Quantcast
Channel: Kresnoadi, beserta rambutnya yang tidak kribo.
Viewing all 206 articles
Browse latest View live

Sebuah Pengakuan: Gue Nge-fans Sama Lucinta Luna

$
0
0

Gue baru aja nonton video Lucinta Luna.
Iya, gue juga heran.

Efeknya? Sekarang tenggorokan gue pedes. Apalagi karena gue nontonnya sambil makan richeese level 3. Pertama banget tahu makhluk yang namanya Lucinta Luna tuh saat video sama Deddy Corbuzier yang rame itu. Temen-temen di kantor pada bilang, ‘Di lo harus nonton! Deddy Corbuzier digebukin!’

Ya siapa juga yang nggak syok denger Deddy Corbuzier digebukin. Gue kan pengin tahu… kalo orang botak kena jitak jadinya gimana (lho). Awalnya gue pikir, gila juga. Ternyata ada orang yang sebarbar itu sampe berani ngajakin Deddy Corbuzier berantem. Pas gue cek videonya… ternyata beneran barbar.

lucinta luna vs deddy corbuzier

 Link video Lucinta Luna dan Deddy Corbuzier: https://www.youtube.com/watch?v=HP9qaE-wjno


Yang kebayang di otak gue, siapapun yang berani ngajak berantem Deddy Corbuzier pasti orangnya segede Ade Ray. Lo bayangin aja, Deddy Corbuzier gitu lho! Kalo orangnya cuman sekelas pak haji bolot, yang ada langsung disikat balik.

‘Maju lo, Ded!’ pak haji bolot nunjuk kepala Deddy.
‘Sini kalo berani!’
‘Hah? Ngapa naek bis dah!’

Ealah, ternyata sosok pemberani itu cewek cuy! Namanya Lucinta Luna! Sejak saat itu gue langsung bergumam dalam hati: ‘Hmmmm. Keren juga orang ini.’

Kekaguman gue akan Lucinta Luna hanya berlangsung dalam diam. Gue nggak tahu siapa dia, apa latar belakang keluarganya, dan apa profesi sebenarnya. Sesekali, gue nemu video dia teriak-teriak di parkiran. Gue inget di situ dia nunjuk seorang laki-laki seraya menjerit, ‘EAAAAKKKK! AAAKKKHHHH!!’ gitu deh.

Bahkan huruf di keyboard tidak mampu menjelaskan suara raungannya yang maha dahsyat itu.

Gue semakin berdecak kagum.

Sampai kemaren malem, di Timeline twitter gue ada potongan video dia yang paling baru. Lucinta Luna lagi nyanyi-nyanyi sama Boy William… dan nyangkut di jok mobil.

Sungguh video yang tidak bisa diungkapkan kata-kata. (Buat yang penasaran, tonton di sini)

Tidak ingin mendapat informasi yang sepotong, gue langsung cari channel-nya Boy William di Youtube. Ternyata, di sana gue mendapatkan dua video yang berbeda. Video pertama yang gue tonton adalah Lucinta Luna minum alkohol yang ditemani Boy ngopi. Mereka ngobrol. Di sana Lucinta Luna bilang kalau dia nggak suka dibandingin sama Ayu Ting Ting. Ya, Lucinta! Gue setuju! Tidak ada satupun manusia yang suka dibanding-bandingin! Pas bayi gue juga benci ketika ada orang yang bilang ‘Iiii idung kamu mirip mama deeeeh.’

Kalo aja gue udah nonton video Lucinta waktu itu, pasti gue protes. Sayang, saat itu gue hanya sanggup menjerit, ‘Oek! Oeeek!’

Dari situ arah pembicaraan berlanjut. Lucinta mengutarakan kekesalannya karena diomongin orang-orang. Dia cerita akan membalas semua orang yang pernah bikin dia sakit hati. Sampai akhirnnya, Boy nanya, ‘Apakah yang lo tampilkan ini persona? Atau the real Lucinta Luna?’

Luna jawab: AAAAKWWRRKKK!
Boy: Gue tahu lo suka gimmick
Luna: EAAAAAWKKKKKK!!
Boy: ...
Luna: EAAAAKKKKKKKKK!!! AWWWKKKKK!!

Menonton video itu ngebuat pupil gue membesar. Senyum terkembang. Dan dengan ini gue menyatakan ngefans sama Lucinta! Gila. Gue jadi sadar kalau erangan Lucinta adalah sebuah bentuk pertahanan diri. Persis kayak cumi yang nyemprotin tinta ketika ada predator, Lucinta mengeluarkan raungan yang… yang… AAAAAARRKKKKKK!

Berhubung udah jadi fans, sekarang gue nggak mau ketinggalan lagi segala hal yang berkaitan dengan Lucinta Luna. Gue pun nonton satu video lain bersama Boy William. Di video ini terkuak sudah sosok sebenarnya dari Lucinta: ternyata dia penyanyi!

Pantes dia suka teriak-teriak.

Dengan teriakannya yang kayak T-rex itu, gue yakin Lucinta Luna kalo ikut The Voice Indonesia, begitu dia nyanyi, 5 detik kemudian Armand Maulana langsung mencet tombol dan kursinya muter… 360 derajat.

Gimana enggak, gue udah menjadi saksi bahwa saking serunya Lucinta Luna nyanyi lagu Blackpink dia bisa nyungsep di jok mobil. Tidak hanya itu, dia juga bisa merayap di kaca dan langit-langit mobil sambil main game hp. Sungguh sebuah skill yang tidak mungkin dimiliki Jess No Limit sekalipun.

lucinta luna boy william

lucinta luna nebeng boy
tidak semua orang mampu melakukannya, kawan...


Video itu juga menjadi saksi bahwa Lucinta Luna sebenarnya adalah sosok yang humble dan jujur. Dia menceritakan pengalamannya saat sedang mau ke toilet, lalu dicegat fans-nya yang minta foto. ‘Kak, aku mau minta foto, tapi sendiri,’ tiru Lucinta, memeragakan jadi fans. Lalu Lucinta menjawab: ‘AAKK! GUA MAU BERAAAK!!’

Gokil. Kejujuran seperti ini lah yang membuat gue terkesima. Kok bisa ada ya orang sejahat itu yang mencaci Lucinta? Bayangin Lucinta jadi presiden. Pasti keren abis. Begitu dia keluar dari istana, ditanya reporter, ‘Bagaimana pendapat bu Lucinta tentang perkembangan harga BBM kali ini?’

‘AAAAKKK! GUA MENCRETTTT!’

Sebuah pernyataan yang eksotis, dan bikin kita makin ngefens bukan?

Bagaimana Mengatasi Mata Kering dengan Insto Dry Eyes

$
0
0

Artikel ini berisi tentang pengalaman cara mengatasi mata kering dengan insto dry eyes


--
Berbeda dengan anak yang lahir di tahun 2000-an, di masa gue, internet baru menjadi tren ketika gue SMA. Ragnarok Online adalah game yang paling banyak dimainkan. Berhubung internet masih dianggap sesuatu yang tabu, gue dan Radit harus mencari alasan supaya bisa nge-game. Alhasil, kami ke warnet setiap minggu pagi, dengan alasan yang dibuat-buat.

‘Aku lari pagi dulu ya, Bu,’ kata gue ke Nyokap, bohong.

‘Masa olahraga pake celana tidur gitu?’

Gue berhehehe, masuk kamar dan menggantinya jadi celana olahraga.

‘Aku berangkat, Bu!’

Nyokap menggelengkan kepalanya. ‘Pake sepatu dong! Kalo kaki kamu lecet gimana?’

‘Siap!’ Gue ganti sandal jadi sepatu lari.

Nyokap nyamperin gue di depan pintu, lalu memberikan headband warna biru. ‘Pake ini dong. Biar keren. Hehehe.’

‘O-oke.’

Lima belas menit kemudian gue duduk di bilik paling pojok warnet Racing Net. Bermain Ragnarok Online pakai perlengkapan olahraga. Lengkap dengan headband biru menempel di kepala. Gue jadi pemain e-sport paling sporty di Pamulang.

Di tengah hunting monster, Radit menghentikan karakter Knight-nya. Monster mumi yang sebelumnya menyerang karakter Radit, kini mengejar karakter Wizard gue. Dua kali tabok, karakter gue mati. Cupu abis.

Kepala Radit lalu menongol ke bilik komputer gue.

‘Eh, lo mending daftar Facebook, deh. Orang-orang sekarang udah nggak ada yang main Friendster tahu.’

Saat itu Facebook baru ramai masuk ke Indonesia. Berbeda dengan Friendster di mana kita bisa mengotak-atik tema laman profile, Facebook adalah media sosial murni. Masalahnya, gue kurang sreg dengan konsep media sosial. Buat apa kita temanan dengan orang yang kita kenal? Setiap hari kita bertemu orang ini di sekolah, lalu begitu sampai rumah, kita mau refreshing buka laptop, eh di timeline isinya dia lagi update status: Bru mPe Rumah nIch…

Maka di antara temen-temen SMA yang lain, gue jadi satu-satunya orang yang masih main Friendster.

Sampai gue tahu perempuan ini.

--
Udah tiga puluh menit sejak gue ngepoinprofile perempuan ini. Supaya gampang, mari kita panggil dia dengan Wanda. Dari tiga puluh menit ini, gue tahu kalau Wanda suka Sherlock Holmes, sering wall-wall-an (istilah ngobrol di Facebook) dengan Lia, Tiara, dan Juli, anggota tim basketnya. Dia juga suka meng-upload foto-foto kucing di albumnya.

‘Belum di-add juga?’ tanya Radit, membawa gelas berisi es teh dari dapur.

Gue mengambil minum, sok cool. Padahal kalau di film-film, adegan ini biasanya berakhir dengan gue yang kaget tejengkang sambil jawab: OHOHOEK! APAAN?! ENGGAK LAH, ENGGAK. AMAN. SANTAI.

Setelah itu, gue nggak pernah ke warnet sama Radit.

Setiap pulang sekolah, gue selalu duduk di bangku seberang operator Racing Net. Bilik paling dekat dengan pintu masuk. Takut ada yang memergoki gue saat ngeliatin Facebook Wanda. Saat itu, gue masih nggak punya keberanian untuk nge-add dia di Facebook. Di sekolah, kami memang bukan teman sekelas. Gue hanya beberapa kali melihat dia melewati kelas gue sambil bawa batagor. Gue tidak punya cukup alasan untuk memulai pertemanan di Facebook. Gak mungkin juga setelah gue add, gue wall dia dengan, ‘Hai, kemaren aku liat kamu bawa batagor, lho!’

Sebagaimana abg yang baru mengenal cinta, waktu berlalu begitu aja.

Tanpa sadar gue udah bengong ngeliatin Facebook-nya sampai empat jam. Profile-nya seperti portal waktu yang melempar gue ke sana kemari. Bagaimana fotonya bersama kucing itu membawa gue ke hari selasa di depan rumahnya. Dia yang duduk di bawah pohon, masih mengenakan seragam itu melempar gue ke jam pulang sekolah yang lebih larut dari biasanya. Bagaimana gue bisa masuk ke hidupnya hanya dari kalimat yang dia tulis dalam status-nya. Bagaimana salah satu status-nya membuat gue menekan kursor ke sebuah link yang berisi website pribadinya.

Dan tulisan paling atas,
adalah cerita tentang seorang cowok.

Pertanyaan-pertanyaan langsung muncul. Siapa cowok ini? Anak sekolah kah? Temen rumahnya kah? Sudah berapa lama dia menulis untuk cowok ini? Apa selama ini dia punya pacar? Tanpa mencari tahu jawabannya, gue berhenti membaca. Kursor berkedap-kedip. Gue nggak tahu harus ngapain. Rasanya kayak kejebak di laci Doraemon tanpa bisa sampai ke tujuan.

Besok paginya, gue bangun dengan mata kiri merah dan berair. Perih dan gatal. Gue langsung panik. Masa patah hati bikin gue kayak Sasuke gini? Penyakit mata gue ini, diperparah dengan legenda yang saat itu tersiar: ‘Barang siapa yang menatap mata orang yang merah, maka matanya bakalan ketularan merah juga.’

Jadilah seharian itu gue diledekin habis-habisan. Teman-teman di sekolah bilang gue keseringan ngintip orang mandi, beberapa yang lain bilang gue abis nangis karena patah hati. Berhubung mereka semua takut ketularan, jadilah mereka ngeledek tanpa berani menatap mata gue.

‘Bintitan lo ya! AHAHAHAHA!’ seru Ahmad, lalu kabur ke depan kelas.

Begitu gue kejar, dia ngelanjutin ledekannya dengan ‘…AHAHAAAAAAAAAAKKKKK! TOLOONG! PERGI! PERGI KAU!’ Seisi kelas lari kocar-kacir.

--
Penyebab mata merah itu baru ketahuan setelah gue memasuki fase bekerja. Profesi content writer mengharuskan gue menatap layar laptop delapan jam setiap harinya. Makan siang pun gue tetep duduk di depan laptop. Istirahat sambil cari hiburan dari laptop juga. Kalau bosan kerja, gue mainan hape. Begitu pulang, di kosan nonton film di laptop. Belum lagi kebiasaan nulis di malam hari buat nge-blog kayak gini. Atau dengan kata lain: KAPAN MATA GUE ISTIRAHATNYA, WAHAI JERINK SID?!

Dari situ gue tahu: bukan cuma patah hati yang bikin mata kita jadi merah.

