kayak curut yang lehernya kejepit. Gue memutuskan untuk ke rumah sakit aja, Setelah melakukan pendaftaran, mengisi tanggal lahir, berat dan tinggi badan, gue menyerahkan berkas ke suster.
‘Kamu mau ke dokter Christoph?’ tanya susternya. ‘Kenapa?’
Di sini gue pengin jawab, ‘Justru saya ke rumah sakit karena pengen tahu ini kenapa, Sus.’ tapi niat itu gue batalkan. Gue hanya menjawab dengan: ‘Sesak, Sus.’
Jawaban gue mengubah raut wajah si suster. Gerakannya menjadi seperti di-fast forward. Dia buru-buru merapikan berkas, lalu menunjuk satu kursi dan menyuruh gue duduk di sana. Setelah mengecek tensi, dia menjepitkan sebuah alat mirip stapler ke jari telunjuk gue. Belakangan gue tahu itu adalah alat pendeteksi kadar oksigen tubuh.
‘Sebentar ya,’ katanya, Dia kemudian masuk ke ruangan dokter, lalu menyuruh gue masuk.
Dan di sini lah semuanya dimulai.
‘Siang, Mas,’ kata dokter Christoph, duduk dan menjabat tangan gue.
‘S-siang, Dok.’ Seperti di luar, gue menjelaskan kronologis kenapa gue megap-megap kayak gurame mau digoreng. Penjelasan gue langsung membuat si dokter berdiri, meletakkan stetoskopnya ke dada gue, lalu pindah ke punggung, seperti mencari-cari sesuatu. Lalu, menjepitkan alat pendeteksi oksigen ke jari gue, versi lebih keren dari yang lima menit lalu suster gunakan. Semua ini dia lakukan tanpa bersuara sama sekali.
‘Gimana, Dok?’ tanya gue, berusaha memecah keheningan.
‘Nggakpapa ya…’ Dokter Christoph kembali duduk. Dia menatap gue, lalu mengembuskan napas panjang. Setelah diam sebentar, dia menengok ke suster dan melanjutkan, ‘Kasih dia kursi roda dan oksigen.’
Gue belum mencerna apa yang terjadi, tahu-tahu di depan gue udah ada satu kursi roda dan tabung oksigen segede gaban. Mirip lah kayak tabung oksigen di penjual ikan hias. Bedanya, selang di tabung penjual ikan dimasukin ke plastik buat ngasih udara. Sementara selang gue nyolok ke lubang idung.
‘Nggakpapa ya… ini bisa sembuh, kok,’ ulang dokter. ‘Kamu langsung rontgen paru-paru, lalu rekam jantung. Nanti dibantu suster ya.’
Gue pengin jawab ‘TIDAK! LEPASKAN SAYAA!’ lalu lari kabur ke luar rumah sakit dan ikut trek-trekan biar dramatis kayak di film-film, tapi kok kesannya lebay. Sambil stay cool, gue duduk di kursi roda, menuruti semua prosedur. Lalu bersama suster kami jalan ke radiologi.
Di sepanjang koridor, gue kepikiran sesuatu.
Sejak kecil, gue gak pernah suka rumah sakit. Aroma obat-obatan selalu bikin gue mual. Belum lagi konsep rumah sakit yang… ngumpulin orang sakit di satu tempat. Bayangkan, ada berapa ratus orang di sini? Itu artinya, ada berapa ratus ribu virus dan bakteri yang ngumpul jadi satu? Oh, mikirin hal ini aja bikin gue makin pengen muntah. Belum lagi hal-hal lain yang menakutkan seperti alat bedah, bunyi ritme perekam jantung, gesekan roda dari ranjang pasien yang didorong terburu-buru, menuju ruang operasi.
Di sisi lain, tiap ke mal, gue suka ngebayangin duduk di kursi roda. Kayaknya seru aja gitu. Kita gak perlu capek jalan kaki ngelilingin mal sampe varises. Tinggal duduk, lalu minta pacar dorongin.
