Quantcast
Channel: Kresnoadi, beserta rambutnya yang tidak kribo.
Viewing all 206 articles
Browse latest View live

Bagaimana Dua Orang LDR Bertemu

$
0
0
Lucu bagaimana dua orang bisa bertemu, berkenalan jarak jauh, hingga akhirnya menjalani long distance relationship.

Beberapa waktu belakangan, gue lagi baca bukunya Aziz Ansari, judulnya Modern Romance. Di sana dia membedah aspek romantisme dari generasi sebelum kita, sampai saat ini. Bagaimana teknologi mampu menggeser cara pandang kita akan pencarian jodoh.

Di dalam buku itu, Aziz mengatakan bahwa orang-orang di masa lalu mengartikan “jodoh” sebagai partner untuk berkembang biak. Supaya kita sebagai manusia dapat terus beregenerasi. Berbeda dengan sekarang di mana setiap orang sebisa mungkin menemukan “soulmate”. Mencari orang yang kita anggap paling sempurna.

Perbedaan pandangan ini akhirnya membuat kita mengubah cara-cara yang kita pakai dalam mencari pasangan. Orang zaman dulu, misalnya. Kebanyakan mendapatkan pasangan dari lingkungan di sekitarnya. Teman satu apartemen, tetangga, atau satu tempat kerja. Pokoknya, tempat-tempat yang mudah dijangkau sehari-hari.

Hal ini berkebalikan dengan zaman sekarang di mana kita bisa dengan sangat leluasa mencari the one, ke mana pun tanpa batasan geografis.

Buat gue ini menarik. Karena pada akhirnya, dengan berbagai sosial media dan aplikasi online dating, seseorang dapat saling tertarik dengan orang yang jauh. Berkenalan dengan orang-orang yang dia tidak pernah pikirkan sebelumnya. Bagi pasangan LDR, bandara adalah tempat yang sakral. Bagi pasangan yang beruntung, mungkin mereka akan kopi darat. Berpelukan di depan pintu kedatangan, lalu menikah dan hidup bahagia selamanya. Bagi pasangan yang gak beruntung-beruntung amat, mungkin salah satunya akan membeli tiket pesawat murah. Lalu sesampainya di bandara, kaget karena ternyata muka pacarnya kayak abon sapi.

Pertemuan orang-orang yang berhubungan jarak jauh selalu punya ceritanya sendiri-sendiri.

bagaimana dua orang ldr bertemu


Di dalam buku Modern Romance, dibahas pertama kali online dating muncul. Ternyata, cara kita “mencari pasangan” jarak jauh ini sudah ada sejak 1960-an. Tapi, karena di masa itu yang punya komputer dan internet baru dikit (menurut ngana?), jadi penggunanya pun sedikit. Baru deh di tahun 1980-1990an, ajang pencarian jodoh ini mulai masuk ke tabloid dan surat kabar. Gue bahkan masih ingat di saat gue kecil, di salah satu sesi tabloid langganan nyokap, ada kolom yang memajang berbagai foto cowok dan cewek, lengkap dengan profil dan nomor telepon yang dapat dihubungi.

Contoh:

Kresnoadi. 24 tahun. Seorang laki-laki yang berjiwa petualang. Ditandai dengan tiap turun dari angkot teriak, ‘MY TRIP… MY ADVENTURE?!’ Saya mencari perempuan yang ingin menjalani hubungan serius… dan desperate.Tertarik? Hubungi: 0823587xxx

Masalahnya, di era yang katanya serba canggih ini, banyaknya aplikasi online dating justru membawa dampak lain: kita jadi terlalu banyak punya pilihan. Hasilnya, pencarian soulmate terasa jauh, jauh lebih melelahkan. Semakin kita punya banyak ‘pilihan’ kepada orang lain, kita jadi semakin bertanya ‘Apakah yang sedang gue pilih sekarang adalah orangyang tepat?’

Padahal mungkin aja,
pertanyaan itu bisa dijawab seperti cara dua orang LDR yang bertemu: Percaya. 

Ayam Pemecah Belah Bangsa!

$
0
0
lagu anak ayam tekotek kotek


Pada awalnya, gue beranggapan kalau ayam adalah hewan yang baik. Kayaknya, dia adalah salah satu makhluk yang menghasilkan banyak manfaat buat kita.

Tapi tidak lagi, kawan.
Pikiran itu sudah sirna sejak beberapa hari yang lalu.

Setelah gue pikir ulang, ternyata ayam adalah hewan pemecah belah bangsa!

Ya, kamu tidak salah baca. Selama ini kita sudah diperdaya oleh kaum ayam. Dan kita tidak sadar! Saat membaca ini kamu mungkin masih bingung. Tapi tenang, kebingungan itu akan segera sirna. Gue akan membongkar kebusukan yang direncanakan ayam-ayam selama ini!

Jadi tolong, kalau kamu baca ini sambil main ayam (?), tinggalkan sejenak ayam itu.

Gue akan mulai di poin pertama. Ingat kah kamu tentang pertanyaan “Hayo, duluan ayam atau telur?” Ya, mungkin kamu pikir itu adalah pertanyaan yang dibuat oleh para ilmuwan untuk membuat kita berpikir akan teori evolusi. TAPI TIDAK! Ini adalah sabotase kaum ayam!

Ya, kalau kita pikir lebih jauh, kenapa harus ayam? Padahal bisa aja pertanyaan itu menjadi “Duluan telor apa cicak?” Atau kalau mau yang ekstrem, “Duluan mana: dia bilang putus, atau kamu harus pura-pura bikin bosen?" Tapi tidak, saudara-saudara! Ini adalah upaya licik para ayam yang ada di dunia! Gara-gara pertanyaan ini kita jadi berantem. Para manusia mulai terpecah menjadi dua. Tapi adakah di antara kita yang menyadarinya? Ayam keparat!

Tidak berhenti sampai di sana. Mereka juga menyusupkan ayam-ayam lemah untuk dikorbankan kepada kita. Untuk apa? Betul, kawan. Supaya kita berebutan kulit ayam KFC! Sudah tidak terhitung lagi berapa pasangan yang berantem gara-gara gak sengaja kemakan kulit ayamnya. Padahal… padahal gue pikir dia gak suka! Makanya kulit ayamnya disisihin! Eh, ternyata emang disisain buat terakhir! Sungguh keji sekali trik ayam ini. Gue doain mereka semua mati digoreng, gue makan, lalu masuk neraka dan digoreng terus gue makan lagi begitu gue mati.

Lihat betapa hebatnya mereka sampai-sampai memengaruhi kita hingga pihak KFC membuat berbagai eksperimen dengan ayam. Kayak ayam yang dikasih cokelat dan ayam dikejuin. Semula gue berpikir kalau ini adalah bentuk perlawanan kita. Tapi ternyata gue salah, sobat karibku. Ini justru semakin memperkeruh keadaan! Manusia semakin terbagi menjadi dua: Ada yang suka makan ayam dicocol, ada juga yang diguyur! Fuck! Gue gak liat celah ini. Kolonel Sanders pasti sedang dipatok ayam di liang lahat sana.

Beberapa hari yang lalu, gue ingin membuat perlawanan balik. Gue mengawali dengan ngajakin ngobrol temen-temen kantor soal ayam. Gue mulai dengan sebuah pertanyaan, “Eh, emang bunyi ayam kotek-kotek ya?”

“Mana ada!” salah satu temen gue dengan tegas tidak menerima.

Gue lalu membuka kenangan masa lalu. Gue inget ada lagu ayam yang judulnya “Tek kotek kotek anak ayam” Buat anak 90-an, pasti pernah ngerjain temennya dengan “lagu gak abis-abis” ini pake “Tek kotek kotek kotek anak ayam tujrun SEJUTA! Mati satu tinggai 999999!”

Gara-gara pertanyaan gue, perdebatan mulai terjadi.

Fianda, salah satu temen yang lain bilang, “Ayam kan berkokok, Di!”

Gue berdiri. “Mana ada ayam bunyi ‘Kokok! Kokok!’ Ayam keselek salak?”

Temen lain berargumen, “Kayaknya ayam kukuruyuk deh…”

Kami semua ngeliatin dia.

“…tapi itu ayam jago sih.”

“NAH KAN! AYAM JAGO ITU!” Semua sepakat.

“Jadi anak ayam kotek-kotek kan?!” Gue kembali ngotot. Membuka video Youtube lagu tersebut, lalu secara tidak sadar ikiut berjoget kayak anak kecil itu. Setan! Ayam pasti udah merasuki gue!


“Tapi mana ada anak ayam bunyi kotek-kotek, Adi.” Fianda tidak mau menyerah. “Anak ayam tuh cuit cuit! Gue yakin! Ayam yang kuning!”

“Berarti yang kotek-kotek ayam yang ijo!”

“Itukan dicat abangnya, Di!”

“Oh iya.”

“Jadi gimana?” Fianda membuka Youtube. Menekan keyword ‘Peternakan ayam’ dan mendengarkan ke seantero ruangan. “Nih, dengerin nih!”

Lalu anak ayamnya berbunyi…

Piyik…piyik… piyik…

“ANJENG! ANAK AYAM BUNYINYA PIYIK! PANTES ADA SEBUTAN AYAM PIYIK!”

Kami semua hening.

Ini kekalahan bagi umat manusia.

Di antara semua keheningan ini, Tedy bersuara, “Ayam bukannya petok petok ya?”

KAMI SUDAH HANCUR YA ALLAH?!

Review Aplikasi Ruangguru: Ruangbelajar dan Saya Masih Mau Hidup

$
0
0
Pertama. Gue gatau apakah review aplikasi ruangguru ini bisa nggak bias. Karena eh karena… gue kerja di sana gitu lho! Aku masih ingin terima gaji bulan ini. *salim sama bosh

But stay tuned.
Gue akan coba kasih tahu dari berbagai sudut pandang.

--
Apa pentingnya pendidikan?

Well, gue adalah orang yang percaya bahwa pendidikan merupakan jawaban untuk banyak hal. Contohnya, ketika sehabis hujan di jalanan banyak genangan… EH ADA ORANG NGEBUT. Di saat itu lah kita ingin berkata, “SEKOLAH LO, WOY!”

Mungkin selama sekolah, si orang ini tidak diberitahu kalau BAN YANG NGEBUT DINGEPOTIN KE AER BAKAL NYIPRAT. Mungkin si orang ini berpikir “Wah ada air! Ngebut ah! Siapa tahu... dari tanah muncul receh dollar?!”

Pendidikan juga berperan untuk hal-hal lain. Misalnya, ada hukum fisika yang menyebutkan di mana “Tekanan = gaya:luas” Apa itu artinya? APA?! TOLONG KASIH TAHU! SAYA JUGA GAKTAHU?!

Ehem. Gue emang gatau apa maksud dari rumus tersebut. Tapi dari sana, gue dapat mengambil kesimpulan bahwa ketika kamu banyak gaya di tempat yang kecil, maka tekanannya akan besar. Asoy bukan?

Di samping itu, pendidikan secara tidak langsung memengaruhi kehidupan asmara kita. Tidak bisa dipungkiri bahwa lawan jenis lebih tertarik kepada orang yang pintar ketimbang tampan/cantik aja. Kalo tampangnya oke, tapi pas ditanya ‘Kenapa ya pelangi bisa warna-warni gitu?’ dia jawab, ‘Soalnya muncul dari mata kamu.’

RAJAM!

Itu lah kenapa, ada aplikasi Ruangguru. Aplikasi yang digadang-gadang dapat menjadi solusi bagi pendidikan Indonesia. Bagi pola pikir masyarakat yang, belum tertata rapih. Bagi kaum millennials, yang punya mobilitas tinggi dan tidak punya waktu yang cocok untuk ikut bimbingan belajar.

Ruangguru adalah aplikasi pendidikan yang punya beragam produk. Mulai dari ruangles, yang merupakan marketplace untuk guru dan murid (mirip seperti gojek, tapi yang datang guru), ruangles online (tempat bimbingan bersama guru secara online), ruangguru digital bootcamp (layanan grup chat pendidikan), serta ruangbelajar(video pendidikan beranimasi). Kalau mau ngebayangin, mungkin ruangguru itu gojek, yang di dalamnya ada banyak layangn kayak go-ride, go-car, go-send gitu-gitu.

review aplikasi ruangguru

--
Mulai dari sini, gue akan coba mereview produk ruangbelajar yang ada di dalam aplikasi ruangguru. Ada 3 alasan yang ngebuat gue memutuskan untuk mereview produk ruangbelajar ketimbang yang lain: 1) Buat gue ini adalah produk yang paling menarik. Berisi set kumpulan materi pembelajaran sekolah dalam versi video beranimasi. Jadi mirip kayak les, tapi mandiri dan hanya berbekal aplikasi. 2) Ini produk jagoan. Setingkat kayak Go-Ride di Gojek atau janji palsu di pacar yang udah mulai bosen. 3) Ini kerjaan gue di kantor. Muahahaha.

Kalau kamu pernah menonton channel Kok Bisa di YouTube atau Ted-Ed, kira-kira video animasi yang ada bakal kayak gitu. Bedanya, di ruangbelajar akan ada guru yang menerangkan di papan tulis. Jadi, suasana sekolahnya tetap dapet.

Saat membuka aplikasi ruangguru ini, pilihan ruangbelajar ada di pojok kiri atas. Tinggal klik, langsung deh masuk ke semua fiturnya.

Tampilan

ruangbelajar dari ruangguru


Di tampilan awal, terdapat berbagai pilihan mata pelajaran dan kurikulum di bagian atas. Saat ini, ruangbelajar terdiri dari kelas 4 SD sampai 12 SMA, persiapan UN dan SBMPTN, mulai dari kurikulum KTSP, kurikulum K-13, dan K-13 Revisi. Terus terang, gue gak begitu paham soal kurikulum-kurikulum ini. Meskipun begitu, gue tahu KALO PELANGI GAK MUNCUL DARI MATA LO. So, kalau ada yang bisa kasih masukan, silakan tulis di kolom komentar di bawah ya! Siapa tahu kamu punya saudara atau adek yang ada di kelas itu. \:p/

Buat gue sendiri, tampilannya cukup gampang untuk dimengerti. Tinggal pilih kategori kelas beserta kurikulumnya di tab, lalu muncul deh semuanya. Begitu kita klik mata pelajarannya, kita langsung sadar kalau Ruangbelajar ini mengusung konsep belajar sebagai “petualangan”. Jadi, pengguna dibuat seakan sedang menjalankan misi. Padahal, mah, aslinya belajar juga. Menurut gue ini menarik karena dengan begini, arah pelajaran jadi teratur. Kita tidak bisa belajar dengan “loncat” dari satu materi ke materi lain seenaknya aja.