Terlalu lama menatap gadget, laptop, dan berada di ruangan ber-AC bisa membuat mata sepet, mata pegel, dan mata perih. Tiga gejala yang gue rasakan di malam sebelum mata gue merah. Kalau udah begini, jari tangan refleks ngucek… yang mana malah bikin mata makin gatal.

Penyebab utamanya adalah mata kering.

Cahaya dari layar gadget membuat mata kita “terlalu fokus” sehingga kurang memproduksi air mata. Berdasarkan penelitian, cahaya ini bahkan menurunkan frekuensi berkedip manusia hingga setengahnya. Apa artinya? Liat layar gadget bikin mata lelah. Belum lagi lingkungan Jakarta yang polusi udaranya tinggi. Debu-debu dan kotoran di udara, nyatanya juga memengaruhi kemungkinan mata kita perih. Bukan tidak mungkin partikel kotor udara itu masuk ke mata, dan membuat infeksi di sana.

fakta unik tentang mata


Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi mata kering ini. Cara paling sederhana, ya, sebisa mungkin kurangi penggunaan gadget. Istirahat fokus makan aja, tanpa nonton di laptop. Sampe kos baca buku sambil denger lagu. Usahakan gunakan metode 20/20. Artinya, setiap 20 menit sekali, coba fokusin pandangan ke benda sejauh 20 kaki (6 meter), selama 20 detik.

Masalahnya, buat orang yang bekerja di ruangan kayak gue, agak malas kalo harus keluar ruangan tiap 20 menit. Bisa-bisa ditanya bos dan disangka nggak kerja dengan benar. Kan nggak enak juga, niat kita mau sehat, eh dibilang, ‘Bolak-balik terus dari tadi, MENCRET YA?’

insto dry eyes


Jadi, ya, paling nggak kurangin aja waktu penggunaan laptop sambil siaga obat tetes mata. Kenapa pake obat tetes mata? Karena kalau dikucek, tangan kita malah akan nularin bakteri. Apalagi kalau sebelumnya kita abis makan ayam geprek level 5. Beuh, sensasinya perih banget dah. Kayak diteriakin Lucinta Luna dengan jarak 5 cm.

Berhubung penyebabnya mata kering, pastiin juga obat tetes matanya untuk yang mata kering. Kalo gue sih Insto Dry Eyes. Kenapa itu? Ya, soalnya dia insto. Dan dia dry eyes.

Penjelasan bodoh macam apa itu Adi…
Coba aja merem, lalu pikirkan “obat tetes mata”. Pasti yang kebayang insto.

cara mengatasi mata kering


Ini bukan berarti gue selalu make obat tetes mata setiap hari ya. Penggunaannya kalau udah muncul gejala tadi aja. Mata sepet, mata pegel, dan mata perih. Tinggal kasih 1-2 tetes Insto Dry Eyes, dan mata bisa segar kembali.

Well, meski udah tahu caranya, tetep harus jaga mata ya. Jangan mentang-mentang udah pake insto, lalu jadi menyiksa mata buat ngeliat gadget setiap jam. Temen gue ada tuh yang saking gilanya, sampe kerja 20 jam sehari. Bayangin. DUA PULUH JAM SEHARI. Apa dia udah belajar trik dari Deddy Corbuzier? Setiap mau kerja akan bilang ke kolega sebelahnya, ‘Agar tidak perih, aku akan mengetik dengan mata tertutup!’ lalu matanya dilakban dan make helm ke mana-mana.

cara mengatasi mata kering


Seperti halnya patah hati, mata kering mengharuskan kita untuk cepat-cepat menutup mata. Karena semakin kita memaksa untuk melihat, semakin kita merasa perih dan sakit. Meski entah kenapa, kita terus ingin melihatnya lebih lama, dan lebih lama lagi. Sama seperti saat SMA dulu, gue tidak menutup website pribadi Wanda, meski harus menahan sakitnya lebih lama. Sewaktu kerja di kantor, gue memutuskan untuk menatap smartphone, sebagai sesi istirahat dari layar laptop. Itu lah anehnya manusia: untuk sesuatu yang menyakitkan, kita bahkan tidak ingin buru-buru kehilangan.

Seperti halnya patah hati, mata kering juga meninggalkan bekas luka.

Seandainya menyembuhkan bekas luka dari patah hati semudah meneteskan sesuatu, pasti hidup akan jauh lebih mudah. Atau seandainya Insto Dry Eyes udah ada saat gue SMA, paling tidak gue bisa meneteskannya dan nggak ada lagi ledekan patah hati karena dikira abis nangis.

Dan paling tidak, gue bisa menikmati patah hati gue, sendirian.

cerita sedih kecil ini

$
0
0

Semua orang telah tidur. Lampu meja di belakang laptop gue nyalakan.
Sekarang, gue sedang tidak ingin berbasa-basi.

Gue memang dikenal sebagai orang yang cuek. Acuh. Tidak punya pakaian lain selain kaos hitam dan celana panjang. Rambut jarang ditata. Beberapa orang bertanya apakah gue sudah mandi tepat setelah gue selesai mandi. Semua hal tadi dikombinasikan dengan tingkah gue yang selalu bercanda dan tertawa. Seakan-akan, hidup gue selalu asik dan menyenangkan. Beberapa orang menyatakan hidup gue tidak punya beban dan gue mengamininya.

Maka, tulisan ini gue buat.

Dalam sebuah wawancara, Sapardi pernah bilang kalau masa awal dia menulis adalah masa yang paling berat. Banyak penerbit yang berkata bahwa tulisannya tidak masuk akal. Ini yang membingungkan Sapardi. Pasalnya, semua tulisan itu dia buat berdasarkan kisah nyata. Dari sana, Sapardi belajar bahwa fiksi lebih nyata dari fakta.

Pandangan orang tentang gue yang begini gini, dan begitu gitu, bisa jadi adalah fiksi dalam kepala seseorang. Maka, ketika gue merasa sedih, seperti halnya respons penerbit kepada Sapardi, orang jadi tidak percaya dengan apa yang gue alami.

Tulisan ini gue buat sebagai pengingat bahwa gue pernah sangat, sangat merasa sedih dan kecewa. Bagaimana gue merasa hidup ini seperti fiksi. Bagaimana piring di dapur tiba-tiba pecah. Bagaimana lampu kamar hotel tiba-tiba berkedip. Bagaimana anak laki-laki berlari di lorong rumah sakit. Bagaimana perawat memperbolehkan keluarga masuk ke ruang ICU. Bagaimana kaca lebar di lorong itu memperlihatkan Bokap yang terbaring di dalam sana. Bagaimana bunyi semua peralatan rumah sakit di sekitar Bokap. Bagaimana lantunan ayat suci dikumandangkan keluarga. Bagaimana kotak obat dibuka terburu-buru. Bagaimana alat di sekitar Bokap ditekan, diputar, dimasukkan jarum suntik. Bagaimana perawat mengusir seorang anak karena jam besuk sudah habis. Bagaimana anak laki-laki tadi keluar dari ruangan, dan berjalan gontai di lorong. Bagaimana kaus kaki biru yang dikenakan sangat tidak matching dengan suasananya. Bagaimana gue memohon agar hidup bisa di-pause sebentar karena gue butuh istirahat. Bagaimana gue berbalik badan, meringkuk di tembok sambil menangis.

Senin yang lalu, dokter menceritakan kondisi Bokap. Pembuluh darah pangkal jantungnya tersumbat total. Dia berterus terang kalau 85%, bokap tidak akan selamat. Seharusnya, kata dokter, Bokap segera dibawa ke rumah sakit jantung untuk diberi tindakan, tapi karena ini dan itu, organ yang ini begini dan yang itu begitu, kondisinya tidak memungkinkan. Bokap hanya berbaring di ranjang. Mulutnya dimasukkan alat untuk membantu pernapasan sehingga tidak bisa bicara. Lengkap dengan alat yang ini untuk membantu ini, dan alat yang itu untuk membantu itu.

Sialnya, kondisi ini ditambah dengan pekerjaan kantor yang tidak kunjung selesai. Masalah ini yang harus diselesaikan dengan begini, dan masalah itu yang harus diselesaikan dengan begitu. Kesempatan bertemu Bokap pun sebatas pukul sebelas sampai satu siang, dan pukul lima sampai tujuh malam. Kesempatan yang selalu diawali dengan semoga, dan diakhiri dengan kenapa.

Senin sebelum tujuh malam, gue bercerita banyak. Di sebelahnya, gue mengingat masa sekolah. Saat gue dan Bokap sering main bulutangkis bareng di depan rumah. Saat gue yang menunggu Bokap datang membawa oleh-oleh sepulang dinas. Gue berterima kasih karena Bokap mengajarkan caranya mandiri. Mengajarkan caranya peduli dengan bertindak. Mengajarkan caranya menjadi baik, dan menutup telinga dari perkataan-perkataan orang lain.

Selasa pukul 10:33, Bokap mengajarkan makna kehilangan.
Bapak tahu aku sayang bapak, dan Allah lebih.

Menyiasati Desain Hape Jaman Sekarang dengan Custom Case Handphone Terbaik

$
0
0

Artikel ini membahas tentang apa saja manfaat menggunakan custom case handphone terbaik dan perbedaan desain hape sekarang dengan zaman dulu 

--
Percaya gak percaya, kalo lagi iseng, gue demen nontonin video-video review hape dan laptop. Ya, gue adalah bagian dari kaum pecinta teknologi bagian NDBK alias Nonton Doang Beli Kagak. Hal ini ngebuat gue sedikit banyak mengamati perkembangan hape. Mengamati yang gue maksud adalah menggumam “Hmmm keren juga nih desainnya” saat reviewer ngebuka bungkus hape dan mengalirkan ingus dari mata pas reviewernya bahas Snapdragon Quadcore… Octacore… Core…k Cuping…

Dan sekarang, gue jadi sadar satu hal: hape jaman sekarang gede-gede banget, men! Buset deh. Saking gedenya, hape jaman sekarang udah gamuat dikantongin lagi. Makenya aja udah harus dua tangan. Dibuat teleponan malah nutupin semuka-muka. Ini sih udah bukan handphone lagi, tapi lebih ke facephone.

Seinget gue, pas gue SMA desain hape tuh berlomba-lomba jadi yang paling kecil deh. Berhubung masa itu hape belum touchscreen, jadi lah “desain yang makin kecil” itu ngebikin keypad-nya dempet-dempet. Buat orang yang punya jempol super gede kayak gue, ngirim SMS (iya, SMS) jadi suka typo. Niat mau ngetik, “Hi, lagi apa?” malah jadi “Hi, lagi a;g0e-ag”

Pedih…

Well, kalo diinget-inget lagi, kadang kangen juga sih. Masa di mana bentuk hape masih random dan banyak banget variasinya. Ada N-gage yang kayak stik ps, Nokia N90 yang mirip handycam, Motorola yang bisa diflip dan bikin berasa jadi agen rahasia, atau malah communicator yang segede tempat pensil. Hal lain yang bikin kangen: kita bisa ngetik tanpa harus ngeliat hape. Saking apalnya letak keypad, jadi udah kebiasa (dan kadang ngetik sambil ngumpet-ngumpet biar gak ketahuan guru). Hahaha. Miss these old days.

Di masa kegelapan itu, gue pernah iseng sekali waktu beli hape touchscreen bekas. Merknya gue lupa. Tapi warnanya kombinasi biru dan abu-abu, lengkap dengan pulpen yang bisa dipakai menggambar. Pas pertama kali gue bawa ke sekolah, niat pamer gue langsung sukses menuai hujatan. Katanya, “Itu hape apa batu bata?” Gak terima, gue bales dengan, “Monyet! Kok lo bisa tahu?!”

Eeeh sekarang produsen hape malah berlomba-lomba bikin hape dengan ukuran gede. Bajingan.

Selain ukurannya yang membesar, layar hape sekarang juga dibikin gede. Gatau kenapa seolah-olah layar makin gede, hape makin canggih dan baru. Masalahnya, layar yang gede ini suka bikin gue katro sendiri. Gue pernah sekali waktu minjem Galaxy S9 temen, terus dalam hati ngomong, “Ini gimana caranya ya biar gue bisa megang tanpa nggak kepencet apa-apa…”

Emang apa salahnya sih kalo bentuk hape tuh kecil aja?

Seinget gue, dulu hape sengaja dibuat kecil biar gampang dibawa ke mana-mana deh. Jadi, ketika ada orang lain yang pengen nelpon, kita bisa dengan gampang ngerogoh kantong dan jawab panggilan dia. Sekarang, gara-gara hape segede bagong, kebanyakan orang naroh hapenya di tas. Belom lagi anak jaman sekarang hobi nge-silent. Jadi lah kita kagak denger apa-apa kalo ada telepon. Ya abisnya gimana? Kalo maksain ngantongin dengan ukuran segitu juga aneh. Kantong jadi gembung. Diliatnua pun gak asik. Yang ada orang-orang bakalan nanya, “Sejak kapan lo punya tumor di betis?”

galaxy note 10 lebih bagus pake custom case


Selain dari segi ukuran, gue juga merasa perusahaan pembuat hape ini kok kayak sok ide. Makin ke sini makin ngeluarin hape dengan warna-warna ajaib. Liat aja tuh hape Samsung Note yang paling terakhir. Warnanya udah kayak motor alay yang dicat metalik.