Masalahnya, di perjalanan menuju tempat rontgen, gue menyadari bahwa pandangan orang terhadap mereka yang duduk di kursi roda itu berbeda. Lucu bagaimana tempat kita duduk, ternyata memengaruhi pandangan orang kepada kita. Orang yang duduk di kursi plastik, misalnya, akan dianggap sebagai orang yang low profile dan mudah bergaul. Mereka yang duduk di kursi berbusa akan dianggap sebagai bos. Sementara yang duduk di kursi roda, adalah pesakitan.
Bagi orang normal, selalu ada yang salah dari mereka yang duduk di kursi roda.
Secara refleks, kita dituntut untuk merasa iba kepada mereka. Menahan ekspresi, memberi jarak, menjaga tingkah.
Maka itu lah yang gue dapatkan dari orang-orang ini.
Sewaktu berangkat tadi, pandangan mata bapak bermasker itu seperti bilang, ‘Yakin orang kayak kamu mau ke dokter paru? Gamau nyari paru di Rumah Makan Padang aja?’ Sekarang, saat gue duduk di sini, dan mata bertemu mata, dia malah memalingkan wajah. Seolah bilang: ‘Wah… salah bantal nih gue kenapa tuh dia?’
Rontgen dan rekam jantung baru aja selesai. Gue juga sudah menghubungi kakak untuk menemani. Sekaligus jadi orang yang ikut mendengarkan diagnosis dokter, kalo-kalo gue bego dan gak ngerti. Ternyata, menurut dokter Christoph, gue nggak kena angin kadaluarsa (ya iyalah), tetapi pneumothorax.
‘Jadi, paru-paru kamu yang sebelah kanan bocor.’ Dokter mengepalkan tangan. ‘Sekarang ukurannya tinggal segini.’
‘Bo-bocor? Paru-paru saya bocor, Dok?’
Hening.
Dokter mengangguk pelan.
‘Terus nambelnya gimana?’
Hening.
Kayaknya, gue emang terlalu bego urusan medis. Saat itu, si dokter menjelaskan panjang lebar tentang kondisi gue. Tapi, yang gue tangkap adalah paru-paru sebelah kanan gue bocor (entah apa penyebabnya), dan itu membuat ada udara yang keluar dan memenuhi rongga dada gue. Udara yang ‘nyangkut’ ini, akhirnya memberikan tekanan yang bikin paru-paru gue mengempis.
Satu-satunya jalan untuk mengembalikan keadaan paru-paru gue adalah dengan membedah rongga dada gue, lalu memasukkan selang ke sana. Tujuan: mengeluarkan udara yang ada di rongga dada, sehingga paru-paru gue tidak tertekan lagi. Sementara untuk membuat paru-paru gue mengembang kembali adalah dengan… nggak ada. Nggak bisa ditambal. Apalagi diganti yang tubeless. Gue cuma bisa berharap tubuh gue menyembuhkan sendiri bagian yang rusak, kemudian pelan-pelan berfungsi kembali seperti sebelumnya.
Jadilah sore itu gue langsung masuk ke ruang pembedahan.
Ruangan yang belum pernah gue masukin sejak lahir.
--
Udah jadi hal yang wajar bagi seseorang takut dengan pembedahan. Alat-alat yang terbuat dari besi itu, sobekan, darah, rasa sakit setelahnya. Nggak bakal ada orang di dunia ini yang seneng ketika badannya dibedah. Korbannya Sumanto dulu juga pas mau dimutilasi pasti akan menjerit ‘TOLONG!’ dan bukannya ‘UYEEE!’
Tahu apa yang paling males dari melakukan operasi pembedahan?
Ketika orang-orang lain pada nanya, ‘Lo nggak takut?’
Apa yang mereka harapkan dari pertanyaan ini? Masa gue harus jawab: Nggak. Gue hobi kok badan gue digunting-gunting. Tiap sore gue melakukannya bareng kerabat.
Tentu, melihat keluarga gue di sebelah, gue harus tetap cool dan santai. Meskipun dalam hati nanya, ‘Ini gak ada cara yang lain? Roy Kiyoshi aja bisa manggil dajjal. Masukin selang ke badan doang mah dia jago pasti...’