Konten



Mungkin kamu masih bingung soal misi. “Misi? Misi apa yang kita jalanin?” Nah, konten-konten yang ada di ruangbelajar itu terdiri dari video, kuis, rangkuman berupa infografik, dan latihan akhir yang diatur sedemikian rupa untuk memudahkan cara belajar kita. Jadi, untuk setiap topik pelajaran, kita akan menemukan beberapa misi yang harus diselesaikan sebelum akhirnya menyelesaikan tantangan berupa “latihan akhir”.

Format setiap misi dalam pelajarannya seperti ini:

Menonton video -> Mengerjakan kuis -> Menonton video -> Mengerjakan kuis -> Melihat rangkuman -> Mengerjakan soal

Bandingkan dengan format menjalankan misi belajar di bimbel seperti ini:
Pulang sekolah -> Capek -> Macet2an -> Sampe tempat bimbel -> Belajar sambil capek -> Pacaran bentar -> Macet2an

Video

video animasi ruangbelajar dari ruangguru


Ada dua jenis video yang terdapat di ruangbelajar. Pertama, video dengan guru yang mengajar di papan tulis dengan animasi unyu, sementara jenis lainnya adalah video guru yang menulis langsung dari layar hape Cinta Laura. Keduanya sudah diatur tergantung jenis materinya. Karena kayaknya gak mungkin belajar soal-soal ngitung ribet banyak rumus pake dengan video animasi. MAO SEJAM SENDIRI APA VIDEONYA? Dengan adanya opsi video menulis di layar, kita mengikuti arahan guru sewaktu mengajar dengan lebih cihuy deh.

Dengan adanya dua jenis video ini, murid bisa lebih asoy dan cepat dalam memahami materi. Durasinya juga sebentar. Kira-kira 3 detik lah. KAGAKLAH. Paling lama 15 menit, tergantung dari materi yang disampaikan. Jadi, kita nggak akan keburu capek duluan saat belajar.


Sayangnya, di dalam video ini, kita tidak bisa memberikan komentar atau rating terhadap si pengajar. Padahal, siapa tahu aja dengan adanya kolom komentar, kita bisa mendapatkan ilmu lain dari hasil sharing para pengguna. Kekurangan lainnya adalah, terkadang, si video ini suka nggak stabil. Entah karena koneksi internet guenya, atau emang masih ada bug-nya.

Kuis

soal dan pembahasan di aplikasi ruangguru


Kuis-kuis yang ada di ruangbelajar ini terbagi menjadi dua jenis. Yaitu Kuis dalam setiap misi, dan kuis yang merupakan “latihan topik” apabila kita telah memelajari satu topik pelajaran secara penuh. Kuisnya, tentu aja pilihan ganda. Nantinya, setelah kita menjawab, akan ada pembahasan yang memberitahukan jawaban yang benar dari kuis tersebut.

Berbeda dengan kuis-kuis di dalam misi, kuis ini terdiri dari 10 soal pilihan ganda, lengkap dengan waktu yang akan mengukur kecepatan menjawab kita dan skor yang kita raih.

Rangkuman

rangkuman belajar di aplikasi ruangguru


Di setiap misinya, akan ada satu rangkuman yang berisi infografik mengenai beberapa video pembelajaran di misi tersebut. Enaknya, rangkuman ini dapat kita download langsung ke hape kita. Jadi, ketika kita sedang pengin mengingat suatu materi, kita gak perlu lagi nontonin videonya dan “mencari” di menit ke berapa poin yang kita cari. Tinggal buka gallery, liat foto gebetan biar semangat, baru buka rangkumannya.

Lainnya

Hal menarik lainnya dari ruangbelajar ini adalah adanya fitur rapor. Sama halnya seperti rapor sekolah, di dalam fitur ini, terdapat record “nilai-nilai” yang kita punya saat belajar menggunakan ruangbelajar. Seperti jumlah video yang kita tonton, rekomendasi topik pembelajaran, sampai berapa kuis yang telah kita kerjakan. Tenang, jumlah mantan yang kita punya gak ikut diitung kok.

Uniknya, ruangbelajar ini tidak hanya menawarkan materi pembelajaran sekolah, tetapi juga ada materi “peningkatan kualitas”. Namanya RG Inspire. Di dalamnya, akan ada berbagai video ngobrol-ngobrol santai seputar kehidupan yang, niatnya, ehem, menginspirasi para siswa. Tidak, di dalamnya gak ada Om Mario Teguh bilang, 'Untuk mendapatkan orang yang pantas, kita harus memantaskan diri kita dulu. Itu!'

Tapi di dalemnya ada bos gue.
Maka demi keselamatan pribadi, mari kita akhiri saja review ruangbelajar ini.


--
Aplikasi ruangguru ini tentunya memudahkan kita untuk bisa belajar di mana saja dengan lebih santai. Mengubah mindset kita akan belajar yang “kaku dan tegang” menjadi sesuai yang fun dan dapat diselipkan di keseharian kita. Semoga, review aplikasi ruangguru ini ngebantu buat kamu yang pengin cari aplikasi seru di bidang pendidikan.

Jadi, apa ini solusi untuk pendidikan di Indonesia?

Silakan jawab sendiri.

https://itunes.apple.com/id/app/ruangguru-solusi-belajar/id1099742206?l=id&mt=8








Seperti Laki-Laki Berumur 25 Tahun

$
0
0
Aku menyukai pakaian yang kamu kenakan kemarin Senin. Karena diam-diam, aku merasa kalau kita, pada akhirnya, punya kemungkinan untuk bersama.

Aku menyukaimu seperti aku menyukai guling di musim hujan. Aku menyukaimu seperti aku menyukai caraku mengurung diri di dalam selimut. Aku menyukaimu seperti anak kecil yang meluncur di perosotan. Lalu ia ingin kembali naik. Lagi, dan lagi. Meskipun harus dari depan.

Aku menyukaimu seperti anak kecil menyukai kartun di minggu pagi. Menatap layar dengan mata bulat sempurna. Satu tangan memegang remote. Lalu menangis ketika salurannya diganti orang lain.

Aku menyukaimu seperti kucing menyukai elusan di bagian leher. Seperti anjing menyukai lemparan bola. Aku menyukaimu seperti Ed Sheeran menyukai microphone dan petikan gitarnya sendiri. Seperti Jakarta menyukai kendaraan-kendaraan yang berjalan lamban. Aku menyukaimu seperti kening menyukai sajadah.

Aku menyukaimu seperti tahun 2000-an di sore hari. Ketika sepeda es krim datang dengan nada khasnya. Aku berlari keluar. Satu kaki menginjak roda. Kepala di atas gerobak. Si Abang membuka tempat es krim, dan, wajahku diterpa asap putih yang dingin.

Aku menyukaimu seperti penjaga toko menyukai suara gerai yang ditutup. Gembok yang dipasang. Sisa lelah yang ditinggal di dalam toko. Di antara tumpukan uang dalam mesin kasir.

Aku menyukaimu seperti aku menyukai tertawa. Aku menyukaimu meskipun kamu tertawa, sedih, cemberut, menggembungkan pipi. Dan aku, masih saja tertawa melihat tingkahmu itu. Karena aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

Aku menyukaimu seperti aku menyukai komedi. Kamu bagian yang tidak lucu. Dan biarkan aku menjadi biang kekacauan dari semua ini.

Aku menyukaimu seperti sutradara menyukai ‘Bungkus!’. Seperti pelukis menyukai goresan terakhir. Seperti penyair menyukai kangen dan senja. Seperti aku menyukai menulis, menghapus, lalu menulis kembali semua kata-kata tentang kamu. Aku menyukaimu seperti aku takut terlihat norak dengan kata-kata itu.

Aku menyukaimu sekalipun tanpa halo, tanpa ucapan selamat pagi, tanpa pertanyaan apa kabar setiap hari. Aku menyukaimu seperti aku merentangkan tangan lebar-lebar. Lalu kamu berdiri satu langkah di depanku. Lalu aku memelukmu dan tertawa. Karena aku tahu, itu hanya khayalanku saja. Aku menyukaimu seperti aku menyukai khayalan yang kubuat sendiri. Aku menyukaimu seperti aku benci mengakui ini.

Aku menyukaimu seperti laki-laki berumur 25 tahun,
yang sedang menyukai perempuan.

Aku Tidak Mengenal Ibuku Lagi...

$
0
0
Banyak yang bilang kalau orangtua itu nggak cocok sama teknologi. Kebanyakan temen gue panik begitu orangtuanya minta bikin akun sosial media. Padahal apa sih yang harus ditakutkan? Sosial media itu kan berisi curhatan dan kegiatan sehari-hari aja. Kalaupun Nyokap gue punya Twitter, paling dia cuma akan ngetwit, “FILDAN TERBAEK! PASTI JUARA D ACADEMY!!!“ atau “Pas nyapu denger bunyi ‘Krek!’ apa aku osteoporosis? :(“

Kata beberapa temen gue ini, mereka takut orangtuanya mengetahui apa yang dia post di sosial media. Terus terang, gue agak ragu sama hal ini. Bahkan gue nggak yakin kalau orangtua gue ngerti cara ngepost sesuatu di media sosial. Kalau pun gue bikinin Instagram, paling Nyokap bakal nanya, ‘Ini cara ngeprint fotonya gimana? Ibu bawa ke Fuji Film?’

Pikiran kayak gini terus ada di kepala gue.
Sampai akhir tahun lalu.

Mari kita mulai cerita ini dari bagaimana Nyokap bisa mendapatkan hape baru. Semua ini terjadi karena hasutan teman-teman sepergaulannya yang pada “pindah” dari SMS ke whatsapp. Entah udah berapa kali Nyokap nanya soal Whatsapp ini. Berhubung gue males jelasin, maka tiap dia nanya soal apa itu Whatsapp, gue cuma jawab dengan: “Pokoknya gitu deh.”

Merasa tidak puas dengan jawaban yang gue kasih, lama kelamaan alasan Nyokap berubah. Dari yang semula pengin nyobain Whatsapp, jadi pake Go-Jek. Hasrat kedengkian tersulut gara-gara sering ada Go-Jek berhenti di depan rumah, jemput tetangga.

Awalnya, Nyokap ngerayu dengan pertanyaan

“Apa sih itu orang make gojak-gojek?”

Lalu berubah jadi..

“Kok enak ya tinggal pesen, nanti ojeknya dateng? He… He… He… (ketawa Nyokap kalo di-SMS emang kayak gitu).

Setelah berkali-kali tidak mendapat tanggapan dari gue, Nyokap menggunakan jurus terakhirnya. Sebuah jurus yang biasa dilakukan oleh kebanyakan perempuan kala terdesak: pura-pura lemah.

“Ibu kayaknya sakit kepala sebelah deh. Gojek plis plis plis. :(“

Meskipun gue gak ngerti apa hubungannya sakit kepala sebelah sama ojek online, tapi gue luluh juga. Rasa takut dikutuk jadi batu mengalahkan ilmu kedokteran.

Tentu, Nyokap tidak menyangka bakalan gue beliin hape.

Pada awalnya, rencana gue cukup simpel: hari minggu, nunggu dia tidur siang, gue beli hape, pas dia bangun hape udah ada. Selesai.

Namun, insting seorang ibu menggagalkan semuanya. Kejadian pun berakhir menjadi: hari minggu, dia tidur siang, gue berangkat, dia mengendus aroma tidak beres, bangun, gue sampe rumah dia yang bukain pintu sambil memberikan tatapan si-kampret-ketangkep-juga-nih. Dan terjadilah dialog interogatif berikut:

Nyokap: Kamu abis dari mana?
Gue: (cool) Depan
Nyokap: Itu bawa apa?
Gue: Enggak…
Nyokap: (ngambil sapu) JANGAN BOHONG KAMU!
Gue: (berlutut) AMPUN, BAGINDA!

Kamu pikir ini semua berakhir begitu saja? Oh tentu tidak. Begitu masuk rumah, masih ada drama orang-jawa-nggak-enakan sehingga berlanjut menjadi…

Nyokap: Kamu ngapain sih pake beliin hape segala?!
Gue: A-abisnya...
Nyokap: Bukannya dari kemaren!
Gue: (berlutut) AMPUN, BAGINDA!

Seperti keinginannya, gue meng-install Go-Jek dan Whatsapp, lalu ngejelasin cara mennggunakannya. Gampang aja, yang penting dia bisa pesen ojek, chattingan, simpan kontak, dan kirim foto dari whatsapp.

Sampai akhirnya, apa yang legenda katakan terjadi juga.

Ibuku tidak kukenali lagi…

Semua kecurigaan gue muncul saat Nyokap pertama kali ngirim foto. Gimana enggak, bukannya ngirim foto keluarga, dia malah ngirim foto seorang laki-laki lagi nyerut papan. Di bawahnya dia tulis “Iya… Ini pak Jokowi lulusan UGM he… he”

SIAPE YANG NANYA?!

Selanjutnya, gue menjalani hari dengan berbeda. Broadcast message pertama yang Nyokap kirim adalah tentang geng motor yang mau beraksi. Lalu dilanjutkan dengan video oknum yang membongkar pencampuran garam dapur dengan kaca. Lalu ngirim CCTV ibu-ibu dipalak pakai golok di ATM.

INI KENAPA JADI KRIMINAL SEMUA GINI YA?!

Tidak hanya itu saja, sahabat. Dia dengan penuh kesadaran diri dan rasa inisiatif yang tinggi mengirimkan sebuah video anak kecil baca buku, lengkap dengan caption “Nih dik cucu temen ibu lagi belajar sama neneknya.”

BIAR APA CUCU TEMENNYA LAGI BELAJAR DIKIRIM KE GUEEE?!

Dan video itu adalah awal mula semuanya. Mulai saat itu, dia jadi semakin sering mengirimkan video-video random yang entah apa tujuannya. Mulai dari video cewek-cewek bocah nari adat, anak bayi pelukan, sampai yang paling absurd… cowok catwalk pakai daun pisang di tengah jalan.