Entahlah. Mungkin orang-orang menganggap itu keren kali ya. Tapi gue mohon lah. Kalo bikin warna-warna begitu, tambahin juga warna basic kayak hitam dan putih. Gak perlu ngide dengan nyampurin warna macem-macem jadi satu.

Buat menyiasati yang gini-gini, gue sih mending pake custom case handphone tambahan. Tinggal bikin aja di Porinto. Abisnya kan sayang, kita udah naksir banget sama spesifikasi hapenya… eh malah ngagk sreg gara-gara desainnya yang begitu. Jadi ya mending gue bikin desain sendiri untuk menutupi warna ajaib tadi.

custom case handphone terbaik porinto


Well, paling nggak casing tambahan juga ngejaga si hape dari benturan ringan. Jadi kalo jatuh atau kebaret nggak langsung fisik hapenya. Lagian, make custom case juga ngebuat hape kita jadi “beda” dan gampang dikenalin dibanding hape orang yang sama. Kan kadang suka banyak tuh kalo pas nongkrong hapenya samaan, eh malah takut ketuker karena bentuknya mirip-mirip.

Kalo lo sendiri, lebih suka pake casing tambahan apa nggak?

Kalo Gue Ikut KKN di Desa Penari

$
0
0

Di kantor gue ada geng horor. Tiap jam istirahat mereka akan berkerubung di meja salah satu personel, lalu nobar videonya Ewing HD. Seperti kaum horor lain, mereka terbagi menjadi beberapa kategori: ada yang jerit dan melompat mundur karena terkena jumpscare, ada yang sok menganalisis tentang jalan ceritanya, ada yang diam-diam merinding, ada yang terkagum-kagum, dan ada satu personel yang tiap selesai nonton nanya, ‘Tadi setannya sebelah mana sih?’

Gue? Jelas jadi orang yang menyaksikan mereka semua dari kejauhan sambil mendengus, ‘Dasar manusia-manusia lemah..’

Nggak deng, bercanda. Gue yang dari kejauhan dan mendengus, ‘Tadi setannya sebelah mana sih?’

Hehehe. Jangan bakar aku, kawan.

Suatu siang, grup watsap mendadak rame. Gue yang telat buka grup langsung scroll ke bagian bawah dan mendapati beberapa orang bilang, ‘Bagi link gan’. Gue langsung mikir, ‘Hmmmmmmmmm kasih ga eaaa?’

Padahal, gue juga kagak ngerti link apaan yang dia minta.

Sampai salah seorang dari mereka memberikan link cerita viral KKN di Desa Penari. Begitu gue klik, bagian pembuka dari cerita itu berisi:

Sebelumnya penulis udah minta izin sama yang punya cerita, tapi segala tempat dan nama akan disamarkan. Widya namanya. Ia tampak gugup dan menyendiri. Ia akan mengikuti KKN di kota B, Kabupaten K. Cerita ini bermula di tahun 2009...

Bentar, ini kenapa kayak cerita stensilan ya?

DI KOTA B DIA PASTI KETEMU MAS BRAM! JANGAN KE SANA DAN DATANGILAH MASJID UNTUK BERTAUBAT, WAHAI PENULIS.

Lo udah pada baca belum sih? (Kalo mau baca klik aja di sini). Terus terang, gara-gara baca cerita itu gue jadi pengen KKN deh. Jaman gue kuliah, fakultas gue nggak kedapetan KKN. Kami ada praktek sendiri di hutan selama satu bulan. Di sisi lain, temen-temen dari fakultas lain sering cerita serunya KKN. Dari yang ngebantuin bersihin wilayah situ, sampe ada yang cinlok segala. Gila, gara-gara KKN seseorang bisa dapetin jodoh. Lah, gue mah di hutan. Kemungkinan ketemu babi liar lebih gede dibanding ketemu jodoh. Pernah suatu waktu gue sama temen-temen lagi ngebuka lahan, kita ngeliat semak-semak goyang. Semua orang panik dan lari. ‘Awas ada babi! Kabur kabur babi!’

Gak lama kemudian, temen gue nongol dari balik semak. ‘Hehehe. Abis berak gue. Sori sori.’

Kami tetep kabur sambil teriak, ‘Babi! Babi!’

Berhubung gue belum pernah KKN, baca cerita horor itu ngebuat gue terbayang-bayang. Gimana ya, kalo gue ada di situasi itu? Berikut adalah beberapa adegan yang gue rasa bakalan terjadi kalo gue ikut KKN di Desa Penari:

cerita baru viral kkn di desa penari



WIDYA LAGI MANDI, NUR JAGAIN DI LUAR

Bagian bilik sangat lembab, kayu di dalamnya berlumut hitam. Di depannya ada kendi besar, terisi setengah air. Widya mengendus bau yang cukup amis. Di bilik sebelah, Kresnoadi, selayaknya anak masa kini yang keren nan berkepribadian super, mandi bawa hape. Hatinya remuk karena harus satu grup KKN bareng Anton yang kerjanya ngerokok doang. Dia pun menyetel lagu Didi Kempot berjudul Pamer Bojo.

Mengikuti alunan si Didi Kempot, Kresnoadi Chubby mulai bersenandung:

Dudu klambi anyaaar~
Sing neng njero lemarikuuuu~

Samar-samar suara orang bernyanyi terdengar oleh Widya. Dia shock dan hanya mampu bergeming. Tunggu? Ini bukan nyanyian. Lebih kayak erangan kuntilanak muntaber. Ap… apa? Sekilas ia mendengar kata “klambi anyar” (baju baru). Ia pun menanggalkan bajunya perlahan. Nyanyian kidung menggema di kepalanya. Ia memejamkan mata, dan teringat sosok perempuan itu. Perempuan yang kalau mendengar jenis suara seperti ini, akan berkata, ‘Pitch kontrol dijaga, goblok!’

Goblok… blok… blok.. Gema refleks suara Widya didengar Kresnoadi di bilik sebelah. Kresnoadi menghentikan nyanyiannya dan menangis di bawah kucuran air kendi. Widya keluar dan bertemu Nur.

‘Dengar po ora, Nur? Ono sing ambyar neng kene.’ (Denger nggak, Nur? Ada yang nangis di sini)

Nur menatap Widya dalam-dalam. Dia meletakkan tangannya ke pundak Widya, berusaha menguatkan. ‘Ah, paling sadbois biasa...’

Widya diam. Tidak percaya apa yang dia dengar dari sahabatnya itu.

‘Aku juga sempet nangis dikit tadi.’
‘Kamu patah hati, Nur?’
‘Suaranya jelek banget bangsat.’

 --
NGOPI DI RUMAH MBAH BUYUT

Di depan rumah, ada orang tua, kakek-kakek, berdiri seperti sudah tahu bahwa hari ini akan ada tamu yang berkunjung. Tidak ada yang tahu nama kakek ini, namun Pak Prabu memanggilnya Mbah Buyut (Berarti ada, Monyet!). Setelah pak Prabu menceritakan semuanya, wajah Mbah Buyut tampak biasa saja, seperti tidak tertarik dengan cerita pak Prabu.

Sesekali, Mbah Buyut terlihat menatap Widya, seperti mencuri pandang.
Kresnoadi pun membuka percakapan. ‘Mata dijaga,’

Dengan suara serak (mungkin gara-gara kegep Kresnoadi, kita juga gatau), Mbah Buyut masuk dan membawakan 6 gelas kopi. Kresnoadi menatapnya penuh curiga. Abis liatin Widya kok bawa-bawa kopi. Kayak yang sering diputer di reportase investigasi nih.

‘Monggo,’ kata Mbah Buyut. Matanya lagi-lagi memandang Widya.
‘OHOEK! OHOEK!’ Kresnoadi pura-pura batuk, membuat kode perlindungan.

Respon diterima. Widya menolak dan mengatakan tidak pernah meminum kopi (hihihi mampus lo yut!). Namun sayang, senyuman ganjil Mbah Buyut berhasil membuat Widya sungkan. Apalagi orang ini baru kita kenal dari Pak Prabu (huhuhu bangke lo yut!). Yowes, dengan penuh rasa tidak enak hati, Widya tetap meneguk kopi itu meski cuma sedikit.

Kopinya manis dan tercium aroma melati, kata Widya. Dia pun meminum habis kopi di hadapannya.

Wahyu dan Ayu kaget.
Pak Prabu tegang.

‘AUS APA DOYAN LO? HAHAHAHA!” Bacot emang Kresnoadi ini.

Tawa Kresnoadi membuat suasana jadi canggung. Mereka semua pun ikut tertawa, gak enak aja. Meski di dalam hatinya, mereka penasaran juga. Masa ada kopi manis beraroma melati? Akhirnya, mereka ikut mencoba kopi yang disiapkan. Tapi? Apa yang mereka berempat dapat? Rasa kopi yang pahit. Teramat pahit hingga tidak bisa ditolerin masuk ke tenggorokan. Wahyu dan Ayu geleng-geleng tidak karuan.

Tapi tidak dengan Kresnoadi.

Ia justru manggut-manggut. Seperti ada pikiran yang hendak dilontarkannya. ‘Hmmmm. Robusta ya ini? Dari Toraja?’ Sambil mengangkat kedua jempol, dia bilang, ‘Kopi Mbah Buyut, Numero Uno!’

Ia pun mengeluarkan hape dari sakunya dan bilang, ‘Foto dulu, Boy. Apdet stories dulu gue.’ Ya, Kresnoadi memang pecinta kopi, pengagum senja, penjudi bola.

‘Begini’ Mbah Buyut mulai menerangkan menggunakan bahasa jawa yang halus sekali.

Hingga tidak ada satupun di antara mereka yang mengerti.

Setengah jam kemudian, di depan rumah Mbah Buyut, mereka saling bisik, ‘Brengsek. Kenapa gak ada yang mau ngaku kalo kita gak ngerti bahasa dia dah?’

‘Lah, elo, Wid.’
‘Lah, elo dong, Yu.’
‘ELO ANJIR, Di!’
‘Dih, gue mah numpang ngopi. ELO ANJIR.’

Mereka pun pulang dengan tangan hampa.

--
Itu dua momen yang kebayang kalo gue ikut KKN di desa penari. Kaknya bukannya jadi seru, keberadaan gue bakalan jadi penghancur deh. Bisa bisa pas bagian Ayu nari, gue malah ngeluarin tape recorder sambil nge-rap. Hehehe. Abisnya gimana, namanya juga ngarep ikut KKN.

Lo sendiri, pengalaman KKN apa yang paling lo inget? Apakah seseru cerita viral KKN di Desa Penari ini? Atau jangan-jangan kayak gue lagi, belom pernah ngerasain yang namanya KKN. \:p/

#CeritaBaruKresnoadi - Grey

$
0
0

cerpen baru kresnoadi


HARI PERTAMA

Gue buru-buru mengetik hai. Sadar chat kayak gitu gak bakalan mendapat respons, gue menghapusnya. Haii. Lebih oke sih. Gue diam lima detik. Garis di bagian type a message berkedap-kedip. Apa ya? Duh. Tinggal di mana? Frontal amat. Norak norak norak norak. Asli. Alay banget gue. Hapus lagi, ketik berkali-kali. Tutup aplikasi. Taruh hape. 

Ambil dan buka lagi. Coba lo liat foto ini? Gila nggak sih. Cakepnya nggak ada effort. Rambut pendek. Nyengir di kamar. Udah gitu aja. Tapi manis. Tapi nggak tahu kalau kata orang lain. Tapi bodo amat sama kata orang mah.

Shit. Udah berapa lama gue begini?
Bangke. Belum jadi nge-chat. Kenapa udah panik gini?

Gue ngetik lagi. Bajunya bagus. Alah. Terlalu di film-film. Sekarang juga gue gatau dia pake baju apa. Baju? Astaga. Gimana kalo dia nggak pak… otak dijaga.

‘Itu, yang di foto. Bajunya bagus.’

Gue merhatiin hasil tulisan sendiri.

Fak. Kayak om om mesum.

Kenapa jadi sesusah ini ya? Ayo, percaya diri. Ayo. Apa coba kemungkinan terburuknya kalo first impression gue kampungan? Nggak dibalas kan? Nggak kenalan? Udah, itu doang, Di.

Itu nggak doang, bangsat.

Gue menurunkan suhu AC. Duduk di samping galon. Bersandar ke kasur. Mengaduk segelas milo. Memperlambat ritme kehidupan. Besok aja apa ya? Biar kesannya nggak kepingin banget.

‘Tahu kenapa di bumi ini ada malem?’ gue ngetik sambil ngomong sendiri. ‘Nah, nanti pas dia nanya kenapa, gue bales, “Soalnya matahari malu sama kecantikan kamu.”’

Eanjaaaaay.
Kampung.

Yang beda. Yang beda. Yang beda apa, Adi. Beda, jangan norak, biasa aja, tapi nggak alay.

Heyy.

KENAPA ILMU GUE SEBATAS HAI HEI HAI HEI DOANG, MONKEY. EMANG TAYO?! Hapus lagi. Tutup aplikasi laknat ini, tapi gercep buka lagi. Aku. Harus. Apa. Gue klik fotonya. Zoom. Senyum. Deg-degan.

‘Mangga mangga apa yang banyak nanya?’ gue senyum sambil nangis saking depresinya.

Ijo! Ada bulatan hijau di foto profile-nya! Dia online! Mampus. Malaikat Izrail, cabut nyawaku! Gue meloncat ke kasur. Tanpa sengaja menendang gelas. Milonya tumpah membasahi karpet bulu di bawah. Suasana makin chaos. Gue mengangkat handphone.