Sayangnya, gue gak kenal Roy Kiyoshi.
Selepas magrib, dokter bedah gue datang. Kursi kini berganti ranjang. Pintu ditutup. Dokter mengenakan masker dan sarung tangan. Asistennya satu orang. Baju gue dibuka. Gue memalingkan wajah, gamau liat proses pembelekan dada ini.
Dokter memegang dada gue, dan gue cuman bisa pasrah. Laki-laki macam apa gue ini.
‘Disuntik dulu ya,’ kata dokternya, menyentil-nyentil ujung jarum bius.
Sesuai perintah dokter, gue menarik napas dalam-dalam supaya otot gue lemas.
Seiring gue menarik napas panjang, jarum suntik menembus kulit. Cairan dingin mulai terasa masuk.
Rasanya?
Sakit.
Setelahnya, gue nggak merasakan apa-apa sama sekali. Gue cuman bisa mendengar obrolan dokter dan asistennya. Persis seperti di film-film.
‘Gunting!’
‘Ini, Dok.’
Lalu gue merasakan kulit gue tertarik, dan ada bunyi kres.. kres.. kres… seperti orang menggunting kulit ayam. Bedanya ‘ayam’-nya diganti ‘GUE’ dan guenya ‘MASIH IDUP’.
‘WSD!’
‘Siap!’
‘Gunting lagi! Ini kepanjangan! Air! Air! Mana airnya?!’
Gue hening.
Dokternya hening. Seisi ruangan hening.
‘Tahan ya, ini sakit sedikit.’
Gue merasa ada selang yang dimasukkan ke dada gue. Lalu selang ini didorong ke dalam. Gue menahan napas. Meremas pinggiran ranjang sekencang-kencangnya.
Rasanya?
Sakit, MONYET.
Lalu pembedahan diakhiri dengan penjahitan dan penutupan dengan plester. Resmilah kini di badan gue ada selang yang menyambung ke sebuah kotak mirip aki. Gue udah kayak Ironman versi bengkel.
--
Berdasarkan keputusan dokter, gue harus dirawat inap. Selain biar bisa didampingi fisioterapis (karena nggak ada obat buat paru-paru gue selain latihan napas), dokter juga masih mencari penyebab penyakit gue ini. Alasan lain: biar orang lain gak takut karena ngeliat ada manusia bawa aki di badannya.
Malam pertama di rumah sakit adalah malam paling sakit yang pernah gue rasakan. Selain karena risih, efek bius yang abis ngebuat sakitnya tuh kayak… kayak badan lo dilobangin, terus dimasukin selang. Gitu deh. Gue jelas nggak bisa tidur ngadep kanan kayak biasanya, karena ada selang yang nempel di sana. Gue juga nggak boleh gerak-gerak dulu karena takut infeksi dan pendarahan dalam.
Berhubung gue nggak bisa ngapa-ngapain, pendengaran gue jadi lebih sensitif. Gue jadi tahu langkah kaki suster yang masuk buat nyuntikin antibiotik pukul setengah dua pagi. Bunyi gorden yang digeser oleh pasien paling ujung. Dan suara-suara menakutkan dari televisi dini hari.
Posisi ranjang gue yang berada di dekat jendela, ngebuat gue nggak bisa ngeliat layar tv. Alhasil, gue cuman bisa denger suaranya doang. Setannya, acara tv dini hari tuh ngaco banget. Berikut adalah kumpulan suara yang gue catat yang bikin gue nggak bisa tenang:
‘AAAAHHH… TOLONG! SAKIT! SAKIT! ASTAGHFIRULLAH! JANGAN BUNUH SAYA!’
‘Kawinkan dia dengan Genderuwo! Getah mangga ini akan mengalahkannya dari santet!’
‘Huahahahaha!’
‘Akan kuhabisi nyawamu!’
‘Pak Ustad… tolong pak ustad!’