Oh, ibuku benar-benar tidak kukenali lagi.

Semakin ke sini, Nyokap semakin tidak bisa lepas dari hapenya. Ke mana-mana selalu megang hape dan nonton YouTube. Komentarnya pertama kali sewaktu nonton YouTube adalah: “Enak, Dek. Bisa nonton pesbuker kapan aja.”

Sebagai anak, aku hanya bisa menghela napas.

Adapun tontonan lain selain Pesbuker adalah video-video ceramah dan wayang kulit. Ya, dari sekian banyak pilihan yang bisa dia tonton, dia memilih untuk nonton... wayang kulit. Gue sedikit banyak ingat kalau semasa kecil, kami sekeluarga emang sering nonton wayang kulit malem-malem di TVRI. Gue? Tentu hanya bisa bengong (karena gak mungkin juga bilang “Amin!” setiap dalangnya selesai ngomong). Gue inget saking nggak ngertinya jalan cerita dan bahasa yang digunakan, gue ketiduran di depan tv… dan bangun-bangun udah di kamar. Kadang gue merinding sendiri kalo inget masa-masa itu.

Sekarang, Nyokap bisa nonton wayang sampai ketiduran. Gue beberapa kali mergokin dia tidur, dengan hape tergeletak di dekat wajahnya, masih mengeluarkan suara bahasa jawa. Kadang gue ngerasa lucu, tapi kadang juga ngerasa sedih.

Weekend adalah waktu paling hot antara Nyokap sama hapenya. Kadang dia tiduran di kasur sambil nyetel Youtube. Kadang pindah baca-baca katalog promo Giant di sofa. Kalau capek tiduran dan lanjut nonton YouTube. Pernah sekali waktu, ketika gue lagi nulis di kamar, dia masuk dengan heboh. Sambil membawa hapenya, dia bilang, ‘Ibu abis baca berita!’

‘Apa tuh?’

‘Katanya anak sekarang banyak yang kecanduan hape!’

‘Terus?’

‘Kamu gak kecanduan kan?’

Gue gatau mau ngerespon apa.

‘Jangan sering-sering main hape, Dek,’ katanya, lalu keluar.

Dan lanjut nonton wayang.

Perbedaan Hari Valentine Dulu dan Sekarang

$
0
0
Gue menyadari ada banyak perbedaan hari valentine dulu dan sekarang. Pada masa gue SMA, kami menanggapi hari valentine dengan biasa aja. Bagi orang-orang cemen kayak gue, valentine memunculkan semacam “keberanian” buat ngasih sesuatu ke gebetan. Diskusi sama temen deket, lalu deg-degan sampai mimisan dan mati kehabisan darah.

Tapi, ada aja orang-orang nyebelin di masa itu.

Seiring dengan munculnya Raditya Dika dan stand up comedy, mulai banyak orang yang memberikan komentar lain. Komentar paling sering biasanya muncul dari orang-orang yang nggak mau ngerayain, tapi gamau terlihat ngenes. Orang-orang ini akan berkomentar ‘Kasih sayang mah tiap hari kali!’ yang biasa dijawab dengan ‘Cek kalender kali!’ Komentar lainnya adalah ‘Ya elah. Ngapain sih ngasih bunga sama cokelat. Mending juga vocer Dufan!’ YA COKELAT SEPULUH RIBU PERAK VOCER DUFAN MARATUS REBU. Mending duitnya gue pake beli sepatu pria casualdeh.

Sebelum munculnya orang-orang ini, kehidupan di hari valentine terlihat menyenangkan. Bagi yang merayakan, mereka akan memasukkan cokelat ke kolong meja gebetan di jam istirahat. Tidak jarang salah satu dari mereka kegep, lalu di-cie-ciein sampe mampus.

Bagi orang-orang yang tidak merayakan, mereka hanya akan mengganti label valentine dengan hari lain yang mereka buat sendiri. Kaum ini menyebut diri mereka sebagai anak “antimainstream”. Bagi anak antimainstream yang suka metal, misalnya. Mengganti valentine dengan fucklentin. Entah karena benaran metal, atau emang jomblo aja. Bagi anak antimainstream keturunan jawa, biasanya mengganti valentine dengan… Pa’le Entin. Iya, gue nulis ini juga mau nangis.

Eh, sekarang masih ada gak sih orang-orang kayak gitu? Kalau yang gue amati, ini tuh salah satu perbedaan hari valentine dulu dan sekarang yang cukup besar lho. Kaum ini sekarang "berganti" jadi kaum yang memikirkan boleh/tidaknya ngerayain valentine. Gue sendiri sebenarnya gak ngerti-ngerti amat. Buat gue sih ini kayak semacam acara "Seneng-seneng" yang disepakati satu dunia aja. 

Sejujurnya, ada salah satu hari valentine di SMA yang membuka pikiran gue. Nggak, gue nggak buka usaha jual-beli mobilbuat dibawa ke Dufan.

Gara-gara hari valentine, gue jadi tahu kalau di dunia ini, cokelat punya kasta.

Sebelumnya, yang muncul di pikiran gue saat menyatukan kata “cokelat” dan “valentine” hanyalah silver queen.

Maka berangkatlah gue ke superindo buat beli cokelat.

Begitu sampai di rak permen, gue gak pake mikir lagi, ngarahin mata ke tumpukan silver queen. Dan, gue baru tahu kalau ada cokelat yang warna putih! Gue pun kaget. Syok. Buka baju dan lari ke tukang pisang goreng di parkiran (lho?).

Dan dengan penuh rasa bangga, gue beli lah itu cokelat.

Awalnya, cokelat itu pengin gue pakai sebagai bentuk penyamaran aja. Begini cara licik yang biasa gue pakai: gue akan beli cokelat, bawa ke sekolah dan gue tenteng ke mana-mana. Begitu ada temen yang nanya atau nge-cie-in, gue cuma diem sambil pasang cengiran paling najong sedunia. Tipikal senyum yang biasa ditunjukin mbak-mbak pas nawarin apartemen. Kalau udah, percaya sama gue, di situ kita bakal dapat 2 keuntungan: 1) Temen kita ngira kita dapet cokelat dari orang (tingkat kekerenan meningkat karena kita dikira laku) dan, 2) kita gak boong.

Setelah gue pikir-pikir lagi, gak ada salahnya kalau cokelat itu benaran gue kasih. Entah kenapa waktu itu kayak ada dorongan dari dalam hati. Gue kayak denger cokelatnya ngomong, ‘Ayo Adi… buat gebetanmu diabetes!’

Besoknya, gue langsung ngikutin si gebetan.

Gue ikutin dia ke mana pun. Dia ke kantin, gue ke kantin. Dia ke bawah pohon, gue ketimpa pohon. Dia ke kamar mandi, gue nyebut. ‘Astaghfirullah Adi. Kamu kan belum puber…’ (apaan sih?).

Intinya, gue ngeliatin dia terus dari jauh.

Sampai jam istirahat mau abis, gue liat ada salah satu anak gaul (gue menganalisis ini dari gaya pakaiannya: celananya ketat, bajunya dikeluarin, rambutnya spike) yang nyamperin dia. Di situ gue masih biasa aja. Gue emang udah yakin gebetan gue ini bakal dapet banyak cokelat. Satu hal yang bikin gue heran adalah… cokelatnya bukan silver queen cuy! Dia. Ngasih. Cokelat. Segitiga.

Gue langsung ngiket tali sepatu ke leher.

Gile. Cokelat yang dia kasih kayak bersinar gitu lho. Baru pertama kali gue liat ada cokelat bentuk segitiga. Gue memandangi silver queen yang ada di tangan. Bentuknya udah rada benyek gara-gara kelamaan digenggam. Setelah gue perhatiin, nama cokelat itu adalah Toblerone.

Silver Queen vs Toblerone
0 vs 1

Gue ngerasa kalah banget. Ternyata ada cokelat yang jauh lebih keren dari biasanya. Gue lari ke kantin. Beli cokelat payung. Berteduh dari tetesan air mata gue sendiri.

ps: Setelah gue pikir ulang, walaupun banyak perbedaan hari valentine dulu dan sekarang, tapi kok hasilnya gini-gini aja ya?

Setelah Satu Bulan

$
0
0

 Jadi gini rasanya sebulan nggak ngeblog.

Hoaaaaah. Kangen lagi nulis di sini. Kangen lagi nulis ngasal gak pake mikir. Gak pake aturan macem-macem. Jadi, gue minta maaf kalo ada lo yang baru pertama ke sini dan langsung ngeliat postingan ngawur gini ya.

Pertama. Apa kabar semuanya? Kayaknya gue lagi mau teler deh. Tadi pagi di rumah abis ada acara gitu. Dan udah ada tiga orang yang nanya kondisi gue. Mulai dari nanya ‘Muka kamu kenapa?’ Jawab: Tetap gembel seperti biasa. Sampai ada yang nanya kalo gue lagi flu. Bahkan pas makan malem barusan nyokap juga nanya hal yang sama. Padahal… gue juga gatau ini gue kenapa.

Dua. Di sebelah gue sekarang ada dua gelas aqua ukuran kecil, dua cangkir berisi air putih, lima yakult, dan satu gelas kopi busu (kayaknya bentar lagi bakal nambah deh). Udah lama banget sih gue gak minum yakult. Dan… ternyata enak abis! Asem asem manisnya itu lho. Belum lagi kalo sewaktu minum kita ngebuka tutupnya setengah doang. Pas kita hisap, bibir bakal nyangkut di tutupnya. Kalo udah abis juga bisa kita jadiin mainan pletokan. Lalu ketahuan deh gue anak jaman dulu.

Tiga. Sejujurnya, gue bingung deh. Sekarang tuh masih ada yang suka baca nggak sih? Gue sendiri udah ketinggalan jauh soal dunia blogsphere ini. Ada gosip apa sih? Coba dong cerita-cerita! Huehehe. Belakangan gue tahu masalah yang Tumblr kembali diblokir… dan gak jadi lagi sama Kemenkominfo. Ini kok  kayak abege labil. Ngulang-ngulang hal yang sama dari tahun 2016 lalu.

Masih berkaitan sama urusan tulis-menulis, gue juga udah mulai kehilangan “feel” buat baca deh. Beda banget sama dulu di mana gue hampir setiap hari buka blog ini, blogwalking ke blog temen-temen. Hunting tulisan bagus yang bikin gue gemes sendiri karena langsung ngerasa cupu di dunia ini. Apa ini gara-gara belum nemu tulisan yang bisa “nampar” gue ya? Kata A.S Laksana kan tulisan yang nampar itu bakal ngebuat insting nulis kita bangkit lagi. Jadi semangat baca lagi. Cari-cari yang lain. Ujungnya, tulisan kita jadi nggak kering karena bacaan yang itu-itu aja.

Empat. Mungkin banyak yang belum tahu, tapi sekarang gue kerja di salah satu start up pendidikan. Kerjanya? Ya nulis-nulis iseng aja. Mungkin ini salah satu penyebab gue jarang aktif di blog lagi. Karena kerjaan itu, gue biasanya udah ngerasa “Hari ini gue udah nulis” dan berakhir gak ngeblog dengan sukses. Padahal harusnya gak boleh gitu. Karena apa yang gue kerjain di kantor beda jauh sama di sini yang kebanyakan tulisan-tulisan abnormal. Bayangin aja gue harus ngerjain tulisan yang berbasis “pendidikan”. Mau dibawa ke mana anak muda bangsa ini kalo baca tulisan gue? Oh, tentu ke neraka dong.

Lima. Mata gue mulai gak waras deh. Gue gatau ya ini pertanda apa. Tapi yang jelas gue kalo baca tulisan rada nge-blur. Beda kalo gue liat Aura Kasih. Jelas abis! (lho?). Dari kecil gue emang gak pernah periksa mata sih. Jadi selama ini kalo udah ngerasa capek ya tidur aja. Kalo ada di antara temen-temen yang make kacamata baca ini, coba cerita dong. Apa yang pertama kali mutusin lo buat periksa dan pake kacamata? Gue kok agak horor ya ngebayangin muka setengah kambing ini dipasangin kacamata. Belum siap gue. Belum siap buat jerit-jerit ‘Dadadam! Dadadam! Uhhh?!’

Enam. Selama bulan Februari kemarin, gue bikin projek #perempuanyangtidakpernahada di Instagram (ig saya @keribakeribo, tolong ya difollow hehehe). Itu adalah hestek yang gue pakai untuk membuat cerita superpendek tentang perempuan-perempuan yang nggak pernah ada di hidup gue. Tentang pertemuan sama dia. Atau bisa juga perpisahan. Pokoknya, potongan kehidupan gue sama si cewek ini. Bahasa sederhananya: ngayal. Begini nih efek kelamaan jomblo.

Pada mulanya, gue cuman pengin ngebuat ini jadi semacam ajang “30 hari menulis” itu loh. Tapi, berhubung gak tiga puluh hari amat, akhirnya gue mutusin buat bikin ini jadi semacam projek jangka panjang. Projek yang akan terus berjalan entah sampai kapan. Jadi, bukan tidak mungkin gue di waktu-waktu tertentu nulis tentang itu. Kalo ada temen-temen yang pengin juga nulis tentang #perempuanyangtidakpernahada atau versi tulisan cewek ke cowok (tulisan tentang laki-laki) boleh juga. Tinggal pake hesteknya aja dan tag gue. Siapa tahu, ehem, bakal dimanfaatin buat ngode ke gebetannya. \:p/

Tujuh. Terakhir deh. Gara-gara kerjaan gue di kantor ngebahas pendidikan mulu, gue baru sadar kalo sebentar lagi UN. Dan apa yang gue dapatkan dari itu semua? Gue jadi inget cara nyontek di jaman sekolah. Berbeda dengan kuliah, dunia anak sekolah masih seru dan rusuh masalah beginian. Jaman gue SD, kami anti banget masalah contek-mencontek ini. Gue ingat bahkan di meja kami dikasih buku yang diberdiriin jadi semacam tenda gitu supaya gue gak bisa ngeliat apa-apa di tempat temen. Kalo lagi berantem, bahkan gue dan teman sebangku bikin garis pake kapur di tengah meja. Pokoknya kalo ada tangan/barang yang berada di posisi seberang, langsung ngamuk sejadinya. \;p/

Memasuki SMP, gue baru tahu kalau dunia sekolah itu kejam. Berbagai trik nyontek mulai muncul. Dari yang biasa lempar-lemparan kertas. Metode pura-pura jatuhin pulpen sambil “Ssst… Sembilan! Sembilan! Hah? Gue paket B! Monyet beda!” terus panik karena contekannya salah semua. Pura-pura ngantuk sambil ‘Hoaaammmer enem dong!’ Trik nendang kaki kursi temen di depannya.