‘Mangga mangga apa yang banyak nanya?’

Gue menekan tombol send, melempar hape ke bantal, lalu mengambil tisu dan mengelap tumpahan milo.

‘Manalagi?’ notifikasi pop up muncul di bagian atas handphone. Dari aplikasi yang gue baru coba ini.

Oshit.

Gue menarik napas panjang, lalu mulai mengetik.

‘Bukan.’ Tanpa menunggu dia membalas, gue gempur lagi. ‘Mangga banyak bacot.’

Dia tertawa. Dan kita membicarakan buah-buahan, tebak-tebakan tidak penting lain, tentang milo, tentang lagu-lagu, tentang apa saja yang gue kerjain hari ini, tentang apa saja yang dia kerjain hari ini, tentang gamau tidur karena besok harus ini dan itu. Tentang gue yang sok bilang kalau baju bergambar Barney di profile dia lagi ada di jemuran. Tentang dia yang gue kerjain karena harus mengecek jemuran malam-malam. Malam ini gue sadar kalau anak kuliah sekarang dewasa banget. Malam ini gue sadar pergaulan gue zaman dulu cupu abis, dan dia tertawa tiap gue cerita perbedaan-perbedaan ini.

Malam ini gue belum tahu nama dia.

--
Grey adalah projek #CeritaBaruKresnoadi yang bisa kamu download versi lengkapnya dalam bentuk pdf di sini.

Kalau kamu pengin baca langsung dari weblog keriba-keribo, klik link ini untuk langsung menuju lokasi baca. Gue sengaja tidak membeberkan versi lengkap dari cerpen itu karena... panjang. Takutnya malah tulisan yang sebelumnya jadi ketiban jauh.

Berhubung gue jarang banget ngebuat projekan tulisan panjang kayak gini, gue minta tolong buat kamu nge-tag atau review atau kasih komentar dari cerpennya di akun medsos gue atau di postingan ini ya. Gue seneng banget kalau bisa tahu perasaan pembaca dari apa yang gue tulis.

Hope you enjoy the story! \(w)/

Pertama Kali ke Jakarta Aquarium Berkat Traveloka Xperience

$
0
0


Suaranya berubah ketika kami sampai di antrian masuk Jakarta Aquarium. ‘Yeay! Liat mermaid!’ Nada suaranya naik dua oktaf. Udah kayak Gita Gutawa. Muka gue datar. Apa serunya ngeliatin ikan? Cuma makhluk yang hobi megap-megap di dalam air. Semua ikan juga tampak sama di mata gue.



Gue mengeluarkan handphone, menunjukkan voucher ke mas-mas Traveloka yang berjaga.

‘Mau liat mermaid ya, Mbak?’ tanya petugas, sambil nge-scan barcode di handphone gue. ‘Nanti mulainya jam tiga ya.’

Gue dan si pacar bertatapan. Si pacar nyengir lebar. Gue heran.

‘Sejak kapan Ria Ricis tampil di sini, Mas?’
‘Bukan Ria Ricis kok.’

Lah, dia mikir gue nanya serius.

Entah udah berapa lama gue nggak datang ke tempat-tempat kayak gini. Dan begitu masuk, ini yang gue dapatkan: rasa tenang. Gatau kenapa, melihat ikan-ikan ini meliuk di dalam air, seolah kayak ngebuat gerakan gue jadi lebih lambat. Warna biru kehijauan yang mendominasi juga ngebikin napas lebih santai. Bawaannya nyaman. Ya mungkin kalo tempat ini dicat merah semua gue bakal ngerasa kayak di neraka sih..


jakarta akuarium


Suasana menenangkan ini membuat kami tidak banyak ngobrol. Dia excited berjalan dari satu akuarium ke akuarium lain. Sementara gue mengikutinya di belakang.

‘Kamu tahu nggak, yang bisa melahirkan kan kuda laut jantan,’ kata gue. Kepala kami maju, hampir menempel ke kaca. Dua ekor kuda laut hitam seukuran ruas jari berenang santai.

Setelah mengamati, dia menengok ke gue. ‘Masa?’

‘Keren kan aku. Yang nggak penting gini tahu.’ Gue menyombongkan diri. ‘Udah dia yang hamil, dia juga yang harus cari nafkah. Berat hidup jadi kuda laut.’

‘Beruntung kan kamu nggak jadi kuda laut.’ Gue langsung ngibrit begitu dia kelar ngomong.


pengalaman di jakarta aquarium


Sambil merekam dia dari belakang, gue mulai berpikir. Sekarang gue udah berada di usia yang krusial. Sebentar lagi akan datang masa di mana tanggung jawab semakin besar. Mungkin nanti yang gue pikirkan adalah bagaimana bayar listrik setiap bulan. Bagaimana gue harus melunasi ini dan anu. Bagaimana menjawab pertanyaan teman tentang karir. Bagaimana kalau gue punya anak. Bagaimana gue harus memilih sekolah untuk anak gue. Dan apakah dengan semua tanggung jawab ini, gue masih bisa bersenang-senang… bersama dia?

‘Wah, ada piranha nih!’ Dia menunjuk akuarium di pojok, lalu masuk ke dalam lorong.  

Dari viewfinder kamera, gue melihatnya bercelinguk di depan kaca. Matanya membulat. Gue mematikan kamera, lalu ikut masuk ke lorong.

‘Lihat deh, masa piranhanya diem semua.’

Di depan gue, puluhan ikan piranha mematung. Kayak lagi mannequin challenge di air. Pikiran gue masih nggak fokus. Di tengah merekam fenomena (atau emang piranha kelakuannya begini?), dia menarik tangan gue. Sudah waktunya nonton mermaid.

Tempat pertunjukan mermaid ada di ujung. Karena terlambat, kami duduk lesehan di bagian pinggir. Di antara kami banyak anak kecil. Dia beberapa kali mengeluarkan hapenya dari tas, mungkin memastikan supaya siap mengambil gambar kapanpun. Suara dari speaker memberitahu bahwa pertunjukan dimulai sepuluh menit lagi. Backsound digantikan suara gemericik air dan musik instrumen.

‘Kenapa sih kamu suka mermaid?’

Lagi-lagi matanya membesar. Senyumnya mengembang. Seperti wajah anak-anak ketika mendengar jingle abang es krim di depan rumah.

‘Ya suka aja.’

Sebuah jawaban yang singkat, padat, dan tidak jelas.

‘Nggak ada alasan mendasar apa gitu?’

‘Ya nggak ada.’ Dia berpikir sebentar. ‘Karena cantik kali ya? Terus bisa berenang, terus…’ gayanya menjelaskan persis ketika gue menjelaskan kenapa action figure Robin gue pakai untuk melawan Spiderman. Setelah sekian lama, dia melanjutkan, ‘…ya nggak tahu. Ya suka aja.’

Pertunjukan dimulai. Di layar muncul tulisan “Pearl of South Ocean”. Gue meledeknya sambil berbisik, ‘Asik, nonton Nyi Roro Kidul. Ratu pantai selatan.’ Tapi pandangannya masih lurus. Dia mencubit gue dan bilang, ‘Diem ish. Bawel.’



Ternyata, Pearl of South Ocean bercerita tentang putri kerajaan yang dikutuk dan diselamatkan oleh kepiting... lalu berubah menjadi mermaid. Raja yang dibunuh oleh Ratu jahat diselamatkan oleh mutiara yang dimiliki si mermaid. Pertunjukan pun selesai. Satu per satu para pemain keluar dan membungkukkan badan. Penonton bertepuk tangan. Gue menengok ke kanan. Matanya berbinar.

‘Bagus,’ katanya pelan, ngomong sendiri. Dia menggandeng tangan gue. Kami bertatapan.
Dari sorot matanya, rasanya gue tidak perlu khawatir tentang apa-apa lagi.

--
Terus terang, hari kamis lalu, ketika dia menanyakan tujuan main untuk weekend ini, gue masih gak tahu. Beruntung gue inget ada TravelokaXperience, salah satu fitur (?) baru yang ada di Traveloka. Gue coba ngecek di situ, dan ternyata enak banget. Di sana, gue jadi tahu berbagai alternatif tempat main selain mal.

Buat gue yang jarang pake Traveloka (karena emang bukan orang yang sering pergi), fitur ini berguna banget. Gue nggak perlu browsing dengan keyword “tempat nongkrong seru di Jakarta” dan kebingungan saking banyaknya informasi yang ada.Belum lagi informasi dari google yang sifatnya campur aduk, dan dibuat oleh orang-orang random. Di satu waktu kita bisa dapet yang infonya lengkap banget. Tapi di waktu yang lain, bisa aja informasi yang dikasih setengah-setengah. Jadi, kita nggak bisa bener-bener ngebandingin antara satu tempat main, dengan tempat main yang lain.





Dengan Traveloka Xperience, kategorinya udah kebagi-bagi. Mulai dari attractions, beauty, event, sampai tours. Mulai dari tempat semacam Jakarta Aquarium, tiket pertunjukan teater, Ubud Writers & Readers Festival, sampai konser Iwan Fals juga ada. Semuanya pun sudah dikelompokan berdasarkan kota. Jadi tinggal pencet sesuai kategori, lalu pilih tergantung selera (selera ini maksudnya bisa lokasi tempat, atau budget, atau apapun lah).

Dan iya, kita bisa langsung beli tiketnya. Gue bahkan kemaren beli tiket di sela-sela kerjaan kantor. Semua tinggal pake hape. Metode pembayarannya juga ada banyak. Transfer bisa, paylater monggo.

Dan iya, kemaren lagi ada diskon. Gue dari yang awalnya 400 ribu menjadi 230 ribuan saja.
Dan iya, begitu sampai lokasi, gue tinggal tunjukin voucher-nya, tanpa harus antri buat beli tiket. Jadinya #XperienceSeru tanpa harus terganggu hal-hal begini.

Kayaknya, mulai sekarang gue emang nggak perlu khawatir apa-apa lagi deh.

Ciri Anak Fresh Graduate Pemburu Harga Diskon Promo Kartu Kredit BCA

$
0
0

Ternyata sudah tiga tahun Senpai Kresnoadi tidak menyebarkan kebajikan di muka bumi. Maklum, kegiatan saya super sibuk. Sibuk nyari kegiatan. Sungguh kegiatan yang super sekali, bukan? Seperti halnya kesibukan para fresh graduate yang dikit-dikit buka hape. Terlihat sibuk, mantap, hidupnya luxury, sering jajan sampai-sampai susah diajak ketemu. Padahal baru berapa bulan kerja. Kadang kita bingung, ini orang ngapain? Apakah ia titisan dewa? Apakah Bapaknya konglomerat? Kenapa Eva Celia cakep banget? Dan ternyata jawabannya ini: diskon. Ya, anak fresh graduate sejatinya adalah pemburu diskon paling liar di jagat ini. Mereka seringkali ngecek hape bukan buat chatting sana sini, tapi ngeliatin notifikasi diskon dari berbagai aplikasi. Ya gimana ya. Anak fresh graduate suka banget sama promo kartu kredit BCA.

Senpai is back!

Coba deh ngaku, siapa di antara anda yang termasuk golongan ini? Kerabat Senpai bahkan dijuluki Siluman Cashback. Karena eh karena, setelah dia ngeliat duit cash-nya, dia back dan gak jadi jajan. Huhuhuhu. Sedih sekali kehidupan anak fresh graduate.

Tapi, sebagai anak fresh graduate, anda tidak perlu berkecil hati. Anda tidak perlu sungkan. Karena di sini, saya, sebagai seorang Senpai, akan menunjukkan ciri-ciri Anak Fresh Graduate yang termasuk Pemburu Diskon. Biar apa? Ya biar bisa temenan dan saling berbagi voucher diskon dong! Pemburu diskon bersatu, tak bisa dikalahkan! Uyeay!

Memori Hape Penuh Karena Kebanyakan Aplikasi

Salah satu ciri anak pemburu diskon adalah ini. Ketika kita ngumpul bergosip ria dan bilang, ‘Eh lo harus install game ini! Seru banget!’ dia hanya menunduk gelisah. Tangannya bergemetar dan ekspresinya datar. Dalam diam ia menangis karena memori hapenya kepenuhan aplikasi.


sumber: iphonetricks.org


‘Emang isi aplikasi lo apa?’

‘Banyak! Ada aplikasi anu buat cashback 5%, aplikasi inu kalo-kalo ada makanan yang mau dibeli, nah yang ini buat buka ecommerce tapi gaboleh langsung ke ecommerce-nya biar dapet diskon lagi!’

Dan seketika wajahnya sumringah penuh dengan kebahagiaan. Matanya berbinar dan bibirnya tersennyum lebar. Diskon lebih berharga dibanding chat dari gebetan. Mantap.

Kalau Mau Makan Ngajak-Ngajak

Kita semua punya musuh bersama. Ialah mereka yang suka nitip beli makan dengan bilang, ‘Pake uang lo dulu ya!’ Bukan, bukan kita nggak fren atau gimana. Tapi kalimat itu kadang-kadang berubah jadi ‘Pake uang lo dulu, nanti, DAN SELAMANYA YA!’ alias tanpa sadar kita jadi nraktir dia! Terkutuklah kaum-kaum seperti itu…

Hal ini tentu berkebalikan dengan fresh graduate yang demen nyari harga diskon. Pemburu diskon sejati justru selalu menawarkan ke orang-orang kalau dia mau beli makanan. Bukan karena baik, tapi emang minimal transaksi untuk dapetin diskon biasanya gede.