Belum lagi di antara suara-suara ini, pasien di seberang suka mengerang kesakitan. Seketika niat untuk tidur dikalahkan niat menangis semalaman.
--
Penderitaan ini berakhir setelah delapan hari di rumah sakit. Selama di sana, setiap hari, kerjaan gue hanya mengatur napas. Rasanya aneh banget ketika kita harus merasakan napas setiap saat. Kadang latihan pernapasan kayak ahli tai chi, kadang latihan niup balon. Ya, dokternya sendiri yang nyuruh gitu.
Dokter: Nanti anak ibu beliin balon ya…
Nyokap: HAHAHAHAHAHA!
Dokter: Saya nggak bercanda.
Hening.
Ya, gimana ya. jangankan nyokap. Begitu gue nitip temen-temen kantor buat bawain pas jenguk aja, selalu ada ketawanya dulu.
‘Lo ada pantangan nggak, Di? Mau nitip apa? Buah-buahan atau kue bisa kan?’
‘Gue nitip balon ya.’
‘HAHAHAHAHA!’
Setan.
Kenyataannya, pasien pneumothorax kayak gue emang dianjurkan untuk melakukan ‘terapi balon’ ini. Soalnya, dibandingkan latihan napas biasa, dengan balon ini, gue jadi ngerasa lebih happy aja gitu. Gue jadi bisa melihat langsung perkembangan hasil latihan gue dari hari ke hari. Seneng juga lama-lama ngeliat makin hari, makin banyak balon di ruangan, dan setiap harinya gue berusaha bikin balon itu jadi lebih besar dari sebelumnya.
Gue masih ingat balon pertama yang gue tiup. Warnanya ungu. Dan gue butuh waktu 15 menit sampai ukurannya mencapai sekepalan tangan. Kalo sekarang, gue udah meningkat pesat. Bisa bikin segede balon McD hanya dalam waktu 1 menitan. Kadang, saking semangatnya balonnya malah pecah dimulut. Guenya loncat kaget. Takut ganti dari paru ke jantung, sekarang gue memutuskan untuk mengurangi latihan balon ini.
Setelah dicari tahu, gue mengidap pneumothorax gara-gara ada infeksi TB di bagian paru. Misterinya, dokter masih gatau apa penyebab gue terkena TB Paru. Soalnya, kebanyakan orang terkena TB karena akumulasi asap rokok, dan gejalanya batuk-batuk. Gue sendiri bukan perokok dan nggak pernah batuk.
Well, all in all. I’m getting better now guys!
Sekarang, gue cuma butuh rutin latihan pernapasan dan berjemur setiap pagi selama 6 bulan masa penyembuhan. Gue nggak bisa salto-salto dan harus jaga gaya hidup karena paru-paru gue masih bisa kempes lagi.
Satu hal yang paling gue sesali adalah: tahun ini gue nggak puasa.
Baru kali ini gue ngerasain nggak puasa satu bulan full. Nggak bisa lari-lari pas taraweh di masjid malem-malem. Nggak bisa keliling naik sepeda subuh-subuh setelah sahur. Berasa ada yang kurang aja gitu. Ada perasaan aneh ketika gue harus makan siang sendirian. Mudah-mudahan setelah 6 bulan nanti, gue sanggup gantinya deh. Hehehe.
Hal yang bisa gue petik dari kejadian ini adalah: gue nggak mau pelit lagi sama diri sendiri. Sejak dulu, gue emang demen banget ngeforsir badan. Nahan-nahan makan buat nabung beli ini lah. Hemat itu lah. Kerja sampe gila lah. Eh, jadinya malah tepar gini. Nyokap juga sempet ngasih wejangan di antara obrolan malam di rumah sakit, Katanya, ‘Ingat sakit kamu sekarang. Kamu dikasih kelemahan satu organ, tapi kamu sebetulnya masih dikasih kesehatan banyak. Hitung organ-organ lainnya coba.’ and that’s really hit me in the face.
Waduh, panjang banget ya postingan kali ini.
Have a good life everybody!
Minal aidin wal faidzin! \(w)/