Buat yang punya jiwa seni, biasanya suka nulis contekan di paha. Kalo cewek mah enak. Catet, angkat dikit, baca. Kalo ada guru lewat tinggal benerin roknya. Kalo cowok mah dari jauh udah keliatan. ‘KAMU ITU NGAPAIN CELANA PANJANG DIGULUNG SAMPE SELANGKANGAN?!’

Betul untuk mencontek dibutuhkan mental tingkat dewa. Gue terus terang bukan tipikal orang yang berani buat buka kertas contekan di atas meja. Adrenalinnya itu lho. Makanya gue salut sama orang yang berani terang-terangan ngebuka contekannya di situ. Mulai dari yang nyiapin kertas kecil. Ditempelin di tempat pensil besi (nanti tempat pensilnya dibuka 90 derajat, terus kebaca deh). Ada yang ditulis di penghapus (lalu penghapusnya jalan-jalan ke seantero kelas). Ada yang di pensil. Ada yang dimasukin ke lubang ujung dasi. Ada juga yang udah mempersiapkan matang-matang buat nulis di kamar mandi. Nanti di tengah ujian izin keluar… lalu sampe di sana lupa tadi yang belom diisi nomor berapa.

Ketahulah teman-teman, semua guru udah tahu cara itu.

Delapan. Tuhkan malah jadi ke mana-mana. Efek udah lama nggak nulis random jadi begini nih. Muehehe. Well, hope youenjoy this kind of writing. Semoga hari lo menyenangkan, tetap rusuh dalam menjalani hidup. Kresnoadi sign out! \(w)/ 

ps: Dan iya, setelah postingan ini gue publish, udah nambah satu gelas kopi susu busu karena tadi gue tinggal dulu di poin ke enam. Muahaha.

Review Liburan Pulau Pari: Spiritual Journey (bag 1)

$
0
0

Tulisan review pengalaman liburan di pulau pari: spiritual journey ini akan panjang kayak satu bab di buku sendiri. Jadi, ada baiknya siapkan teh atau camilan untuk teman menikmati. \:p/

Semua ini bermula di malam tahun baru kemaren. Sambil menunggu pergantian tahun, gue, Ucup, dan Alam makan serabi di depan kompleks rumah. Setelah berbagai wacana seperti yang dilakukan orang-orang di grup whatsapp pada umumnya, kami mutusin buat ngumpul dan ngobrolin hal ini: rencana jalan-jalan bareng.

Ucup memotong serabi keju di piring, memasukkannya ke mulut dengan garpu. Suara ledakan kembang api terdengar di antara kami.

‘Pokoknya gue gamau jalan-jalan biasa. Gue maunya kita spiritual journey!’ Ucup meletakkan garpu ke atas piring.

‘Maksudnya apa tuh?’ tanya Alam.

‘Ya journey gitu… tapi spiritual,’ Ucup berusaha ngejelasin. Walaupun caranya sama kayak orang ngejelasin bakso bakar dengan bilang ‘Ituloh… bakso… YANG DIBAKAR GITU DEH.’

Setelah beberapa sesi pembicaraan tidak penting ini, kami memutuskan untuk pindah obrolan di rumah gue. Baru kali ini rumah gue dijadiin tempat yang ngebahas hal-hal penting kayak gini. Hmmm jadi ini yang dirasakan Laksmana Maeda waktu rumahnya dijadiin tempat perumusan naskah proklamasi.

Di dalam kamar, Ucup dan Alam duduk di kasur kecil di lantai. Alam mengeluarkan laptop dari ranselnya. Sementara Ucup di pojokan tembok. Menyenderkan badan ke dinding sambil menyelonjorkan kaki ke arah meja. Gue yang merasa sebentar lagi akan terjadi perbincangan sengit, ke dapur mengambil biskuit Monde.

Laksmana Maeda gak pernah nyuguhin kue monde.



Begitu masuk kamar, gue tanya, ‘Jadi, gimana nih?’

‘Gue sih yang penting spiritual journey,’ kata Ucup, masih aja.

Gue hampir jawab dengan ‘Kalo gitu… gimana kalo ke masjid An-nur?’ tapi keburu dipotong Alam yang bilang, ‘Karimun Jawa kayaknya asik nih.’ Alam lalu menunjukkan foto-foto pantai dari laptopnya.

karimun jawa


Kita langsung kagum.

‘Gila! Itu pas banget sih! Kita harus ke sana! Keren banget itu…’ Ucup nunjuk ke gambar yang menampilkan pantai dengan laut biru yang jernih. Dia lalu melanjutkan, ‘…buat ganti profile picture.’

Memang tidak bisa dipungkiri, kami bertiga adalah tipikal anak rumahan yang jarang pergi. Alhasil, foto yang kita punya sebatas itu-itu aja. Biasanya, sekalinya punya foto baru, langsung dipake buat ganti foto di akun whatsapp, twitter, facebook, Instagram, blibli, pegipegi, e-ktp. Semuanya deh. Prinsip kami: satu foto untuk semua.

Dengan ditentukannya destinasi, kami mulai riset mengenai segala hal di sana. Di mana daerahnya, penginapannya, kapal yang digunakan untuk menyeberang. Kami juga baca pengalaman orang yang pergi ke sana. Semua berakhir dengan satu kata: gampang.

Kami sudah tahu kalau untuk ke sana, kita harus naik kereta dari Pasar Senen menuju Semarang. Selama perjalanan, bisa sambil pesan hotel lewat traveloka. Kami juga mencari tahu kapan waktu menunggu kapal feri buat nyeberang. Kami bahkan udah bookmark satu artikel yang menjelaskan cara jalan-jalan ke sana a la backpacker yang mampu menginap 4 hari 3 malam hanya dengan 750 ribu.

Pas ngecek tiket kereta: eh penuh.
Bangkai.



Dengan hati yang tergores, kami terpaksa mencoret Karimun Jawa dari daftar jalan-jalan. Ucup yang dari awal paling semangat, memberikan alternatif, ‘Yogya aja deh. Spiritual juga itu!’ Ucup emang belum pernah ke Yogyakarta sama sekali. Dia orang keturunan Arab yang besar di Pontianak, baru merantau ke Bogor karena kuliah dan sekarang bekerja di Jakarta. Dia emang semacam manusia versi rainbow cake.

Kami kembali mencari tiket kereta ke Yogya: abis.

Perasaan mulai gak enak.

Tiket kereta yang kami maksud habis adalah tiket untuk perjalanan 16 Februari, hari jumat yang saat itu memang tanggal merah. Bayangin, di saat orang lain tahun baruan barbeque-an, kita malah ngumpul untuk nyari tiket kereta bulan depan… dan masih gagal. Kalau Laksmana Maeda tahu, pasti kita udah diusir dari kamarnya (LAH SIAPA KITA?!).

‘Ya udah, ya udah.’ Alam menenangkan kami yang udah mau nangis. ‘Yang deket aja deh. Yang penting, kan, bukan ke mananya, tapi hepi-hepinya. Bandung aja gimana?’

Cek tiket kereta ke Bandung: abis.

INI KERETA MAUNYA APA?!



Kandasnya rencana bertubi-tubi ngebuat Ucup yang tadinya semangat langsung diem. Ini kita belum apa-apa aja udah gagal duluan. Kalau ini benaran pembicaraan saat proklamasi, ibarat lagi mau nulis teks proklamasi, eh jempol ketusuk pulpen. Cupu abis.

Suasana mendadak gak enak. Suara petasan udah tidak begitu kedengaran. Kekecewaan menyelimuti kamar ini. Kalau inget lagu Padi jaman dulu, jam dinding pun ketawa. Berhubung ini ngomongin kereta…




‘Jadi gimana?’ Alam membuka suara.

‘Tahu nih,’ Ucup geleng-geleng kepala. Dia menundukkan wajah dan melanjutkan, ‘Masa gak jadi, sih, perjalanan spiritual kita?’

Di antara keheningan, gue berbisik, ‘Gimana kalo… ke masjid An-nur aja?’

--Review liburan pulau pari: spiritual journey bagian satu--

Karena semua khayalan keren kita udah gagal duluan, kami memutuskan untuk nyoba pergi ke tempat yang gak jauh. Gak ribet. Gak butuh banyak riset dan persiapan.

An-nur
Kami pergi ke pulau seribu.
Tepatnya ke pulau Pari.

Dua minggu berselang, kami, tiga orang bodoh yang di ITC Fatmawati aja nyasar, memutuskan untuk menjelajah pulau Pari. Emang, sih, kesannya rada jauh dari rencana awal. Dari yang awalnya Karimun Jawa, pindah ke Yogya, ke Bandung, lalu berakhir ke pulau seribu. Kalo ini sampe gagal juga, bisa-bisa kami ke pulo gadung.

Pulogadung


Dalam perjalanan coba-coba ini, kami benaran pengin random aja. Kami hanya mencari tahu lokasi tempat kapal menuju pulau Pari. Sisanya… kami serahkan kepada takdir Tuhan. Yah, orang males emang ada aja alasannya…

Perjalanan menuju pulau Pari dimulai hari sabtu. Demi mempermudah perjalanan, jumat malamnya kami sepakat untuk menginap di kosan Ucup.

‘Kata temen gue, kapal di Muara Angke berangkat ke pulau Pari jam 7. Jadi kita harus berangkat dari subuh!’ Ucup mengomandoi gue dan Alam… yang sibuk main ps.

Besoknya, kami berangkat pukul 5.
Sampe Muara Angke setengah 6.

MAO NGAPAEN?!

Kecepetan bos!


Sebagai gambaran, Muara Angke adalah pelabuhan yang di dekatnya terdapat pasar ikan. Begitu kami keluar mobil, campuran aroma amis dan asin menusuk hidung. Dingin, tapi berbeda dengan dingin di daerah gunung. Sumber dinginnya adalah kencangnya angin yang bertiup, bukan dari udara sejuk.

Saat ini kami sama sekali gak punya bayangan mau ke mana. Di depan kami ada semacam jalanan menjulur ke ujung dermaga. Di sisi kanan kirinya penuh berbagai macam perahu. Dari mulai perahu kecil untuk nelayan, perahu dengan tingkat di atasnya, sampai perahu seperti feri.

Kami bertiga berpandangan. Berhubung Ucup anak marketing yang dengan kata lain…jago sepik. Akhirnya dia nanya-nanya ke orang di sana. Lalu ternyata, di sebelah kanan kami terdapat satu bangunan seperti kantor. Kami masuk, dan begitu sampai di dalam, seperti anak cupu lainnya, bukannya ngantri di loket kami malah membentuk lingkaran.

‘Bantai nih?’ tanya Alam.
‘Yok bantai lah!’
‘Siap yok bantaai!’

Tapi gak ada yang gerak.

Bantai pala lo gue bantai.

Di antara kesotoyan kami, tiba-tiba muncul satu bapak-bapak berbadan besar. Bahunya tegap seperti bahu nelayan yang suka memburu ikan Marlin di televisi. ‘Pada mau ke Pari?’

Dia lalu menyodorkan tiga lembar tiket kapal. ‘Ini sama bang Andi aja,’ katanya. ’45 ribu.’

Kami berpandangan kembali. Kalau dilihat secara fisik, Bang Andi sekilas tampak seperti nelayan yang ada di sini: tubuhnya besar, ototnya tangannya tercetak jelas, dan kulitnya cokelat karena terbakar matahari. Senyumnya pun lebar dan tampak tidak mencurigakan.

Eh tapi, bukannya orang baik yang datang tiba-tiba itu justru mencurigakan? Kayak mantan yang tiba-tiba ngabarin, ngajak ngobrol, eh ternyata cuma kesepian. :)



Meskipun diam dan saling berpandangan, tapi mata kami berbicara. Berikut adalah pembicaraan di dalam hati yang gue kira-kira sendiri:

Ucup: ‘Kayaknya ini calo deh, Di, Lam. Ngantri aja gak nih?’
Alam: ‘Bentar, kita liat harganya dulu di loket.’
Gue: ‘GUE BELOM MAO MATIIII?!’

Setelah mencocokkan dengan spanduk di loket, kami baru sadar kalau ternyata harga tiket di loket dan di Bang Andi sama aja. Ini membuat kami punya dua kesimpulan: 1) dia orang baik, kalo calo pasti harganya dinaikin, 2) dia pura-pura baik supaya kita percaya, lalu begitu sampe kapal kita disekap, dibawa ke Nigeria lalu dijadikan budak selamanya.

Akhirnya, kami beli ke bang Andi.

Kapal yang kami tumpangi bernama KM Diamond. KM Diamond adalah kapal tingkat dengan bagian bawah berisi kursi seperti di bus sementara bagian atasnya ruangan luas dari lantai kayu yang ditutupi atap. Berbeda dengan di bagian bawah yang sisinya ditutupi kaca jendela, bagian atas merupakan ruangan terbuka yang langsung mengarah ke laut. Itu artinya, kalau kami mual dan muntah bisa langsung lemparin ke laut. Dan ada kemungkinan muntahnya terbang kebawa angin sampe kena orang di belakang.

Kami memilih untuk duduk di atas. Di bagian pinggir dekat dengan kayu pondasi.
Biar kalo ada salah satu di antara kita yang muntah, bisa langsung kita tendang ke laut.

Malu-maluin nama keluarga!



Sambil menunggu keberangkatan, kami memerhatikan penumpang yang naik. Ada satu rombongan anak muda membawa tas gede dan gitar. Salah satu cowok berikat kepala warna hitam memainkan gitar tersebut, berhenti sebentar, lalu tertawa kencang. Ini perahu belum jalan, udah ada yang mabok aja.

Ucup menyenggol gue. ‘Liat tuh, Di. Gaya banget. Muntah aja tahu rasa! Hahahahaha.’

Gue ikut ketawa maksa.

‘Eh tapi nanti gue ngomong gini malah gue yang muntah lagi.’ Ucup ketawa semakin lebar.