‘Ada yang mau beli boba nggak? Aku pengin beli nih!’
Padahal dalam hati: Hihihihi mereka semua sedang kujebak! 2 orang lagi ikut, harganya jadi 50 persen saja.

Abis Beli Makanan Cengar-Cengir Sendiri

Cewek mungkin identik dengan jajan. Tidak. Tepatnya identik dengan JAJAN MULU WOY BUSET. Kadang malah kalo lagi gerah bisa ngomong, ‘Makan bakso seger nih kayaknya!’

BAKSO DARI MANA SEGERNYA HEY.




Apakah sebelum makan bakso, cewek ini berganti busana dengan bikini. Lagipula bagaimana cara dia mengonsumsi bakso tersebut? ‘Bang! Bakso ya!’ lalu dia mengambil wudhu di kuah bakso.

‘Aah… segarnya!’

Cewek yang identik dengan jajan biasanya punya masalah dengan makanan. Dia pengin jajan, lalu memberikan komentar sendiri atas pernyataannya. ‘Duh, lagi pengen daging wagyu deh.’ dan beberapa menit kemudian ‘Tapi gajadi deh. Takut gendut.’

Nehi, nehi, nehi. Para pemburu diskon tidak pernah punya perasaan seperti itu. Fresh Graduate pencinta diskon justru selalu tersenyum-senyum sendiri ketika berhasil mendapatkan makanan yang dia mau dengan diskon besar. Biasanya dia akan duduk di pojokan, lalu senyum-senyum sambil ngeliatin makanannya di meja.

‘Eh, beli apaan lo? Mantab nih jajan terus.’
‘Hihihiihihi.’
‘Burger di mana tuh?’
‘Hehehehe. Di mall deket sini kok.’
‘Berapaan?’
‘HUAHAHAHAHAHA!’

Dompet Banyak

Seperti halnya di ciri pertama, dompet ini bisa jadi dompet digital. Anak fresh graduate pemburu harga diskon akan punya banyak dompet digital. Hal ini jelas bukan karena uangnya kebanyakan. Justru karena uangnya udah kecil, dipencar-pencar lagi. Itu uang apa kampus BSI? Huhuhuhu.

Tapi itu lah dia. Demi bisa mendapatkan akses informasi diskon, hiduplah berbagai dompet digital!

Sombongnya Kebalik

Tahu, kan, bagaimana orang sombong yang bikin kita pengen lempar tv? Upload foto tangan di instagram padahal pamer jam tangan mahal. Foto jari padahal pamer cincin baru. Foto kaki padahal pamer cantengan. Pokoknya, mereka memamerkan berbagai barang mahal yang tidak sanggup kita beli.

Anak fresh graduate pemburu diskon, kebalik.

Kalau biasanya orang sombong karena menghabiskan sekali makan dengan 300 ribu, anak diskon pamer karena sekali makan 30 ribu.

‘Idih kamu kok makan itu? Mahal banget. Nih gue nih begini 17 ribu aja!’

Lalu si anak sombong jadi awkward karena…APAKAH MAKAN TUJUH BELAS RIBU PANTAS UNTUK DISOMBONGKAN?!
  
Nyari di Website tentang Promo Kartu Kredit BCA

Ciri lain dari fresh graduate pemburu harga diskon adalah melakukan riset. Selain di note hapenya bertebaran kode voucher berbagai diskon, laptopnya pun penuh beragam bookmark situs-situs penyedia diskon. Kayak situs ini:


Ya, di sana ada seratus tiga puluh dua keuntungan promo kartu kredit BCA. Betul sekali, lebih dari seratus. Jereng-jereng tuh mata. Mulai dari optik kacamata, makanan, klinik, sampai hotel. Apa tidak pusat dari segala pemburu harga diskon itu?

Gimana, Senpai kini telah menyebarkan semua ciri dari anak pemburu harga diskon. Maka, jika ada salah satu di antara ciri itu yang merupakan teman kamu, jangan dilepas! Kalo kamu gak kenal-kenal banget, temenin! Ajak ngobrol karena sejatinya mereka adalah keluarga kamu!

Postingan Gabungan yang ada Grootnya

$
0
0

Padahal niat gue pengin ngadem sambil ngedekem yang lama, eh ternyata J.co-nya lagi dibenerin. Ya udah nyempil di pojokan sambil dengerin mbak-mbak nyanyi Tulus. Mood gue agak buyar sih. Selain karena tempatnya yang jadi penuh banget gini, banyak juga pelanggan yang protes. Teriak-teriak karena lama dipanggil, atau mbak-mbaknya yang salah nuang ke es krim (jcool? Tukul?) itulah.

Dan iya, gue mau apdet banyak banget karena di postingan sebelum-sebelumnya kok rasanya kayak “terlalu bener”. Gue butuh yang brutal. Maka terbuatlah postingan gabungan ini.

Satu. Gue udah lima bulan ngekos. Iya, sejujurnya, banyak banget kejadian absurd yang gue alamin di sini. Udah lama banget gue pengen ngeblog soal kosan ini. Mulai dari awal milih kos yang… gitu doang, grup watsap kosan yang mulai pada kenalan sampe yang sindir-sindiran gara-gara mangkoknya dipake. Muahaha. Sadis.

Salah satu alasan ngekos terbesar selain kesehatan adalah… gue pengin dapet temen. Hehehe. Maklum, hidup gue emang kan gitu-gitu aja. Kalo pas kuliah kampus pulang kampus pulang, begitu kerja ya cuman kantor pulang kantor pulang. Jadi, ya, temen gue sebatas itu itu aja. Gue pun ngebayangin “Kalo ngekos pasti dapet banyak temen!”

Dan setelah lima bulan, gue bahkan gatau gimana muka kamar sebelah. Pedih.

Di grup juga gue diem-diem aja. Ya, aku adalah dia, yang menatap dari kejauhan sambil berhmmmmm saja. Aku diam, padahal aku melihat sembari berbisik, “Hmmm sok asik sekali orang ini, ngajak makan di indomaret point. Harusnya Family Mart dong.”

Buat memperseru keadaan, gue juga udah nge-screenshot perilaku mereka. Ada yang kerja di Bumilangit dan minta review sewaktu Gundala main, ada yang lama di luar negeri sampe gabisa ngomong bahasa indonesia, ada juga yang bagian ngomporin… buat makan di Indomaret point.

Tapi screen capture-nya udah kepalang jauh. Jadi males deh gue tampilin. Hehehe.

Dua. Karma anak kos itu nyata. Berkat hujan hari sabtu, kemaren sempak gue abis. Gue deg-degan banget. Walaupun pas gue ngasih tahu hal ini di Twitter pada bilang, “Beli aja!” “Banyak di warung!” ya, ya, anda anda sekalian memang benar. Tapi, apa ada sempak yang sama kayak gini? Oh, sempak 70 ribuku… (lho, malah nyombongin sempak).

Berhubung tempat jemur gue tepat di bawah pembuangan AC, pas tidur gue nyalain AC-nya sampe pagi (biasanya diset sejam, atau dimatiin) biar kering. Hati gue udah kalang kabut. Gimana kalo masih basah? Gue nggak mau ke kantor sambil keriput. Sebelum tidur, gue pun berdoa sambil gemetaran (bukan menghayati, tapi karena dingin).

Paginya, sempak gue kering!
Tapi air gue mati!

Horeeeeee! Setan.

Mungkin doa gue terlalu tajem kali ya? Gue minta “Ya Allah… Semoga besok kering…” eh dikeringin sampe kali Ciliwung. Alhasil, gue ke kantor nggak mandi. Huehehe.

Momen ini sekaligus gue jadikan ajang pembuktian: apakah Kresnoadi ini memang sama aja antara mandi dan gak mandi?
Dan iya, sampe gue pulang gak ada yang sadar kalo gue nggak mandi. Huhuhuu. Aku terharu akan sebuah prestasi yang goblok ini. Satu-satunya momen hampir ketahuan adalah saat gue gosok gigi di wastafel. Si Reza nggak sengaja liat dan bilang, “Wuih… keren juga lo gosok gigi!”

Di situ lah gue cuman hehehe aja. Padahal dalam hati: ANJEEEEENGG EMANG KEREN ABES?! (lho, malah bangga).

Tiga. Nurul, temen gue yang polos itu, minggu lalu dateng ke rumah. Dia cerita kalo lagi ada masalah sampe harus pindah rumah. Keliatan banget kalo masalah yang dia hadapin serius. Berkali-kali dia ngecek hapenya sambil bisik-bisik sendiri. Wajahnya merah menahan amarah.

“Sabar aja, Rul.” Gue bilang, nepok pundak dia. “Setiap orang pasti punya masalah yang beda-beda. Kalo ada yang mau lo ceritain atau tanya, bilang ke gue aja ya. Siapa tahu gue bisa bantu.”

“Iya, Di.” Dia ngelepas kacamata dan ditaroh di meja. Dia ngeliatin gue dalam banget. “Password Wifi-nya apa sih? Salah mulu gue dari tadi.”

Abis itu gue jepit kepala si Nurul di pintu.

Empat. Selain di blog dan kerjaan, gue juga mulai nulis di Kumparan. Sejauh ini, baru ada dua tulisan yang gue publish di sana. Ngomongin soal RUU KUHP kemaren itu, dan pembelaan gue terhadap Nia Ramadhani yang gak bisa buka salak.

Iya, emang agak random sih. Dari politik sama yang nggak bener gitu. Sejujurnya, pertama kali diajak nulis di situ, gue ragu. Kumparan kan rada berat ya? Sementara tulisan gue nggak ada waras-warasnya. Well, berhubung pernah punya mimpi jadi kolumnis, gue iyain aja. Buat yang mau baca, bisa cek di sini ya:

RUU KUHP dari perspektif komedi: klik di sini

Alasan Mengapa Saya Membela Nia Ramadhani yang Nggak Bisa Buka Salak: klik di sini

Lima. Walaupun agak sedih karena gabisa pake widget “beli pakai twit” kayak yang dulu-dulu supaya penyebarannya rame, tapi gue seneng banget sama respon terhadap cerpen Grey. Mulai dari yang ngasih tahu kalo ternyata beneran ada aplikasi Secret, dan yang kayak gini:

ALFINovember 2, 2019 at 9:06 PM
Hai Bang.
Aku malam minggu ini rebahan, dan sambil baca ceritanya Grey. Asli suka bgt sama bahasanya! Apakah ada kelanjutannya? Jadi empat kata apa yang ditulis Grey? Duhhh penasaran bgt Bang. Hehe

Thank you! Hehehe. Fasya, temen blogger bandung malah bilang begini:


Fasya
October 30, 2019 at 7:07 AM
Adi... pagi ini aku udah selesai baca Grey. Bagus, sebagus itu. Senyenengin itu bacanya. Semoga project ini segera ada lanjutannya dan pembaca bisa segera tau hari2 selanjutnya tentang Grey setelah empat kata itu huehehehe~

Hmmm ini kenapa malah pada penasaran ya?

Enam. Gue baru aja beli tanaman dengan pot si Groot dari Guardian of The Galaxy. Seneng banget gue. Hahaha. Apakah ini yang dinamakan jiwa-jiwa Rimbawan kembali bergetar?

Tujuh. Udah ya, gue mau rekaman podcast dulu. Kalo udah tayang sekali-kali podcast-nya gue taroh sini deh.

Delapan. Biar pada hepi, nih gue kasih foto si Groot. \:p/



Have a nice day! Ciayo!

Malam ini Terasa Begitu Jakarta

$
0
0

Malam ini Jakarta terasa begitu Jakarta.

Pertama kali pernyataan itu gue keluarkan di dalam mobil. Kami dalam perjalanan menuju Sarinah. Selesai menonton Le Grand Bal, film dokumenter Perancis tentang festival dansa, kalimat itu kembali keluar.

Rasanya malam ini Jakarta kayak Jakarta banget ya.

Pukul setengah sepuluh malam. Lima anak berusia 20 an berjalan di trotoar. Seseorang berkemeja, menenteng tas kerja menunggu ojek di perempatan. Dua orang menyalip kami dengan Grabwheels. Lampu sorotnya menyinari garis kuning di jalan.

“Pasti kak Adi sebentar lagi niruin joget yang di film deh,” salah seorang temen komentar.
“Brengsek,” sahut gue. “Nggak jadi joget kan gue!”

Kami lalu tertawa. Tujuan kami adalah McD di seberang.

Jalanan lengang. Angin malam keluar pelan-pelan. Mengantarkan udara dingin musim hujan. Pantulan cahaya mobil terpantul di jendela gedung. Meski tempat ini tidak pernah tidur, pukul segini adalah waktu yang pas buat ngerasain jalan di trotoar. Bayangin kalo siang. Asap bikin bengek, mau nyeberang ribet, suara klakson beradu mesin mobil. Siang lebih seru kalau kita pura-pura tuli dengan memasang earphone, memilih soundtrack hidup sendiri-sendiri aja.

Malam ini beda.
Jakarta terasa begitu Jakarta.

“Scene favorit gue sih pas bagian ending,” gue jawab pertanyaan Hani. Tepat di mana kamera diam, lalu satu persatu wajah para peserta festival menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda: excited, kikuk, semangat, haru, kaku, sampai salah tingkah.

Kami melewati jembatan penyeberangan.
Gue suka jembatan penyeberangan.

Ada yang sama nggak sih? Terus terang, gue juga nggak punya alasan yang pasti. Setiap kali menyeberang di jembatan penyeberangan malam-malam, gue pasti menyempatkan untuk berhenti di tengah. Ngeliat kemacetan. Mobil-mobil yang berbaris lambat. Atau orang yang sekadar berdiri di bawah. Gue seneng aja bisa ngeliat semuanya dari atas. Para tukang ojek yang berkumpul, mereka yang mengangkat payung sambil berjalan cepat, lampu-lampu toko yang sudah padam. Lalu timbul perasaan itu. Seakan berharap gue bisa memotret semua ini dengan mata, lalu menyimpannya di dalam otak. Lalu akhirnya sadar karena harus kembali jalan dan lanjut menyeberang.

Kami sampai di McDonalds.
Di atas meja udah ada empat Panas Spesial dan sebuah chicken wrap.

Jakarta terlihat lebih Jakarta malam ini. Dan kami cuma bagian kecil darinya.    

udah nggak kayak dulu lagi

$
0
0

Ternyata emang blog tempat paling tepat untuk ngomongin semuanya: hal-hal pribadi, perasaan terdalam, keseharian random, pikiran-pikiran nggak penting.

Beberapa hari lalu gue sempat ngetwit kayak gitu. Kayaknya, gue mulai nemuin excitement lagi untuk nulis di sini. Gue baru sadar. Kayaknya buat orang yang berawal dari curhat gak jelas di blog kayak gini emang punya beberapa fase dalam ngeblog deh. Fase pertama adalah saat gue lagi penasaran. Awal ngeblog ngebuat gue pengin ngomongin berbagai hal yang terjadi di hidup gue, tapi gue takut dan malu. Gue juga belum tahu gimana caranya nulis yang bener. Fase kedua adalah fase bodo amat. Ketika gue mengalami kejadian yang menurut gue “Wah, apaan nih?” gue udah gak sabar untuk masuk kamar, buka laptop dan menceritakannya. Fase ketiga adalah ketika semua hal teknis mulai kepikiran. Gue sedikit banyak ngerti caranya menulis, dan jadi mikir: apa hal-hal aneh ini harus gue tulis? Apa gunanya nge-share sesuatu yang sebegini nggak pentingnya? Belum lagi ketika gue berada di fase ini, blog udah nggak rame. Media pindah dari tulisan ke video atau audio. Mulai timbul perasaan “Apa yang gue tampilin di sini harus merupakan what people so called… karya.” Tiap postingannya harus gue pikirin mulai dari tema, kelayakan tulisan secara teknik, sampai mikir “Apa ini harus masuk ke blog? Atau Instagram aja? Atau podcast? Kayaknya beberapa hari lalu gue baru rilis postingan deh. Kalo buru-buru bikin lagi nanti view-nya ketutup dong? Blog gue kan orang cuma buka homepage juga udah bisa baca semua tulisannya. Nggak perlu klik dan masuk satu per satu ke dalam postingan.” Sampai pada akhirnya gue masuk ke fase kelima: fase di mana gue kembali bodo amat. Fase di mana gue kembali mikir kalau “Okay, I have this abnormal’s life and let’s write it to make this immortal.”

Dan, ya, gue balik ke masa itu.

So, yeah. Welcome to my blog. Tempat di mana gue bakal cerita apa aja dengan sinting. Keseharian yang nggak penting, atau pemikiran random yang nggak masuk di akal. Gue nggak akan terlalu mikirin apakah ini bagus atau nggak, penting atau nggak, seberapa panjang atau pendek, lucu atau garing. Gue cuma mau ngeluarin apa yang mau gue keluarin sebebasnya.

--
Semenjak Bokap nggak ada, gue menyadari hubungan gue dan nyokap sedikit bergeser. Hubungan kami bukan lagi hubungan ibu dan anak sebagaimana atasan dan bawahan di struktur organisasi. Bukan lagi hubungan tentang ibu yang ngomelin anaknya, yang minta ini itu, khawatir karena begini dan begitu. Hubungan kami kini lebih horizontal. Sejajar. Kayak manusia yang berdiri di posisi yang sama. Berhubung Abang gue udah nikah, hal-hal pribadi nyokap otomatis akan dia obrolin ke gue. Mulai dari kerjaan, perasaannya hari itu, apa yang lagi dia pelajarin, sampai perkara urusan rumah dan administrasi negara kayak bayar pajak and the bla and the ble. Gue ingat kalimatnya di sofa depan tv beberapa waktu lalu: “Kamu sekarang udah gede, bapak udah nggak ada, mas udah nikah. Jadi sekarang ibu kalo ada apa-apa ke kamu ya.”

Begitu gue pulang tadi malam, gue ngeliat nyokap tidur di lantai. Gue emang janji pulang malem weekend ini, tapi gue agak nggak nyangka juga kalo sebegini malem. Gue kemudian ganti baju, lalu masuk ke kamar bokap buat baca buku dan tidur. Sekitar pukul tiga, gue kebangun gara-gara Nyokap batuk. Dia bilang kalo kipas di kamar terlalu kencang dan minta izin buat dimatiin aja.

“Ibu semalem tidur di bawah niatnnya mau nungguin adek pulang, tapi ternyata adek belum pulang ibu udah ketiduran.”

Gue diem, lalu meluk nyokap sambil tidur.

Dia lalu cerita suatu hal tentang keluarga yang nggak bisa gue tulis di sini. Minta pendapat dan persetujuan gue. Gue membalas dengan beberapa kalimat, masih sambil meluk dia dan merem.

Azan subuh berkumandang.
Hubungan kami emang udah nggak kayak dulu lagi.

Kalimat Pembuka Undangan Nikah Gue

$
0
0

Setelah enam bulan, akhirnya tadi pagi naik motor lagi. Berhubung gue ke kelurahan dulu, kayaknya nggak bakan keburu kalo harus balik dan naroh motor dulu sebelum ke kantor. Begini rencana waktu gue buat berangkat kantor:

Jam masuk kantor: 09:00 pagi.
Jam keluar rumah buat ke kelurahan: 09:05 pagi.

Mati aja gue.

Berhubung gue nggak mau dirajam sama bubos, jadi lah gue milih buat langsung bawa motor. Walaupun dia tetap bakal emosi kalau tahu, tapi paling nggak gue udah berusaha meminimalisir emosinya. Misal: tadinya pengen rajam pake batu kali, sekarang jadi rajam pake batu kali… yang agak kecilan dikit.

Anyway, bawa motor ke kantor ini bikin gue sadar sesuatu deh. Walaupun sempet mual begitu masuk daerah Tebet, gue kayaknya selalu mendapatkan ide pas naik motor. Entah ide kerjaan, atau tulisan, atau malah pikiran random aja. Pasti ada aja waktu yang gue pakai selama di perjalanan buat mengkhayal. Ujung-ujungnya, jadi mikir yang aneh-aneh. Ya, walaupun agak suram juga sih kalo ketilang.

“Bapak tahu kesalahan Bapak apa?”
“Saya mikir kalimat pembuka undangan pernikahan saya, Pak.”

Lalu kami saling tatap. Polisinya memicingkan mata, gue pura-pura gila.

Tapi beneran. Gue juga ga paham sama jalan pikiran gue sendiri. Di perjalanan tadi, gue kepikiran set untuk bikin konten video yang bakal gue kerjain sama temen kantor, dapetin satu ide tulisan buat kerjaan kantor, dan… kepikiran kalimat pembuka undangan nikah.

Iya, tolong jangan rajam gue.

Gue memang udah memimpikan sejak lama kalau undangan pernikahan nanti mau berbentuk cerita aja. Keinginan ini makin besar sewaktu ngelihat twit dari Zarry Hendrik yang melakukan hal yang sama ke kliennya. Responnya pun bagus, dan gue di kejauhan mendengus, “Hmmm padahal gue duluan tuh! Jadi ini nggak enaknya jadi orang gak terkenal?” Ya padahal gue aja nggak pernah ngomongin ini ke siapa-siapa. Cuma geer aja. Muehehe.

Lalu, entah dari mana, di Timeline gue muncul twit dengan hal yang mirip: surat undangan pernikahan dengan konsep cerita. Bedanya, si cewek bikin tulisan versi dia untuk disebar ke undangan si cowok. Dan begitu sebaliknya.

Terus gue yang, “Widih mantab abis nih!”

Sampe di perjalanan tadi gue keinget hal ini. Lalu gue mikir, mikir, mikir, dan akhirnya nemuin kalimat pembuka yang pas. Bayangin, demi dua kalimat ini, gue sampe minggir buat nyatet di google keep cuy!

kalimat undangan pernikahan

Ya padahal juga gatau kapan dan sama siapa nikahnya.

Hari rabu lusa rencananya gue mau pulang ke Pamulang bawa motor lagi. Semoga aja gue nggak mikirin yang aneh-aneh deh.

Kegoblokan Sewaktu Camping di Rancaupas

$
0
0
wisata alam camping rancaupas
Kiri ke kanan (Ratu, Indi, Hani, Star, Fahri, Senpai)


Gue nulis ini tepat setelah kelar ngedit video. Gila, mau die gue rasanya. Jadi gini toh mampusnya orang-orang bikin video. Harus ngejahit cerita, color grading, milih lagu yang pas, mengatur mood dan tempo. Belum lagi kalau pengin gaya harus paham bagaimana caranya mengatur perpindahan frame dengan tepat. Apalagi kalau footage yang dipunya nggak lengkap atau blur. Kestresan ini juga yang menjadi jawaban gue ketika ditanya temen kantor soal kenapa gue suka nulis: gampang.

Beneran deh. Kayaknya nulis tuh pekerjaan yang paling gampang. Kita nggak butuh barang-barang kayak pekerjaan lain. Tukang sunat, misalnya. Nggak mungkin dia bisa bawa-bawa alat sunatnya keliling tempat dan “buka praktek di mana aja.”

Sebagai penulis, kami tinggal buka notes di hape, tulis. Kalau di jalan lagi nunggu bis dan kepikiran sesuatu, tinggal catet tanpa perlu persiapan yang ribet. Bawa laptop pun sepraktis bawa satu ransel ke mana-mana. Nggak mungkin tukang sunat begini. Di halte transjakarta tiba-tiba nepok mas-mas dan bilang, “Mau saya sunat, Mas?” sambil ngasah piso.

Kalau pas lagi males bawa laptop karena berat kita punya banyak opsi. Kalau pengin ngedapetin feel agak jadul, misalnya. Kami cuma butuh pulpen dan notebook. Kalau pengin ngedapetin feel jadul banget, tinggal bawa batu prasasti sama alat ukir.

Rehat bentar deh. Apdet dikit dulu.

__
Berhubung video yang gue edit adalah video jalan-jalan sewaktu camping di Rancaupas kemarin, gue pengin share beberapa kegoblokan yang kita lakuin sepanjang main.

Kegoblokan Rancaupas satu:

Muncul di perjalanan berangkat. Sewaktu Ratu nyetel lagu Souljah lewat speaker mobil ngebuat gue ngerasa kalau Ratu adalah sosok idola. Karena, ini Souljah gitu woy! Kebanggan setiap umat anak SMA di masa gue. Sebagai balas budi, gue pun berkata, “Ratu, mana Pingkan Mambo?” (lho).

Satu lagu Souljah mengalun. Kami berjoget dan nyanyi bareng udah kayak anak SMP mau study tour. Sampai kemudian, Hani, satu-satunya cewek berhijab di rombongan bilang, “Lagu yang kemaren dong, Tu!’

Kami semua penasaran.
Pasti ini lagu emas.
Pasti ini mengingatkan gue sama masa SMA lagi.
Pasti ini bikin pengin jerit-jerit bego di dalam mobil.
Lagu dimainkan.
Kami hening.

Lirik awal nggak ada yang tahu. Sampai reff masuk:

kupegang tangannya
MASIH DIKASIH!
…kupeluk dirinya
MASIH DIKASIH!
…kucium bibirnya
MASIH DIKASIH!

INI LAGU APAAN BANGSAAAAAT. Hasrat ingin memaki tak terbendung. Semua orang di mobil hanya terbengong-bengong penuh tanda tanya. Sementara Hani dan Ratu joget sambil goyangin telunjuknya. Mereka berteriak di bagian “Masih dikasih!”

O, beginilah kehidupan nyata dari seorang cross hijaber.

Biar kita rusak semua, gue taroh sini aja video klipnya. Muahahaha.



Aku. Tidak. Sanggup. Kawan. Oh. Shit. Jempolku. Tidaaaaaakk.

Kegoblokan Rancaupas dua:

wisata alam rancaupas

Baju dobel tiga gara-gara dingin


Di kawah putih.
Gue: “Oh jadi ini kawah putih. Kawah terus warnanya putih.”
Hehehehe. Lalu diamuk penduduk lokal.

Kegoblokan Rancaupas tiga:

wisata alam kopi gunung ciwidey


Kami main uno dengan peraturan laknat. Sebenarnya uno laknat merupakan permainan kartu uno standar yang ditambahin peraturan: “Barangsiapa yang menyebutkan sebuah angka, maka dia harus ngambil kartu sebanyak angka tersebut.”

Jadi lah kami secara licik bergantian ngebuat pemain lain nyebut angka.