15 menit kemudian…

‘DI! KANTONG KRESEK!’
‘GUE BELOM MAU MATII?! ALLAHUAKBAR!!’ Gak nyambung abis respon gue.

Ucup lalu ngelompatin pembatas tempat duduk dan pergi ke pinggir dek. Dia muntah… 10 kali.

Karma itu nyata.



Cuaca emang kacau abis. Angin bertiup kencang, ombak datang dari berbagai arah. Beda banget sama yang gue liat sama ombak peselancar di tv. Masalahnya, entah kenapa di saat-saat penuh guncangan seperti ini, gue malah kebelet pipis. Perut biadab. Badan gue udah lemes banget. Jangankan buat gerakin badan, buat tiger sprong aja susah (iyalah!). Terus terang, gue gak tahu apakah di kapal ini ada kamar mandinya. Sayup-sayup di kepala gue muncul suara, ‘Di sebelah laut tuh… Bukalah celanamu Adi…. Bukaa... Berikan bagian dari tubuhmu itu kepada dewa laut…’

Seperti yang kita tahu, guncangan akan memengaruhi kekuatan kita dalam “menahan” pipis. Gue mencengkeram kayu di sisi kapal. Memejamkan mata. Berusaha untuk mengalihkan konsentrasi dari selangkangan ke cengkeraman tangan. Gue ngebuka mata sedikit. Di depan, Ucup masih muntah dengan khusyuk. Bang Andi dari dek depan berjalan ke sisi-sisi kapal, seperti ingin menghampiri Ucup. Di tengah situasi genting, gue mendengar suara cowok,

‘GUE MO BOKER?!’ suara itu begitu jelas terdengar. Ingin rasanya gue menjawab dengan: ‘MAMPOS LO!’

Tapi ngeledekin orang sambil megangin selangkangan kayaknya kurang keren.

Jadi gue diam aja.

Gue diam dan merhatiin dia. Si laki-laki di sebelah kiri gue ini celingak-celinguk ngebangunin temannya yang tiduran di lantai kayu ini.

Gue gatau apa yang terjadi sama cuaca di dunia ini, tapi semakin lama, perahu-perahu lain berputar arah. Kembali ke Muara Angke. Sambil terus menahan perih di selangkangan, setan di telinga semakin besar untuk bilang ‘KENCINGIN LAUTNYA!’ tiba-tiba orang yang tadi pengin boker berdiri dan berjalan ke tangga. Ekspresinya lega. Entah karena tahu di bawah ada kamar mandi atau karena udah berceceran aja.

Gue ngikutin dia berceceran.
Gue ngikutin dia ke lantai bawah.

Ternyata di lantai bawah benaran ada dua kamar mandi!

Si cowok tadi masuk ke kamar mandi sebelah kiri, gue langsung meluncur ke sebelah kanan. Begitu pintu gue tutup, hal pertama yang gue rasakan adalah lega. Gue langsung buka ikat pinggang, narik resleting, dan mengarahkan senjata pamungkas ke lubang jamban.

Baru merasakan sensasi kemenangan di dalam dada, kapal tiba-tiba goyang kencang.

Gue hampir kejengkang. Beruntung tangan gue langsung menahan tembok. Sensasi kemenangan berubah menjadi sensasi mual di perut. Gue langsung pengin muntah.

Kapal kemudian bergoyang-goyang gak beraturan. Gue berusaha nahan dengan menekan kaki sekencang-kencangnya. Bayangkan, lo kayak berada di dalam kotak, kemudian kotak itu digoyangin dengan random. Lo gatau kapan kotak itu bergoncang. Lo gatau goncangannya bakal ke sebelah mana. Dan lo… harus ngarahin pipis ke lubang kecil di bawah.

KENAPA GINI AMAT SETAAAN?!

Setan: KAN UDAH GUE BILANG KENCING DI LAUT AJA!

Review pengalaman perjalanan liburan ke pulau pari: spiritual journey lanjut ke bagian 2

Review Liburan Pulau Pari: Spiritual Journey (bag 2)

$
0
0

Biar nyambung, baca dulu review liburan pulau pari: spiritual journey bagian 1 di postingan sebelumnya. Atau klik di link ini.

Sampe juga setelah kami ngelewatin siksaan laut itu. Gue ngerasain tangan gue dingin banget. Alam sih tenang aja. Ucup? Oh, jangan ditanya. Si Arab itu udah nemplok ke tiang kapal. Gabisa ngapa-ngapain lagi.

wisata pulau pari
Dari kiri ke kanan: Ucup, Robert Pattinson, Alam, Bang Andi


Beruntungnya, kami yang sama sekali belum nyiapin apa-apa tentang perjalanan kali ini disamperin Bang Andi. Dia menawarkan rumahnya untuk kami tinggali. Dan gratis. Jadi ini toh enaknya jadi anak terlantar. Hehehe.

Setelah ditunjukin rumahnya, Bang Andi pamit untuk ngebersihin kapal. Kami? Tentu aja langsung ambil posisi masing-masing. Ucup loncat ke pojokan kasur. Gue sama Alam geletak aja kayak sapi mo disembeleh.

Beberapa menit kemudian,
Petaka dimulai.

Awalnya Ucup ngerasa ada yang aneh. Nggak, dia nggak nyium aroma gaib kayak Roy Kiyoshi. Badannya Ucup ngerasa gatel2. Pas dia balik badan, di punggungnya nempel beberapa semut merah. Begitu kasurnya kita balik, eh ternyata emang sekujur lantai penuh dengan semut. Kami baru sadar kalau di pojok tembok ada sarang semut gede banget. Ini tidak bisa dibiarkan! Kalau begini terus, semut biadab ini akan menginvasi kamar. Bisa-bisa kalo main suit manusia bakal kalah sama semut.

Sambil menunggu Bang Andi datang, kami menjaga sekuat tenaga supaya kamar ini nggak diambil alih oleh si semut.

‘Cup! Bertahan!’ seru gue, salto sedikit ngelewatin guling, lalu nepok kenceng punggungnya Ucup.
‘Aaaarrghh!’ erang Ucup.
‘Kenapa, Cup?’
‘Itu bisul gue, bego!’

Gue mundur, bersembunyi di balik bantal. Kini gentian Alam yang menyerang. Dia dengan kegigihannya membuka ujung sprei kasur, lalu menaik-turunkan spreinya dengan kencang.

‘MAMPOOOSSSSS LOOO! MAMPUS MUUUTTT!’
Brutal juga Alam ini.

Di tengah-tengah gempuran melawan semut laknat ini, entah kenapa,
gue malah inget lagu tentang semut.

Ada yang tahu gak lagu jaman dulu? Kalo gak salah liriknya semuuuut semut keciiiil… akuuu mau tanyaaa… apakah kamu di bawah Sanaaa tidak takut caciiing~ yang nyanyi namanya Melisa.

lagu semut kecil


Ya, peperangan ini menimbulkan tanda tanya besar kepada gue terhadap lagu itu: Kenapa Melisa sok care abis?!

Gue yakin Melisa pas kecil kalo digigit semut juga ngadu sama emaknya!

Pake segala sok peduli sama semut.

Harusnya liriknya diganti jadi semuuut semut keciiiiill… akkuuu mau tanyaaa… apakah kamu di bawah sanaaa…. KAGAK PENGEN MATIII?!

Eniwei, tidak perlu menunggu sampai kami mati dengan bekas luka bentol-bentol, Bang Andi datang… dan bawa baygon. Sungguh suatu kebetulan yang maha dahsyat. Bang Andi pun menyelamatkan kami semua sambil nyemprot dan ngegebukin pake sapu lidi.

Sori ya, Mut. Udah takdirnya telunjuk menang lawan kelingking.
Kelingking emang cuman pas buat ngupil!

Bang Andi kemudian meminta maaf atas tragedi semut yang menimpa. Dari situ, kami cerita banyak hal. Dia ngasih tahu kalau kapal KM Diamond adalah satu-satunya kapal yang melanjutkan perjalanan dari Muara Angke. Kapal-kapal lain pada muter balik gara-gara ombaknya lagi ga waras.


kaget cuaca di pulau pari
kaget karena tahu kita satu-satunya kapal yang sampe


‘Makanya saya nggak enak nih sama kamu, Cup,’ kata Bang Andi sambil duduk bersila. ‘Baru pertama kali ke sini udah dapet pengalaman begini.’

‘Yah, kita kan emang mau spiritual journey, Bang,’ jawab Ucup. Muka Arabnya emang pantes buat ngomongin hal-hal begini. Coba gue yang bilang. ‘Namanya juga spiritual journey, Bang…’ Bang Andi pasti bales, ‘Hah? Kok bisa sampe cepirit, Di?’ Zedih.

Dari cerita Bang Andi tentang pulau pari, kami malah dapat sisi yang lain. Bang Andi ternyata salah satu orang penting di sana. Semacam founder yang ngembangin pulau pari dari awal. Jadi, kata Bang Andi, pulau mereka sedang mengalami sengketa lahan. Sewaktu dulu belum jadi tempat wisata, pihak swasta nggak pernah nganggep dan bantuin mereka untuk ngembangin pulau itu menjadi daerah potensi wisata. Eh, giliran sekarang udah begini, udah jadi sumber ekonomi, baru deh si pihak swastanya ngeklaim kalo itu punya mereka.

Suasana mendadak hening. Mata Bang Andi memandang jauh. ‘Beberapa hari lalu udah ada tentara yang jaga-jaga. Kamu bayangin. Tinggal di rumah sendiri tapi diawasin kayak orang asing.’

Gue yang gatau mau jawab apa cuman bisa ngangguk-ngangguk doang. Nggak kebayang gimana rasanya jadi Bang Andi. Gue yang pas nyanyi-nyanyi sendirian terus sadar kalo diliatin aja langsung ‘Heeee… Bang…’ sambil ngangguk canggung. Apalagi ini. Lagi nyanyi sambil joget heboh di kamar sendiri, eh ternyata daritadi ada yang merhatiin. Pasti gue yang ‘Heeeee… Bang… ke lo! Ngapain lo di kamar gue!’

Bang Andi juga bercerita soal rencananya untuk demo (kalo gak salah waktu itu februari) dan minta supaya ngebantu dia mengabarkan hal ini ke temen-temen. Paling tidak, banyak yang mau datang ke sana untuk berwisata. Atau sekadar nemenin Bang Andi ngobrol, katanya.

Beres cerita, Bang Andi ninggalin supaya kami bisa istirahat. Kami janjian untuk ketemu lagi nanti malam, untuk makan bareng istrinya.

Siangnya, kami mutusin buat keliling pulau pari.

Kesan pertama gue akan pulau ini adalah makanan khasnya… yang nggak khas sama sekali. Di dekat pelabuhan, banyak banget gerobak bertuliskan “TELOR GULUNG KHAS PULAU PARI”. Begitu gue coba beli, gak ada bedanya sama di tempat lain. Gak sampe bikin gue merem dan bergumam ‘Hmmmm… Pulau Pari bangetdh!’

Ada satu kejadian menarik saat kami mencoba mendatangi pantai perawan, satu dari dua pantai yang ada di sini. Ada satu petunjuk arah yang ditulis di papan bergambar Ikan Marlin. Si moncong ikan marlin ini mengarah ke kiri. Tapi karena insting kami petualang… (atau emang bego aja?), kami gak sadar dan malah menerabas pepohonan di depan.

‘Kok sepi ya?’ tanya Alam, mulai curiga. ‘Perasaan gue gak enak nih.’

Gue duduk di atas bongkahan kapal yang terbalik. Pikiran gue udah gatau ke mana. Kayak, lo tahu nggak, perasaan lega yang dirasakan orang ketika sibuk belajar setiap malam, dan menyadari kalau kemarin adalah hari terakhir ujian.

Ucup sedikit berlari ke depan kami berdua. Dia ketawa ngeledek, lalu membentangkan kedua tangannya.

‘Hahaha! Itu perasaan apa sayur basi?! Udah, sekarang fotoin gue dong!’

Gue ngeliatin mereka berdua aja. Masih bengong sambil duduk.

‘Ini dia… PANTAI UCUP!’ Ucup ngomong ke kamera. Padahal foto bukan video.

Lima menit kemudian kecurigaan Alam mulai gue sadar. Kok gak ada pengunjung lain ya?

Ternyata bener. Salah pantai.

Pantai yang kita pake buat foto-foto itu ternyata… gak ada namanya. Alias CUMAN PINGGIRAN KORENG PULAU PARI AJA BIASA. Yha, pantai Ucup. Yha…

‘Awas ya lo, Di, kalo sampe dimasukin ke blog!’ Si Ucup ngancem.

Gue sama Alam sih ketawa-tawa aja.

Terus terang, pantai perawan ngebuat kita rada kaget. Kami gak punya ekspektasi apa-apa, tapi ternyata beneran bagus euy! Berhubung waktu kedatangan kami gak bertepatan dengan hari libur, jadi pengunjungnya sepi. Cuacanya pun enak banget; dinginnya deburan ombak pas kena kaki. Warnanya airnya yang kehijauan. Teriakan seorang anak kecil yang bermain ayunan dari kayu.

Kami sama sekali nggak kepikiran bakal sebagus ini.

Momen ini tentunya kami pakai untuk… bantuin Ucup foto.

cantiknya pulau pari
"Akan kuganti semua profile picture-ku!"


‘Mampus nih,’ kata Ucup. ‘Gue bakal bilang kalo abis dari Maldives.’

Licik sekali otak teman kita satu ini.

Seperti halnya kaum yang haus eksistensi lain, kami semua cari spot buat foto. Mulai dari update insta story, sok bikin video teriak sambil muter dan kelihatan bahagia, bikin timelapse dan cinemagraf.

Berikut adalah beberapa hasilnya:

pulau pari
Kameranya di mana sih bang?

ayunan di pulau pari
maen ayunan


keindahan pulau pari
Padahal deg-degan takut jatoh


keindahan pulau pari
Silau bang


Puas cari bahan untuk di-update di Instagram, kami memutuskan untuk istirahat sambiil makan kelapa. Ambiens yang ada, ketenangannya, ngebikin kami malah jadi merenung. Kami adalah tiga orang yang sama-sama berasal dari jurusan Kehutanan. Lucunya, kami bertiga kayak mencar dan nyasar jauh banget. Gue yang sekarang jadi penulis konten di start up pendidikan. Alam yang ngurusin front end developer e-commerce. Dan Ucup yang dari bacotnya sewaktu kuliah emang cocok kerja di marketing.

Kami sama-sama ngedalamin apa yang kami mau tahu, apa yang kami mau kejar, dengan caranya sendiri-sendiri. Ucup yang selalu realistis dengan apa yang dijalanin. Alam yang sempet masuk “goa” setelah lulus dan ngulik dunia koding terus-menerus. Gue yang sedikit demi sedikit coba ngerakit portfolio. Kami gatau apa yang akan terjadi dalam dua, atau tiga tahun ke depan. Apa kami bisa sejajar dengan mereka yang emang punya background di bidangnya itu. Apa kami bakal kalah saing? Lalu menjadi sekumpulan orang terlanjur tua yang hanya bisa menyalahkan masa lalu. Semua kegelapan dan teka-teki masa depan ini bikin kami mikir dan ngayal.

Kalau Bang Andi aja bisa mengubah apa yang ada di dekatnya jadi sumber penghidupannya. Mengolah pantai ini jadi kayak sekarang. Belajar menanam bakau. Belajar membuat kolam bawah laut. Bersenang-senang dengan apa yang dia pelihara. Bahagia melihat apa yang dia rawat, tumbuh bersama dirinya. Meskipun gue yakin banget, dari bekas kulitnya yang terbakar matahari, dari urat yang mengular di tangannya, dari pandangan matanya tiap kali cerita soal sengketa lahan, apa yang dia lakuin ini nggak gampang. Prosesnya panjang.

Terkadang, kita terlalu sering membuat permakluman untuk diri kita sendiri. Jurusan kuliah yang nggak sesuai. Macet jalanan yang bikin sampe rumah terlanjur malem. Ngerasa banyak tugas-tugas gak penting. Ngerasa kalau 24 jam sehari itu gak cukup. Orangtua yang gak dukung apa yang kita mau. Tapi, ya, semua itu, pada akhirnya akan membawa kita ke satu pertanyaan yang, mau gamau kita jawab sendiri: Terus apa? Terus kita mau ngapain?

‘Cuy,’ kata Ucup. Memecah keheningan. ‘Kalo menurut gue ya, lumayan juga deh ini. Maksudnya, bukan yang sespesial ke Bali atau Karimun Jawa atau ke mana. Tapi oke juga lah.’

Gue mengorek daging kelapa dengan sendok, menyuapnya, lalu berkomentar, ‘Masalahnya ya, Cup. Kenapa awalnya lo iseng pake sebutan Spiritual Journey… terus sekarang beneran spiritual journey begini?’

Pikiran Random di Pondok Indah

$
0
0

Malam ini gue sengaja pulang lebih larut dari biasanya. Rasanya seperti ada hal-hal yang ingin gue keluarkan dari kepala, lalu membiarkannya terbang bersama angin malam. Meninggalkan gue yang berada di belakang Avanza hitam ini.

Gue membelokkan sepeda motor ke food street diPondok Indah. Memesan segelas cappuccino panas dan memilih untuk duduk di meja paling ujung.

Di depan gue, home band mengalunkan lagu Via Vallen. Sesekali berinteraksi dengan pengunjung yang bersorak di bagian lagu tertentu.

Sewaktu di pom bensin tadi, gue menengok ke barisan sepeda motor yang sedang antri. Di belakang mereka, menjulang apartemen Gandaria yang gue gatau namanya.

Ini ngebuat gue mikir;
Bagaimana rasanya kalau gue tinggal di tempat itu.

Mungkin malam itu, di lantai enam belas, gue membuka gorden lebar-lebar. Memperhatikan Jakarta dari atas. Cahaya kuning yang menyala, berkelap-kelip dari berbagai bangunan di bawah.

Lalu dia keluar kamar. Meletakkan telunjuknya di bibir dan duduk di samping. Mengatakan ‘Jagoan udah tidur’ tanpa bersuara. Gue emang jarang ngobrol serius. Tapi sejujurnya, gue menyukai situasi ini. Saat mata bertemu mata. Jari bertemu jari. Dan di hadapan kami ada lampu mobil yang bergerak perlahan-lahan.

Gue merasa bebas.
Gue merasa waktu berjalan lebih lambat dari biasanya dan gue suka itu.

Sampai petugas pengisian bensin bertanya dan gue memberikan uang dua puluh ribuan. Mendorong motor, mengangkat selang dan mengarahkannya ke tangki. Dan pada akhirnya, gue memutuskan untuk membeli kopi dan menuliskan ini di buku catatan.

Di antara tulisan-tulisan random ini, pikiran gue malah makin ngaco.

Lo pernah gak sih mikir gimana jalan hidup orang lain?

Kayak salah satu pramusaji berbaju hijau yang ada di depan. Mungkin pagi tadi shampo di kosannya abis, dia mandi terburu-buru, mengeringkan rambut di depan cermin sambil mengingat perkataan bosnya kemarin malam. Berusaha bodo amat pada apa yang baru aja menimpanya.

Atau gitaris di home band yang kini menyanyikan don’t look back in anger. Bisa aja, sesaat sebelum berangkat, ia memetik beberapa lagu yang belakangan ini terngiang di kepalanya. Berharap kalau venue malam ini akan ramai. Berandai-andai bahwa satu, atau dua tahun lagi dia tampil di televisi. Atau manggung di kota-kota yang belum pernah ia jamah.

Sampai kemudian ia mengemas gitar itu, lalu berangkat ke sini.

Kita semua tahu tidak ada formula yang pasti tentang hidup ini. Apa yang akan terjadi dalam beberapa tahun lagi, atau bahkan besok, semuanya sangat fluktuatif. Bisa saja di satu kesempatan, warung makan kita didatangi oleh orang penting, lalu keesokan harinya mendadak ramai. Atau justru hancur karena diricuhkan oleh orang-orang yang tidak mau dagangan kita laku. Atau kalau ingat jaman dulu: Bagaimana kisah hidup Norman Kamaru saat di kepolisian, lalu menjadi artis besar, lalu katanya sekarang jualan bubur manado.

Menurut gue, gak ada yang salah sama semua itu. Timothy Goodman pernah bilang kalau tujuan kita hidup sebenernya bukan untuk bahagia. Bukan untuk sukses. Tapi we live for experiencing something. Kita hidup untuk merasakan pengalaman-pengalaman yang ada. Bisa aja bagi satu orang, pengalaman itu adalah makan kepiting bakar di pulau terpencil bersama kekasih. Bagi yang lain, bisa aja pengalaman itu berupa kehilangan laptop, lengkap dengan data-data yang harus kita presentasikan besoknya.

Tujuan kita hidup, katanya, adalah untuk merasakan apa yang seharusnya kita rasakan. Dan menurut gue, salah satu perasaan paling menyenangkan adalah, ketika kita bisa berbagi pengalaman itu dengan seseorang yang kita inginkan.

MAKASEHH!!

$
0
0

Setiap orang pasti punya “pelarian” masing-masing ketika berada dalam masalah. Temen gue, setiap kali stress langsung ngurung diri di kamar. Tidur seharian kayak koala. Temen gue yang lain, ngejadiin shopping sebagai pelariannya.

‘Gue kalo udah stres pasti ke mal, Di. Liat-liat baju nanti juga girang sendiri.’

‘Terus sadar kalo baju yang lo liat gabisa lo beli, terus makin stres gitu?’

‘Brengsek lo.’

Buat gue, pelarian ini bernama: Ketoprak Gandaria. Buat yang belum tahu, di daerah parkir liar mal Gandaria City, ada satu tukang ketoprak gerobakan yang enak abis. Dari Abang ini, gue jadi tahu kalo ketoprak dikombinasikan dengan telur dadar bisa ngebuat yang makan jadi nge-fly. Biasanya, tiap ngerasa pengin cepet-cepet “kabur” dari kantor, gue selalu ngeluyur ke sini.

Sayangnya, gue gatau lagi kondisi ke depannya bakal gimana.

Jadi, beberapa minggu lalu, seperti saat-saat stres (atau miskin?) lainnya, gue kepikiran buat nongkrong bentar. Bedanya, kemaren gue ke sana sekitar pukul 8 malam. Biasanya, sih, malem gitu. Jam 10-an.

Tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan. Kecuali parkir liar yang lebih rame (karena masih jam segitu) dan duit kembalian yang ada bau bawang putihnya.

Gue mesen menu andalan: ketoprak pedas lengkap dengan telur dadar, dan satu air mineral.
Masuk ke areal tempat makan, merkosa lontong, balik ke parkiran.

Dan di sini lah semua itu terjadi.

Ketika gue berjalan menuju motor, satu Abang parkir menghampiri. Dia berdiri di depan motor gue, lalu tolak pinggang. Gue sempat mikir, ini Abang parkir apa Abang None?

Gue ingat betul, di samping motor, gue sempat mengecek jam: pukul 08:40. Gue masih berdiri dan pura-pura gak ngeliat si Abang ini. Dia juga gak ngapa-ngapain. Berdiri aja diem sambil tolak pinggang. Gak ngajak ngomong. Gak bantuin narik motor gue keluar parkiran.

Berhubung gue merasa “risih” sama si Abang ini, entah kenapa timbul semacam hasrat buat ngerjain dia. Gue nyiapin duit dua ribuan. Masukin kantong. Naroh tas pinggang ke atas jok motor. Make jaket sepelan mungkin. Ngaji Al-Baqarah. Pokoknya sengaja gue lama-lamain. Gue sebel banget sama tukang parkir model kayak gini.

Si Abangnya masih diem ngeliatin gue.

Dari ujung mata, gue liat mukanya; caranya ngeliatin udah kayak mahasiswa senior yang lagi ngospek anak baru. Di saat itu, gue langsung ke flashback kerjaan gue di kantor. Ribet, banyak, dan bikin kepala mau pecah. Hati gue pun berbisik, ‘Lo kerja capek-capek, eh si kunyuk ini modal berdiri doang dapet duit.’

Tidak akan kubiarkan dua ribu ini kuberikan begitu saja.

Gue ngebuka tas pinggang, ambil sarung tangan dan make dengan gerakan super slow motion. Setelahnya, gue masang headset, milih-milih lagu (tadinya biar makin lama, gue mau nelepon radio Prambors nanya lagu apa yang lagi hits, tapi kayaknya terlalu ribet deh).

Begitu lagi masang masker, botol aqua gue jatoh ke deket kaki si Abang parkir.

EH SI KUNYUK INI KAGAK ADA RESPON APA-APA.

Dia beneran diem aja gitu. Satu tangan di pinggang, satu disandarin ke headlamp motor gue.

Dada gue panas. Gigi gue bergemeletuk. Gue hampir aja nanya, ‘Assalamualaikum… saha eta?’ tapi takutnya dia gak ngerti bahasa sunda.

Akhirnya gue sabar-sabarin sendiri. Gue ambil botolnya, naik ke motor, lalu cabut dan ngasih duit…
…dan belum sempet ngegas, dia  mengangkat lima jarinya.

‘Hah?!’ tanya gue dalam hati. ‘Ngapa nih orang ngajak tos dah. Tolol amat.’
‘Goceng,’ katanya datar.

Ternyata gue yang tolol.

Di sini puncak kesabaran gue abis. Gue hapal banget, setiap kali ke sana gue cuman bayar 2 rebu perak. Gue cuman dateng, numpang makan ketoprak, kenyang, cabut. Pas bayar juga abangnya ketawa-tawa aja. Kecuali kalo gue lama dan ngemol dulu.

Gue menatap si keparat ini dengan tajam. Gue ngomong pake mata: Gue benyekin lu!

Gue ngasih duitnya, ngeremes, dan naroh di tangannya sambil ngomong dalam hati, ‘Gue benyekin kayak gocengan ini!’

‘Makasih,’ kata gue, dengan nada yang dikeluarkan cewek PMS pas ditanya ‘Mau liat ototku gak?’

Setelah gue bilang gitu, dia pergi gitu aja.

Gue tahu mungkin dia lagi bete sama kerjaannya kayak gue… TAPI APA SIH YANG DIBETEIN SAMA TUKANG PARKIR?!

Lo tinggal nongkrong (biasanya sama temen kang parkir lain), begitu ada kendaraan keluar, lo nempel di jendela mobil dan terima duit. Satu-satunya keluhan yang bisa terjadi adalah kalo lo nempelnya kedeketan… dan kaki lo kegiles Pajero.

Tidak mendapat alasan yang pasti atas perilaku si tukang parkir, emosi gue semakin naik. Gue. Mau. Meledak.

Gue teriakin dari belakang, ‘Eh, Bang!’

Dia nengok.
Gue bingung mau ngomong apa.
Satu detik.
Dua detik.

Gue mencari kata-kata umpatan.
Dan terpilihlah sebuah kata:

‘MAKASEHH?!!’

Saat itu kayaknya dia nyesel deh udah nengok. Besok gue harus belajar lebih macho lagi deh. Cih. Beruntung dia. Gue cuman agak grogi aja dikit.

Pilihan Terminal Kedatangan Saat Naik Bus Ke Malang

$
0
0

Banyak yang bilang bahwa Malang Raya adalah tempat tujuan favorit pelancong dari seluruh Indonesia. Udaranya yang sejuk dengan pemandangan alam yang cihuy menjadikan kota apel ini terkenal. Selain terkenal akan apelnya, Malang juga terkenal akan pantainya yang eksotis dan gunung yang menawan. Gak heran kalo wisatawan dari luar kota ingin terus menerus berkunjung ke Malang.

Sebagai kota yang sedang berkembang, ada banyak transportasi alternatif yang bisa kamu gunakan untuk menuju Malang. Kamu bisa menaiki pesawat, kereta api, atau bus. Atau kalau kamu anaknya agak antimainstream, bisa coba ojek gendong.

Ngomong-ngomong soal bus, ada banyak tiket bus dengan berbagai pilihan armada yang bisa kamu dapatkan untuk menuju Malang. Nah, jika kamu menuju Malang dengan menaiki Bus, ada baiknya kamu mengenali beberapa terminal berikut agar tidak salah turun saat pergi ke Malang ya.