“Eh sekarang jam berapa?”
“Baru setengah tiga nih.”
“Kena lo! Ambil tiga! Hahahaha!” lalu dua detik kemudian, “Monyet, gue ngomong tiga! Anjeng kena lagi! Eh, jadi ngambil berapa ini gue?”
"Enam bego!"
"Mampooos lo juga bego! Hahaha!"

Lalu permainan uno berakhir dengan kami baku hantam di lapangan terbuka.

Siapa kah pencetus kebijakan biadan ini?
Ya, Hani.
__
Terakhir, gue mau naroh foto-foto bekas jalan-jalan minggu lalu:


 Choki Sitohang: Tunjukan pesonamu! Bintang: liat aku sekarang


Hani alias Dewi Biksu Absurditas 


wisata alam kawah putih
 Fahri yang katanya pengin motret bintang malem-malem tapi malah kedinginan


wisata rancaupas malam hari
 "Gue yakin ndi, ini foto rancaupas malem terbaik di google" sok pede


penangkaran rusa desa rancaupas
 Indi titisan siluman rusa


"Cih, lamban sekali orang ini merakit tenda"

Udah ah, segini aja dulu ya. Gue mau siap-siap kondangan. Videonya udah gue skejul supaya muncul di channel Kerjaan Lain pukul tujuh malam ini. Coba aja mampir-mampir ya!

Postingan Lanjutan Rancaupas

$
0
0

Afrianti Eka Pratiwi November 23, 2019 at 8:25 PM
Jadi ini kemping penuh kegoblokan? Kurang banyak kegoblokannya bang. Bikin lagi dong hahaha. Kampret betul permainan uno macam itu hahahahaha.

Fotonya Kak Indi kok bagus banget. Aku mau ngefans ke dia ah~~

Ngedit video emang butuh effort. Makanya gue gak bisa-bisa :( nanti video lo gue tonton pake wifi kantor wkwk.
--
Apa-apaan ini ditinggal kondangan Indi jadi punya fans?
Bagaimana dengan ketenaran saya selama ini?

Masa gara-gara foto bareng rusa yang nggak keliatan mukanya langsung ngefans. Ckckck. Begitu gue kasih tahu komen Tiwi ini ke Indi, respon dia malah, “Waduh, langsung berasa ada beban hidup.”

Sungguh lemah memang manusia, beda dengan saya sang Senpai ini. *Hormat ke matahari

Anyway, ngelanjutin dari postingan sebelumnya, gue mau naroh foto-foto yang gue post di Instagram. Here you go:


Iya, di samping nulis yang udah jadi kegiatan harian, kayaknya fotografi mulai jadi salah satu hobi baru deh. Lumayan buat refreshing. Feel yang gue dapat ketika ngangkat kamera dan jepret sama kayak awal-awal gue suka nulis. Di mana ada injeksi kesenangan tiap kali buat Microsoft word dan senyum-senyum sendiri karena pengin cerita sesuatu. Walaupun, yaa masih bego juga sih. Nggak begitu paham gimana cara teknis foto yang baik dan benar. I am still learning tho!

Cerita yang lain adalah: video udah tayang!


Gue mengakui kalau gue masih cupu abis soal pervideoan ini. Gimana cari ngambil shoot, editing, dan lain-lain. Apalagi karena video ini bukan video “niat” yang emang dipersiapkan bikin sebelum berangkat. Gue, Fahri, dan Indi cuma asal jepret dan rekam aja. Tapi, semoga rasa dan ceritanya dapat ya. Seperti halnya fotografi, video juga jadi hal yang baru banget buat gue. Harus pelajarin software-nya dari ulang lagi, tontonin banyak film/video di yutub, dan lain lain. But hope you enjoy this kinda vid! \:p/

Oh yeah. Kalau ada yang nanya kenapa harus diembed di sini sampe dibikin post baru? Jawab: Biar viewsnya nggak 6 dong. Muahahhaa.

On the other side, channel Kerjaan Lain di youtube itu kayaknya akan gue pakai terus menerus ke depannya. Entah bakal gue isi dengan tipe video serupa, atau bisa yang lain. Gue bikin channel itu untuk bisa ngelepasin apa yang ada di otak gue, yang nggak masuk ke kerjaan kantor aja sih. Bisa jadi lebih seru, atau malah random banget. Muahahah.

Bentar lagi mau mandi nih, terus siap-siap ke Gramed. 
Hope you have a great weekend, folks! Senpai, signing out! \(w)/

Tulisan untuk Bapak

$
0
0

Gue masih ingat saat Nyokap kehabisan kata tiga bulan lalu. Dia masuk kamar kerja gue, lalu berdiri dan mengeluh. “Bisa tolong kamu yang bikin kata-katanya nggak, Dek? Ibu takut nggak sanggup.”

Gue menengok, melihat raut wajahnya.
Wajah yang khawatir dilahap kata-katanya sendiri.

Gue lalu membayangkan dua halaman kosong di sebuah buku. Tempat di mana kata-kata itu akan tergeletak selamanya.

“Iya, nanti aku bantu deh,” jawab gue.

Nyokap lalu nyengir. Lepas dari jaring kata-kata yang ia takutkan, lalu berjingkrak keluar. Di pikiran gue, dua halaman itu masih kosong.

Namun, seperti Nyokap biasanya, pikirannya tak pernah mati. Dia menyala dan mengobarkan mata. Malamnya, dia ngabarin kalau tulisannya udah selesai. Gue nggak perlu bikin apa-apa lagi.

“Ibu bikin tulisan biasa aja deh,” kalimat yang gue balas dengan hehehe. Dia memperlihatkan hasil tulisannya, dan kami sepakat meletakkannya di dua halaman kosong tersebut, lengkap dengan tambahan satu gambar.

Kemarin, gue baca lagi tulisan itu dalam bentuk buku. Sebagaimana yang suka gue tulis di blog ini, gue punya cita-cita menerbitkan buku komedi. Jadi, ketika memegang buku ini, rasanya agak aneh. Di satu sisi gue kayak, “Oh, gini toh memproduksi buku. Memegang fisiknya. Membalik halamannya satu per satu.” Gue bisa dengan sangat narsis ngebuka buku itu malam-malam, tanpa sepengetahuan siapapun, untuk gue baca sendiri. Di sisi lain gue kayak, “Apa ini nggak terlalu serius untuk seorang Kresnoadi?”

Anehnya, setelah ngeliat bentuk fisiknya, timbul perasaan untuk mengisi dua halaman yang udah penuh itu.
Maka, inilah tulisan versi gue:

--
Ketika mata bertemu mata. Gema bersuara sunyi. Aku selalu bisa merasakannya. Kapan dia marah, kapan ia setuju, kapan ia merasa bangga, kapan ia khawatir. Sewaktu aku sekolah dahulu, dia tidak pernah mau kalah. Duduk di meja, laptop ia buka di sebelah telepon. Mempelajari Teknik AutoCAD dari CD yang entah dibeli di mana.

Kami jarang bicara.

Tapi ketika mata bertemu mata, gema bersuara sunyi, aku mampu merasakannya. Sewaktu aku sekolah dahulu, internet mengajakku main di ruko depan kompleks. Bapak menjemputku dan bertanya, “Dari kapan di sini?”

Pertanyaan yang kujawab dengan masuk kamar sampai sore.
Gemetar seluruh tubuh.

Kami sungkan cerita.

Tapi ketika mata bertemu mata, gema bersuara sunyi, aku sanggup melihatnya. Sewaktu aku selesai sekolah dahulu, Bapak keluar dari mobil kijang tua itu. Duduk berdua bersama ibu di tikar piknik, di sebelah penjaja boneka wisuda. “Sebelum pulang kita foto dulu ya.”

Senyumnya tidak bisa dibeli dengan SPP.

Maka ketika mata bertemu mata, gema bersuara sepi, dan organ-organ tak kuat lagi, aku ingin duduk di sebelahnya. Membaurkan al fatihah ke tengah awan. Yang menjadikannya hujan. Yang menjadikannya subur di jalan yang aku pijak.

--
Gue dulu punya cita-cita menerbitkan buku komedi.
Buku pertama gue malah buku yasin. Hidup gue yang komedi.



Dunia memang cuma tempat main dan senda gurau belaka [6:32]

Betrugen Alternate

$
0
0

Betrugen Alternate adalah cerita spin off yang gue buat berdasarkan cerpen Nfrimansyah di blognya.
Cerita asli Betrugen bisa dibaca di sini.

--
Di Jalan

Apa yang lebih buruk dari melihat pantat di siang hari? Ya, keluar dari pantat untuk jalan kaki di trotoar Jakarta siang hari. Lihat, lihat. Orang-orang ini naik skuter seperti Jakarta adalah kota... apa? Metropolusi? Gue agak lupa sebutannya kota-kota keren dystopia 2038 neo itu.

Cih, naik skuter. Mereka pikir tinky winky?

“Iya, misi, Mas,” kata gue, membalas kalimat pria berjas yang tidak ada. Gue memiringkan badan, menempel di tiang listrik kayak cicak supaya dia bisa lewat. Setelah berhasil lewat, gue merentangkan tangan. “Berpelukan!”

Pria berjas ini berhenti dan nengok.

Gue meluk tiang listrik.

Hampir aja gue bilang, “Pelukan, Mas?” untuk menetralisir situasi, tapi di sisi kanan tiang listrik ada bongkaran semen yang terbuka. Kayaknya bekas pohon. Gue memilih masuk dan berjalan ke pertokoan. Beruntung sekali dia ketemu orang kayak gue. Hihihi.

Orang ini memang beruntung, tapi tidak dengan perempuan di kantor tadi.

Siapa namanya? Marissa? Annisa? Prisa?

Kayaknya dia cewek baru deh. Nggak mungkin, kan, sengaja pakai rok sobek kayak gitu demi bisa diterima? Memangnya ini 1998? Tahu, kan, satu kasus di tahun itu di mana Budiman SP membuat kebijakan untuk mengubah taman kota menjadi... tanah? Dia menyebutnya sebagai “Lapangan 3.0”. Bapak bahkan masih menyimpan koran Pantauan Rakjat yang membahas soal itu. Salah satu kutipan yang gue ingat begini:

Di taman kita cuma bisa duduk-duduk, bersandar, dan ongkang-ongkang kaki seperti orang tidak punya kerjaan, maka saya buat yang lebih: tempat di mana kamu bisa duduk, tiduran, berdiri, sikap lilin, roll depan (tergantung kemampuan)! Tempat di mana bumi dipijak dan langit dijunjung! – Budiman SP

Beritanya berisi pendapat Budiman tentang perbandingan antara lapangan 3.0 dengan taman pada umumnya.

Dan kita tahu itu perintah istrinya.

Konon istrinya menyukai bintang-bintang. Konon istrinya sakit dan menyukai bintang-bintang. Konon istrinya sakit pusing dan di atas kepalanya berputar bintang-bintang. Konon di malam hari sang istri pernah terbangun lalu mengelus kepala Budiman. Dia bilang, “Bud… Bud.. aku ingin bintang.”

“Bintang begimana maksudmu?”

Istrinya membentuk gambar bintang dengan telunjuk di dada Budiman.

“Kamu gambar lambang freemason ya?”

“BINTANG, BUD! BINTANG!”

“Oh,” Pak Budiman akhirnya paham. Ia memiringkan badannya ke istri dan menyentuh hidungnya dengan lembut. “Ngomong dong. Di kulkas ada dua kalo gak salah…”

Kalimat itu membuat kepala Bu Budiman panas seperti digampar bulan dan bintang. Dan, kata orang-orang, itu lah awal mula terciptanya Lapangan 3.0.

Lapangan 3.0 yang tersisa saat ini hanya Lapangan Banteng.


Di Mobil

Aku tahu skuter sedang menjadi polemik, tapi manusia, kan, punya otak. Aku merapikan jas dan masuk ke mobil. Hari yang menyebalkan. Tiga kali presentasi sama dengan tiga kali pengalaman buruk. Pemutar musik di mobil menunjukkan pukul 21:33.

Won’t be home for now
I’m on a break
Detaching for a while

Pertama: Mobil sudah kuparkir jauh dan naik skuter demi tepat waktu mendatangi klien ini. Biar kuklarifikasi. Siapa yang suka skuter? Kamu pikir aku naik itu karena sedang tren? Kamu pikir skuter itu keren? O jelas tidak. Dan aku rasa semua penduduk bumi setuju denganku. Kalau skuter itu keren, pasti lah ada orang bernama Tony Hawk Pro Skuter.

Skater itu keren, tapi skuter? Jenis sepeda (?) yang bahkan lebih cupu lagi. Tidak ada orang yang tingkat kekerenannya bertambah karena naik skuter. Malah yang macho jadi lemah. Bayangkan Deddy Corbuzier naik skuter. Sama menggelikannya dengan membayangkan Deddy Corbuzier mandi pakai gayung bentuk love warna hijau.

Harkat martabatku sudah turun tapi apa? Tapi pak Budiman tidak ada di tempat. Nomornya tidak bisa dihubungi. Dan aku tidak tahu tanggal lahirnya untuk kukirimkan ke santet online. Tanpa pemberitahuan minta memundurkan jadwal ke minggu depan. Bagaimana bisa, sih, dunia ini membuat orang kaya mampu membeli waktu?

Aku sudah punya rencana untuk minggu depan. Sebelum berangkat, aku akan mengirimkan pesan “Saya berangkat ke tempat bapak.” begitu dia balas, “Ok” langsung aku sikat dengan “tapi boong~”.