Landungsari


sumber:mapio.net

Terminal ini berada di sebelah barat kota Malang, berdekatan dengan Universitas Muhammadiyah Malang. Terminal terpadu yang lumayan kecil ini melayani rute bus ekonomi dari Malang – Kediri, Malang – Jombang, Malang – Bojonegoro – Tuban, dan juga Malang – Kediri – Madiun – Ponorogo/Magetan. Terbilang lumayan lengkap ya untuk ukuran terminal kecil. Kalo kamu datang dari kota yang telah disebutkan, kamu bisa kok turun di terminal Landungsari lalu lanjut menaiki angkutan umum/ojek online untuk mengelilingi kota Malang. Untuk tarif tiket bus sendiri hanya sekitar 30 ribu rupiah saja.

YHA. 30 REBU CHUY.

Hamid Rusdi (Gadang)


sumber:jalanjalandikotamalang.blogspot.co.id

Terminal Gadang, atau kini sudah pindah dan memiliki nama baru yakni Hamid Rusdi ini berada di sebelah selatan kota Malang. Jika kamu berangkat dari Lumajang atau Tulungagung, kamu bisa untuk meminta turun di terminal ini. Terminal Hamid Rusdi melayani rute Malang – Tulungagung, Malang – Trenggalek, dan juga Malang – Lumajang. Terminal ini juga bisa kamu manfaatkan jika akan berlibur ke daerah pantai selatan dengan menaiki angkot. Karena angkutan umum menuju Malang Selatan semua ada di terminal Hamid Rusdi.

Arjosari


sumber:ngalam.co

Arjosari merupakan terminal pusat sekaligus terminal terbesar di kota Malang. Terminal ini menghubungkan berbagai rute perjalanan ke luar kota sekaligus luar pulau seperti Bali dan Lombok. Kamu bisa menemukan berbagai armada bus di sini. Tiket bus juga bisa dibeli di konter-konter yang terdapat di dalam terminal. Jika merasa kesulitan, tiket bus dari dan menuju kota Malang juga bisa dibeli di aplikasi Traveloka lho. Terminal ini terletak cukup dekat dengan pusat kota dan kebersihannya pun terjaga. Kemalaman saat tiba di Malang dan tak tau harus menginap di mana?  Tenang aja, di sekitaran terminal Arjosari banyak penginapan-penginapan murah yang bisa kamu manfaatkan.

Itu dia terminal yang ada di Malang Raya dan bisa kamu jadikan acuan saat datang berlibur ke Malang. Yuk datang ke kota Malang dan mencicipi baksonya yang populer itu.

Renungan Kemarin Malam

$
0
0

renungan malam takbiran lebaran

Setiap tahunnya,
gue punya tiga malam buat merenung.
Malem tahun baru, malem saat gue ulang tahun, dan malem takbiran.
Dibanding ngerayain dengan konvoi di jalanan, ngumpul rame-rame, ngejarah supermarket (kok agak horor ya?) gue lebih suka ngurung diri di kamar. Berkontemplasi sendirian.
Tahun baru ini, misalnya. Gue ngebayangin apa aja hal yang udah gue lakuin. Sejauh mana gue udah lari di maraton yang bernama kehidupan ini. Mikir soal masa depan yang sampe sekarang masih ngaco juga.
Setiap kali ngelakuin ritual ngayal ini, biasanya gue nemu ide. Entah itu yang liar banget, yang udah pasti gak gue lakuin dan cuman bisa gue pendem. Contoh: ide buat tinggal bareng Nikita Mirzani. Atau ide-ide lain yang pada akhirnya gue wujudin. Entah itu dalam bentuk podcast, atau tulisan pendek, atau malah masuk ke kerjaan di kantor.
Dan ya, ritual “ngurung diri” ini gue lakuin pas malem takbiran kemaren. Saat hape lebih sering bunyi karena kiriman orang-orang yang minta maaf. Saat ledakan petasan muncul di luar rumah, bersautan dengan suara-suara yang muncul dari masjid. Saat saklar ditekan satu per satu, memadamkan ruangan demi ruangan di rumah.
Saat itu, gue baru aja nyelesain dua stand up special-nya Bo Burnham yang berjudul what. dan Make Happy. Show-nya yang berjudul Make Happy itu bikin banyak kontroversi karena ada banyak pesan tersembunyi. Bo yang ngebawain materinya lewat lirik lagu penuh sarkas dan ironi, bikin orang nebak: “Apa arti sebenarnya dari ‘make happy’ yang dimaksud?”
Gue bacain komen-komen di YouTube yang ngomongin tentang Bo, nontonin berbagai interview dia sama komedian senior. Lalu sampai pada sebuah kesimpulan: Bo gak pernah nyeritain dirinya secara langsung di atas panggung. Beda halnya kayak beberapa komedian yang bisa dengan tegas menyampaikan pendapatnya terhadap suatu isu. Dia selalu ngebungkus itu rapat-rapat. Mengubahnya jadi sesuatu yang sama sekali berbeda dan ngebuat orang mikir kalau itu cuman bercandaan.
Entah kenapa, gue ngerasa sedikit mirip sama dia.
Gue yang dilahirkan di keluarga jawa ini, paling males ngomongin hal secara frontal, jujur, cerita tentang masalah gue ke orang lain. Bahkan, untuk sekadar ngungkapin apa yang gue rasain, rasanya susah dan akhirnya jadi belibet ke mana-mana. Katanya sih orang jawa itu kalo komunikasi selalu pake gaya high contact. Jadi deh gak langsung ke intinya, malah muter-muter sesuka hati.
Mungkin ini juga yang ngebuat gue cuman punya dikit temen yang beneran nyambung. Karena ya cuman orang tertentu yang bisa nangkep apa yang gue maksud. Apalagi kalo gue udah berusaha terus terang, eh dia malah nganggep bercanda. Kalo udah gitu, secara gak langsung gue bakal “nandain” dia dan gak bakal cerita aneh-aneh lagi.
Anyway, kenapa ya hidup kita penuh dengan perayaan? Ulang tahun dirayain dengan nraktir temen-temen. Jadian dirayain dengan ngasih pajak jadian. Mau nikah ngerayain dengan bikin bridal shower. Apakah hidup kita segitu menyedihkan sampai harus nyari momentum untuk melakukan perayaan?
Terus terang, salah satu pertanyaan besar gue kemaren malam adalah: apa sih yang sebenarnya harus gue lakuin? Di tengah banyaknya ucapan maaf yang terlontar, kata-kata fitri yang bertebaran, perilaku santun karena ada di hari kemenangan.
Masalahnya, apa kita benar-benar menang? Gimana kalo gue sebenarnya kalah. Apa itu berarti, gue hanya numpang ngerayain kemenangan orang lain? Apakah di waktu ini, kita memang dipaksa untuk jadi pemenang?
Pertanyaan ini terus menempel di kepala gue. Sepanjang kontemplasi ini, gue tidak mendapatkan jawaban yang pas untuk itu. Atau mungkin, pertanyaan itu sebenarnya emang bukan buat dijawab. Karena kalo pun gue, atau ada di antara kita yang ngerasa kalah, itu artinya ada yang salah sama cara kita memperlakukan diri sendiri. Bisa jadi kita kalah karena kita gagal dapetin apa yang selama ini kita pengen. Atau justru terlalu keras berusaha sampai ngorbanin hal-hal di sekitar kita.
Dan ketika perasaan itu mulai timbul di dalam diri kita,
Cara pertama yang bisa kita lakukan, mungkin sesederhana minta maaf sama diri sendiri.

Please forgive me, Kresnoadi.

Apa yang Gue Pikirkan tentang Sosial Media Sekarang

$
0
0


Gue punya satu pertanyaan yang gue simpan cukup lama.

Kalo kita baca di beberapa berita, kayaknya generasi gue (millenial dan ke bawah), sering banget disebut “Me generation”. Generasi egois, narsis, dan merasa kalau dirinya adalah pusat alam semesta ini. Makanya sekarang kalo laper, kalimat yang keluar dari mulut kita bukan “Gue mau beli makan. Ada yang mau nitip?” tetapi “Akan kutekan hape ini dan bikin orang asing itu bawa makanan padaku!”

Begitu tukang ojeknya sampe depan rumah, kita lari dari kamar, jerit “MAKANAN GUEEHH!!” bayar, cium tangan, lalu nyembah dia.

Masalahnya, apakah ini benar?
Apakah kita emang jauh lebih egois dari orang-orang di generasi sebelumnya?

Buat jawab ini, kita butuh beberapa variabel. Kalau kita pikir-pikir, apa sih yang membedakan generasi kita dan generasi orangtua kita.

Cara kita lahir? Sama.

Ekonomi? Masih qysmin.

Hal paling signifikan yang ngebedain kita tentu teknologi. Teknologi, pada dasarnya tidak cuma mempercepat informasi dan infrastruktur. Kalo kita pikir lebih jauh, secara tidak langsung, teknologi yang kita pakai akan memengaruhi cara kita bergaul.

Generasi kita, adalah produk dari tim marketing berbagai sosial media. Mereka seringkali menyuruh kita untuk punya dunia yang lain. Dunia yang bisa kita kendalikan. Kita ciptakan dan atur sendiri. Dan pada akhirnya, kita semacam punya dua dunia buat bergaul. Dunia pertama adalah dunia di mana kita tinggal sesungguhnya. Dunia kedua adalah dunia pelarian yang lebih “bebas”. Dunia di mana orang bisa joget-joget sambil ngegerakin dua jari, lalu nunjukin ke sekumpulan orang asing tanpa merasa malu.

Kenapa nggak malu? Karena dia melakukan itu di kamar kosong. Di tempat yang ngebuat dia nyaman.

Bayangin orang itu pergi ke supermarket. Belanja terong, lalu di antara rak sayuran organik, dia ngeluarin speaker gede, mencet play, “EMANG LAGI MANJA~ LAGI PENGEN DIMANJAAA~” lalu joget dua jari.

Itu terong kalo bisa ngomong mungkin bakal teriak, “KEMBALIKAN AKU KE DALAM TANAH!”

Ya, secara tidak langsung, sosial media berpengaruh besar terhadap cara kita bergaul dan berinteraksi. Kalau kita tarik ke belakang, berarti bukan manusianya yang lebih “egois”, tapi sosial media yang menuntun kita ke sana. Kalo kita sampe salah ngegunain sosial media, ya bisa berabe juga.

Kalo gue pikir ulang, jaman gue main Friendster (ya, gue sempet main begituan) kita juga berlomba-lomba jadi yang paling keren. Ngedit template seniat mungkin. Yang anak metal dan gaul, biasanya dibikin jadi gelap. Dikasih foto gitar, lengkap dengan tulisan khas metal yang gak bisa kebaca. Tapi biar tetep dapet temen, di Friendsternya dia melihara ikan koi.

Ini yang bikin gue ngerasa kalo sosial media lah yang mengubah kita. Itu artinya, bukan tidak mungkin kalo jaman penjajahan dulu udah ada Instagram, pejuang bakal upload foto dulu sebelum perang. Fotonya selfie megang bambu. Captionnya: “You know my name but not my story”. Dapet 32 likes. Lalu ada yang komen “Runcing banget bambunya.” Dibales “Runcingan punya kamu” Bales lagi “Kamu” Bales “Dibilang elo anjeeeeenggg!” Dibales lagi “See? What I think about dumb people on the internet that only can say something like this? Answer with some arguments, not that stupid word, you SON OF A BITCH!” Lalu di bawahnya ada penjual online ikut komen: “Ingin punya bambu yang lebih besar dan runcing? Ingin menghujam dua kompeni dengan sekali tusuk? Yuk cek ig kita. Makasih lho, rekomendasinya! :)”

Lalu karena kelamaan komen, orang ini ketembak Belanda. Mati. Beritanya masuk Cek and Ricek. Headlinenya: “INI POSTINGAN TERAKHIR BUDI PEJUANG TANAH AIR! PERHATIKAN LINGKARAN MERAH DI FOTONYA! BUDI SEBENARNYA ALIEN!”

Oh, perang pasti akan jauh lebih seru…

Masih berhubungan sama sosial media, gue pernah baca kalau saat ini, Instagram adalah sosmed yang paling berpengaruh terhadap penurunan kesehatan mental. Secara tidak langsung, dengan ngeliat Instagram, kita seperti dituntut harus sempurna. Ngeliat feed si anu, keren abis. Ngeliat feed ini, artsy mania. Hal ini bikin kita dengki dan ngerasa kalau hidup kita cemen abis. Padahal, foto yang kita liat di Instagram adalah satu dari 128 foto yang dia ambil. Udah diedit berjam-jam. Udah nyomot quote kehidupan dari google. Udah pake #like4like.

Tapi tetep aja, tanpa disadari, kesempurnaan semu ini diam-diam menggerogoti kita.

Satu hal yang bikin gue penasaran adalah: “Siapa sih yang mencetuskan ide bahwa segala sesuatu yang ditampilkan di dunia maya itu harus sempurna?”

Saat gue SMA, satu-satunya masa di mana gue pengin terlihat sempurna adalah di depan gebetan. Tapi sekarang, tiap orang merasa harus bikin insta story yang berkelas. Fotonya harus di tempat elit. Harus dandan 3 jam, foto selfie di tempat wisata dan bilang “Abaikan muka.”

ABAIKAN MUKA WEDUSMU.

Dan padahal gebetan lo juga gak peduli.

Hal lain yang gue temukan adalah, entah kenapa kita cenderung jadi lebih “matre”. Semakin artis dan pengguna sosial media menyerukan kalo kita bisa dapat duit dari sana, semakin kita ngerasa kalo apapun yang kita lakukan harus menghaslkan uang.

Kebiasaan ini terlihat dari kalimat “Ini nggak disponsorin lho!” saat nenggak aqua, atau make kamera tertentu, atau make baju tertentu, atau pergi ke tempat tertentu. Emangnya yang nonton Ig Story beneran ngerasa kalo lo disponsorin ya? Emangnya kenapa juga kalo lo nyebutin merk tanpa disponsorin?

Emangnya ada yang kehipnotis “Wah… Ternyata selama ini Syahrini minumnya bukan aqua… tapi ADES.”

YHA KENAPA?!

Kayaknya brand itu juga gamau sponsorin rakyat jelata kayak kita deh.

Tapi yang jelas, postingan ini ditulis di laptop Acer.
Jadi kalo Acer mau sponsorin gue, langsung ke email aja ya. Makasih loh...