I’m flying solo
I’ll fly without you
I’ll go by myself

Kedua: Awal meetingberjalan lancar. Sampai aku sakit perut entah karena apa. Konsentrasiku buyar seketika. Klien bertanya hal terpenting dari desain ini dan kujawab dengan: “KAMAR MANDI, JENDERAL!” lalu ruangan itu hening tiga detikan.

Butuh tiga partuntuk menceritakan sisanya dan sepertinya aku hanya akan mengatakannya pada Anisa.

“Aku sudah sampai.” Kukirimkan pesan ke Anisa. Kutembakkan lampu dim dua kali ke pagar rumah Alex. Kejutan di dalam dashboard sudah kusiapkan. Sebentar lagi semuanya akan meledak. Dan aku mercon tahun baru yang disukai anak-anak.

I’m flying solo
I’ll shed my own tears
I’ll walk my own fears

Kutekan klakson panjang. Ia keluar dengan blazer krem. Langkahnya tidak sengaja seirama dengan jantungku.


Di Rumah

“Maaf, tadi sudah kumasukkan ke mesin cuci,” jelas Alex.

“Maaf, sekarang kuganti dengan piyama ini.” Anisa mengaduk mesin cuci, mencari blazer dan roknya, menanggalkan pakaiannya, menatap Alex, memasukkan piyama ke tumpukan paling bawah. “Langsung dicuci. Jangan dibayangkan.”

“Kalau dici-“
“Diam.”
“Kenapa, sih, kamu perlu memakai piyama hanya untuk berjalan dari kamar ke tempat cuci?”

“Bisa tanya hal lain?”

Bisa. Di kepala Alex banyak pertanyaan lain. Kenapa Anisa setakut ini? Kenapa tidak kita lawan saja pria busuk tukang ngeluh di luar? Kenapa dia tega membuat kamu seperti ini? Kenapa kamu tega membuatku seperti ini? Kenapa pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa keluar. Abort mission. Ternyata gabisa.

“Ingat. Langsung dicuci.”

Anisa berlari-lari kecil dari bukit pakaian kotor ke bukit peralatan dandan di kamar Alex. Alex menyusulnya. Di depan kaca Anisa berlenggak-lenggok, menyemprot parfum dan memainkan rambut.

“Menurutmu aku gimana?”

Alex menjawab dengan pelukan dari belakang.

“Aku harus pergi.”

Tok tok tok!

“Assalamualaikum!” Di depan pintu, orang ini berdiri, dengan bingkisan kecil di tangannya. Di sebelah bel tertulis “BUDIMAN SP”

Monyet. Apa aku taruh dashboard lagi aja ya?



Di pemberhentian

Gimana hari ini? Aku ingin cerita tentang tiga pengalaman burukku. Aku juga ingin cerita tentang tiga pengalaman burukku. Menurutmu lebih buruk mana, tiga pengalaman buruk atau satu? Tentu tiga. Tapi aku tidak siap saat satu pengalaman buruk lebih buruk dari tiga pengalaman buruk. Semua orang harus siap bukan? Itu lah kenapa ada hitungan mundur tiga dua satu sebelum pistol ditembakkan dan kaki-kaki pelari melontar keluar garis start.

Kamu siap?

Aku juga tidak.

Tapi menurut kamu?

Menurut aku aku salah. Dan aku tidak tahu harus bilang apa lagi karena aku memang salah. Tapi semua orang punya salah dan aku adalah bagian dari orang-orang itu.

Tapi apakah kita dilahirkan untuk menentukan yang salah dan benar atau soal menyelotip luka? Tapi bagaimana kita bisa menyelotip kalau lukanya belum lahir. Bagaimana kalau lukanya masih tidur? Haruskah kita membangunkannya atau kita tunggu saja sampai pagi datang. Bagian mana yang harus diolesi alkohol. Kulit atau tenggorokan. Tahu apa yang lebih menyebalkan dari melihat pantat di siang hari? Melihat mata dari spion mobil. Melihat mata dari spion mobil dan mengetahui bahwa mata tidak cukup pintar untuk melihat bahwa kita tidak lebih baik dari pemutar musik di dalam mobil soal hal-hal intim.

Podcast PKK - Social Anxiety

$
0
0

Hari sabtu kemaren gue bikin podcast soal social anxiety. Soal pengalaman dodol gue tentang kebodohan-kebodohan berinteraksi sosial ini. Gue gatau sih orang-orang akan sadar atau malah makin trauma denger podcast gue. Tapi buat yang mau denger bisa play dari bawah atau cek di Spotify di Podcast Keriba-Keribo ya!


hope you live the happiest.

$
0
0

Gue pernah merasa orang yang berjiwa konsumtif ketika punya masalah itu aneh. Seseorang ini punya masalah di hidupnya. Alih-alih menghadapinya, dia memutuskan untuk masuk ke H&M, dan membawa pulang dua potong cardigan. Sampai kosan, masalahnya masih ada. Duitnya nggak ada.

Atau mereka yang having fun bareng temen-temen di tempat jedag-jedug. Minum sambil dansa. Diantar kerabat ke apartemen karena dapat jackpot. Dibangunkan puluhan notifikasi tentang kejadian tadi malam.

Atau mereka yang kerjanya makan melulu. Seolah-olah kesedihan bisa dikunyah dan berakhir jadi tahi di pembuangan.

Kenyataannya, tidak ada yang salah dengan mereka.
Apa yang selama ini gue pikir aneh, ternyata cuma perasaan iri.

Emosi yang muncul dari masalah seseorang memang sebaiknya disalurkan. Dan tiap orang, bebas memilih cara mengeluarkannya. Ada yang nenggak amer sampai curhat. Ada yang dengan membeli banyak makanan. Ada yang traveling ke tempat baru. Ada yang sekadar cerita ke orang yang dia percaya.

Selama ini gue selalu suka ngedengerin cerita orang. Segala hal yang terjadi di keluarga dan lingkungan, membuat gue jadi orang yang seperti itu. Belajar mendengar sambil cari perspektif baru. Seneng ngelihat sekeliling gue ketawa. Menjadi stress reliever orang lain. Sampai di satu titik gue sadar, kalau gue juga butuh itu.

Dan ternyata, gue nggak punya.

Gue tidak punya botol amer yang bisa gue tenggak. Gue tidak bisa jadi orang yang konsumtif mendadak. Dan belakangan gue sadar, kalau gue tidak punya orang untuk mendengar masalah-masalah gue. Di satu waktu, ketika menyimak masalah orang ini, gue pernah punya perasaan jahat.

Perasaan yang bilang kalau gue ingin menduplikasi diri. Dan dengan congkaknya bilang, “Enak kali ya punya Kresnoadi yang bisa dengerin masalah gue.”

Semakin gue coba bercerita, semakin gue tahu jawaban-jawaban yang muncul dari orang-orang ini. Sabar. Kembali ke agama. Atau menceritakan balik masalahnya dan menganggap gue tidak seberapa.

Kekuatan dan kepercayaan yang gue kasih, ternyata dianggap gitu aja.

Dahulu, gue melampiaskan emosi dengan menulis. Gue menulis apa aja. Dari yang nggak penting, sampai perasaan-perasaan terdalam.

Beberapa bulan ke belakang, gue jadi merasa kalau itu adalah hal yang norak. Tulisan ini misalnya. Ngebuat gue makin down karena berpikir, di luar sana, ada yang menganggap gue alay. Dan walaupun emang bener, tetep aja rasanya perih.

Belum lagi mereka yang seolah bikin peraturan tidak tertulis tentang apa yang boleh ada di dunia maya dan apa yang tidak boleh. Bahwa dunia maya seharusnya tempat berbagi kebahagiaan dan bukannya kesedihan. Mereka yang pelan-pelan bikin gue berubah. Dari orang yang abnormal dan random di internet, menjadi sok-sokan belajar foto dan video.

Supaya gue, lagi-lagi, melihat orang lain dari balik kamera. Tanpa peduli diri sendiri.

Dan karena itu, I hope you all live the happiest.
So do I.

Dari Orang Paling Gembel Sampai Tiktok

$
0
0

Hari ini gue resmi jadi koala. Bangun jam sebelas siang, laper, golar-goler lalu ketiduran lagi sampe setengah delapan. Jadilah sekarang gue hinggap di Sleepless Owl sebagai satu-satunya orang beler di sini.

Baru aja duduk, ada satu cowok yang nyamperin cowok di sebelah gue. Nggak. Nggak cuma nyamperin, dia juga bawa cupcakes lengkap dengan lilin yang lagi nyala.

Gue bengong, muka ingusan.

Cowok bawa lilin: Happy birthday to you~

Mata cowok sebelah gue berbinar-binar.

Cowok sebelah gue, dengan logat batak: “Duh, lucu kaliiii~”

Gue bengong, muka ingusan, mata gue keluar darah.

Oh, indahnya dunia penuh cinta.

Ngomong-ngomong, ini kenapa gue doang yang tampangya kayak gelandangan gini ya? Daritadi gue perhatiin orang-orang yang pada di sini rapi amat deh. Kalo nggak kemejaan, pada pake jeans. Sementara gue dateng bawa ransel pake baju jogja belel, bando, dan celana pendek.

Lagi ada apaan sih yang heboh di dunia ini? Baru aja iseng buka Youtube, terus ada videonya Arief Muhammad sama Ardhito pake judul “Ardhito Pramono Kenapa, Sih?”

Gue: Sumpah, GUE KAGAK TAHU ARDHITO KENAPA.

Semenjak jarang buka twitter, gue jadi kehilangan apdet gitu-gituan deh. Tahu, kan, gimana cepetnya Twitter buat urusan gak penting. Pagi ada anak kecil nyanyi lalu tirai di belakangnya jatuh dan dia jerit, “Astaghfirullah, What? Uchul?!” lalu siang heboh prank ojol, eh tahu-tahu malem ngeributin kekeyi live sama Rio Ramadhan. Mana pas live si Rio cerita dia dipatok ayam pula. Sungguh random sekali.

Bagusnya, sih, kita bisa apdet dan nggak ngerasa katro di pergaulan. Tapi, makin lama gue ngerasa twitter udah jadi tempat yang terlalu berisik deh.

Jadi lah sekarang gue subscribe ke newsletternya asumsi dan Catch Me Up buat tahu berita tiap harinya. Sekarang, tiap pagi kerjaan gue buka email untuk tahu apa yang terjadi kemaren. Atau dengan kata lain: hidup gue udah bapak bapak banget.

On the other note, sekarang lagi rame banget ya orang main Tiktok. Dan gue ngerasa ini seru abis! Suasana orang-orang di Tiktok tuh kayak pertama kali Twitter booming. Semua pada tahu kalau apa yang dipost itu ya sekadar buat iseng dan seru-seruan aja. Gue pernah ngeliat satu video Tiktok berisi bapak-bapak bikin magic video. Dia loncat di depan garasi, lalu ngubah baju yang dia pake jadi baju lain. Captionnya: “Maaf ya masih jelek.”

Pas nonton itu, gue pikir komentarnya bakalan rusuh. You know, orang Indonesia kalo ngeliat yang begitu tanduknya keluar semua. Tapi ternyata tidak sodara-sodara! Semua komentarnya malah memuji si bapak. Mulai dari yang bilang, “Ini mah keren!” “Mantab ini pak, saya malah gatau cara bikinnya” sampai “Ayo pak, kita mantap mantap” (bentar, kayaknya ada yang salah deh).

Pokoknya, tiap gue buka Tikitok, bawaannya bahagia dan adem gitu lho.

Masalahnya, gue nggak biasa buka Tiktok di tempat umum. Kalo lagi di tempat banyak orang, sepi, agak gimanaa gitu rasanya kalo tiba-tiba hape gue ngeluarin suara: “Digoyang ubur-ubur!” Kan jadi pengen joget (lho).

Segini dulu kali ya postingan kali ini. Gue mau coba kerja terus balik ke kosan dan main Tiktok. Muahaha. See you on another post!

Abis itu kita ke malioboro, sumpah...

$
0
0

Di Gojek

Gue: Ke Jogja tuh yang seru ke mana, Bang?
Dalam hati: Gila ini pertanyaan gue udah kayak turis-turis keren yang prinsipnya “Berbaurlah! Tanya aja sama warga lokal!”

Gue: Bang?
Gojek: Eh? Iya, Mas?

Gue majuin kepala ke sebelah kanan. Kayak mau nyedot leher abangnya.

Gue: Ke Jogja tuh yang seru ke mana, Bang?
Gojek: Oalah. Masnya di Jogja berapa lama?
Gue: Semalem, Bang.
Gojek: Masnya lagi galau nggak?
Gue: Mak-maksudnya, Bang?

Gue mulai ada Hasrat pengen ngunyah leher abangnya.

Gojek: Kalo lagi galau, coba aja ke pasar kembang, Mas.
Gue: Oh. Liat-liat tanaman, Bang?
Gojek: Ya pokoknya di situ banyak anak-anak muda suka ngumpul gitu, Mas. Hehehe.

Gue tepok pundak abangnya.

Gue: HALAH. TEMPAT FREE SEX KAN ITU?!!

Abangnya tiba-tiba oleng. Kayaknya shock denger reaksi gue.
Kami diam-diaman empat menitan.

Gue: Bang…
Gojek: Ya, Mas?
Gue: Cara ganti tujuan di aplikasi Gojek gimana?
Viewing all 206 articles
Browse latest View live