Mengungkap Definisi Cantik dari Lagu Lagi Syantik Siti Badriah

$
0
0

Siapa coba yang gatau Lagi Syantik? Pertama kali gue tahu ini, bokap nyetel pake SPEAKER STEREO di rumah. Gue yang masih setengah sadar langsung kaget. Sayup sayup gue denger kalimat ‘Lagi manjaaa~ Emang pengen dimanjaa~’ lengkap dengan dentuman bass dan bunyi semacam klakson angkot. Udah gila apa ya? Ini masih jam 7 gitu lho! Gue protes dari kamar, ‘Pak! Aku kan belom siap joget!’

Gue keluar kamar, ngeliat bokap tiduran di kursi panjang. Senyum dia ngembang gede. Ckckck. Gue cuma bisa geleng-geleng kepala, minum air putih di meja, lalu joget di depan tv.

‘’Nah gini kan enak kalo udah seger! Yihaaa!’

APAAN?!

Gak mungkin lah.
Mana mungkin sendiri.

Bokap gue ikut merem melek sambil goyangin jempol.

‘Emang lagi manjaaaaa,’ kata gue.
‘Lagi pengen dimanjaa!’ sahut Bokap gue, make gagang remot jadi mic.

Keluarga macam apa ini…

Oke, serius serius. Jujur, gue penasaran banget sama lagu ini. Ada beberapa pertanyaan yang langsung masuk ke kepala gue begitu denger lagu ini: 1) Kenapa tiap lagu ini muter… gue… refleks… Jog… TOLONG. JEMPOL. AARRRGGHHH! 2) Apa arti sebenarnya dari kata “cantik” yang ada di lagu ini?

Ya, betul. Buat gue sendiri, kata “cantik” itu sangat abstrak. Apakah yang berkulit putih itu cantik? Kalo gitu gue gak pernah tuh ngeliat orang kagum sama reptil, ‘Wuih! Cantik beut nih buaya albino!’ Sungguh aneh memang dunia ini. Tapi, kalau menilik dari penggunaan katanya, kayaknya orang syantik itu yang syuka minum syusyu deh.

Maka demi mencegah timbulnya kericuhan dan perpecahan (emangnya ada woy?), di sini, gue akan membedah lagu Lagi Syantik – Siti Badriah untuk menemukan definisi cantik yang sesungguhnya.

lagu lagi syantik siti badriah


Siti Badriah membuka lagu ini dengan menjatuhkan pasir pantai dengan alunan piano yang menggugah. Tatapan mata Siti tajam sekali. Seolah dia berkata, ‘Nih liat pasir ini… ngotorin tangan kan? Cih.’

opening lagi syantik siti badriah


Beberapa saat berselang, vokal masuk dengan lirik, ‘Emang lagi syantik… tik… tik…tik… tik… tik… tik… tik… tik…’ sampai kita yang nontonn teriak, ‘IYA CUKUP! UDAH!’

‘DAH… DAH… DAH… DAH…’

Video klip lalu berputar balik ke Siti yang masih buang-buang pasir. Apakah cewek syantik itu yang demen main tanah? Apa ini memberikan pesan bahwa seorang cewek cantik itu pekerja keras? Apa abis ini dia bakal ngaduk semen? Hmmm pertanyaan ini masih sulit kita jawab.

siti badriah live


Musik terus berdendang. Dan pada bagian ini, lagu sampai pada kalimat, ‘Hai sayangku. Hari ini aku syantik.

Ingat ya, syantik.
Pake ش

Oke, apabila kita liat pada frame tersebut, bisa dipastikan bahwa kedua orang di samping kanan dan kiri Siti adalah pasangan. Itu artinya, dalam lagu ini Siti menggambarkan sosok jomblo. Apa itu sebuah pertanda? Emang sih yang jomblo bakal lebih keliatan syantik. Makanya kadang kita sering liat cewek yang menurut cakep, eh begitu tahu dia punya cowok, mukanya pelan-pelan berubah jadi kayak muntahan tapir.

Lirik lagu selanjutnya adalah:
Syantik bagai bidadari. Bidadari di hatchimyuh.

Hmmm. Dengerin part ini, gue langsung merenung. Cantik bagai bidadari? Kayak gimana tuh? Karena jaman udah canggih, gue googling dengan kata kunci “bidadari”:

bidadari surga


G…gue kok ragu ya.

KENAPA ADA GAJAHNYA?!

Kalo emang bener bidadari kayak gitu, biarkan aku hidup lebih lama ya Allah…

Daripada terjebak pada hal-hal dan hipotesa asal kayak gini, gue memutuskan untuk langsung riset tentang lagu ini. Gue mengetik kata kunci “lagu lagi syantik”, memilh berita dari okezoneini, dan yang muncul adalah:



Sadis. Gue baru tahu kalau ternyata lagu ini udah dibuat setaun lalu. Mereka ternyata udah punya rencana underground untuk membuat lagu ini menjadi tenar. Sebuah trik yang mahajitu dari Yogi.

Bentar…

YOGI ITU SIAPE?!

yogi pendeta


Ternyata dalang di balik pembuatan lagu ini adalah seorang jenius. Dia bisa dengan lihai memasarkan barang sebrilian Kanye West. Atau tukang es kepal milo.

Apalagi setelah gue baca dari berita yang sama, ternyata pembuatan lagu ini hanya memakan waktu 4 jam saja. Ini beneran sadis sih.

pencipta lagu lagi syantik


DJ DONALD INI SIAPE?!

Gamau kehilangan jejak, gue cari “DJ Donald” di google:

dj donald pencipta lagu lagi syantik sibad


*nangis di pundak Sarah Azhari*

Udah pasti ini ngaco. Gak mungkin DJ Donald yang dimaksud itu Donald Trump. Mau jadi apa?

Dipicu rasa penasaran yang tinggi, gue ganti kata kunci jadi “DJ Donald lagu syantik” dan hasilnya:

dj donall lagi tamvan


Sudah barang tentu, gue klik yang kanan. Gak mugkin DJ Donald yang dimaksud yang lagi syantik full remix full bass hot.

Full bass hot.
Full. Bass. Hot.
BIAR APE ADA HOT HOTNYA?!

Setelah gambar yang kanan gue klik, link itu menuju ke sebuah video klip berjudul “BALASAN LAGISYANTIK – LAGU TAMVAN RPH & DJ DONALD FT SITI BADRIAH”

‘RPH? Apaan nih?’ batin gue bergejolak. Dada gue bergetar. Pantat gue ngeluarin cairan dikit. Gak sabar rasanya bisa ngeliat tampang orang-orang keren ini. Gue play videonya.

Lagu itu dibuka dengan…

rph management


Ternyata oh ternyata, RPH yang dimaksud adalah… Republik Pengvasa Hati.

*nangis di pundak Sarah Azhari yang satunya*

Ya, gue yakin maksudnya adalah Republik Penguasa Hati. Tapi kenapa huruf “u” dalam kata “penguasa” itu diganti jadi “v”? Dan kenapa hanya kata itu? Kenapa gak sekalian “Repvblik Pengvasa Hati?” Atau “Repvblic Pengvas4 h4T1?”

Kejanggalan lain gue temukan dalam judul lagu yang DJ Donald buat. Dia memberikan judul “Lagi Tamvan” yang mana berasal dari “Lagi Tampan”. Kenapa penggunaan huruf “v” di sini menggantikan huruf “p” sementara di manajemennya berfungsi sebagai pengganti huruf “u”. Kenapa dia gak ganti nama manajemennya jadi “Revublik Venguasa hati?” Atau “Revvblic Vengvas4 h4T1?”

Tunggu…
Atau sebenarnya…
Maksud dari “Lagi Tamvan” adalah…

 “Lagi Tamuan”

DIA SEBENERNYA TAMU!
Hmmmm. Kalau begitu, bisa jadi “lagi syantik” itu sebenernya bukan bermakna “lagi cantik” seperti yang selama ini kita pikirkan.

Jadi apa sebenernya makna cantik?
Kayaknya mending kita tanya langsung ke Yogi deh. Syalan memang.


Daftar 21 Pekerjaan yang Bisa Kamu Pilih Kalau Suka Menulis

$
0
0

Gue masih inget awal blog ini tercipta. Ketika itu masa ospek kampus dimulai. Gue adalah orang yang paling males sama konsep ospek-ospekan ini. Buat gue, definiisi ospek yang ngomelin junior dengan dalih “meningkatkan mental” itu aneh banget. Gak ada hubungannya antara diteriakin sama kekuatan mental seseorang. Nyokap gue aja di rumah gak pernah bilang, ‘Kamu tuh kalo makan yang bersih dong! Ibu tuh ngomong gini biar mental kamu kuat ya!’

Gara-gara ospek ini, ada salah seorang senior yang kami daulat sebagai public enemy. Kalo ngeliat dia di ujung lorong, kami ngibrit dan cari jalan lain. Kalo dia muncul di kantin, kami langsung kenyang dan pindah ke kantin anak Ekonomi.
Sekalinya kami ngumpul, dia jadi bahan perbincangan habis-habisan. Kadang ada yang sok berani bilang, ‘Kemaren gue gak sengaja ketemu dia! Gak bisa bedain muka sama pantatnya!’

‘Wah, parah!’ sahut yang lain. ‘Tuh orang kalo ngomong emang kayak lagi kentut!’

Pas dia ngospek, kami ketakutan lagi.

Ya, kami benci tapi cupu.

Gue, sebagai anak alim yang cinta perdamaian, tentu tidak akan ngomong langsung hal itu ke dia. Selain cinta damai, gue juga belum mau mati. Di sisi lain, dorongan perasaan ini begitu kuat. Gue pengen mengungkapkan segala isi hati ini, tapi gatau caranya. Apalagi sewaktu kampus gue ngundang Nidji, gue gak sengaja ngeliat dia joget… dan gayanya kayak kingkong kesurupan.

Setelah mencari berbagai cara pelampiasan untuk ngeledekin dia,
gue memutuskan untuk nulis kejadian itu.

Akhirnya, jadi deh blog ini.

Setelah sekarang gue pikir-pikir lagi ternyata… busuk juga ya niat gue. Hehehe. Jauh beda sama penulis lain yang mengawali kisahnya dengan berbagai cerita inspiratif, gue lebih ke desktruktif. Kalo orang nyebarin nilai positif, lah gue malah nyebarin kelaknatan.

Agak nggak enak kalo misalnya gue diundang ke Hitam Putih, lalu disuruh cerita hal ini. Gak mungkin gue jawab jujur dengan, ‘Waktu itu bikin blog karena ada orang yang mukanya kayak pantat!’ Bukannya ditepokin, yang ada gue diludahin massal.

Di masa itu, gue sama sekali gatau gunanya nulis di masa depan. Nulis? Emang kegiatan ini berguna dan nguntungin secara material?

Gue sama sekali gak tahu kalau ada prospek kerja yang berhubungan dengan menulis.

Sampai akhirnya, gue keterusan dan beneran berkecimpung di dunia tulis-menulis. Bekerja di “tempat ini” sedikit banyak mengubah pandangan gue soal tulis-menulis. Ternyata, banyak, lho, profesi yang berkaitan dengan dunia nulis. Dan ternyata… nulis itu susah mampus.

Makanya, postingan ini dibuat untuk kamu yang pengin tahu jenis-jenis pekerjaan yang berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Jadi, kalau kamu sekarang suka nulis, kamu punya pilihan untuk ngebuat nulis jadi hal yang serius dan professional.

Gue akan buat daftar dari yang paling familiar dulu ya:

Satu. Penulis novel: Orang yang kerjanya nulis novel. Dapetin duitnya… ya dari omzet penjualan novel dan workshop penulisan.

Dua. Cerpenis: Orang yang kerjanya menuls cerpen. Bisa menjadikannya sebagai buku kumpulan cerpen, hasil kiriman ke berbagai media, atau memberikan workshop penulisan.

Tiga. Kolumnis: Orang yang rutin menulis di rubrik/kolom suatu media.

Empat. Penulis puisi: Orang yang kerjanya menulis puisi.

Lima. Jurnalis/reporter: Orang yang membuat berita. Jurnalis ini ada 2 tipe: 1) jurnalis lapangan—orang yang turun ke lapangan untuk mencari berita, melakukan interview, lalu membuat dan menyerahkannya ke tim di kantor, dan 2) jurnalis di dapur percetakan—bisaanya bertugas mencari berbagai sumber berita di kanal-kanal berita luar negeri, lalu membuatnya dalam versi “Indonesia”.

Enam. Penulis cerita komik: Di industri komik, ada 2 pola pengerjaan 1) komikus bekerja sendirian, dan 2) komikus bekerja sebagai tim. Di dalam tim ini, ada yang berperan sebagai leterrer, penggambar komik, pembuat cerita, dan lain-lain. Ranah seorang penulis bisa masuk ke dalam ‘pembuat cerita’ ini. Tugasnya, ya… membuat cerita si komik itu.

Tujuh. Pembuat lirik lagu: Iya, beneran. Kalo kamu pandai merangkai kata dengan bagus dan suka di industri musik, kamu bisa banget jadi pembuat lirik lagu (pencipta lagu).

Delapan. Penulis skenario layar lebar: Kalau kamu tertarik dengan industri film, kamu bisa memilih untuk bekerja sebagai penulis scenario layar lebar. Saat ini, dari riset iseng-iseng gue sih kayaknya masih sedikit orang yang berprofesi sebagai penulis skenario layar lebar (scriptwriter). Jadi, kesempatan kita masih sangat terbuka lebar. Tentu, berbeda dengan menulis cerpen dan novel, ada teknik tertenu dalam menulis skenario yang harus kamu pelajari.

Sembilan. Penulis naskah animasi: Tahu film animasi kan? Nah, sebelum itu dibuat, tentu harus ada naskah supaya tim animasi punya bayangan mau membuat adegan seperti apa. Ranah ini bisa kamu cari kalau suka di bidang animasi.

Sepuluh. Penulis skenario sinetron: Biasanya, pada satu sinetron, ada satu “tim penulis” yang terdiri dari beberapa anggota penulis dan satu “pemimpin”. Mereka saling membagi tugas untuk mengerjakan beberapa episode sekaligus, baru kemudian digabung dan dijahit supaya tidak terkesan sebagai episode yang “terlepas-lepas”. Sistem ini lah yang seringkali ngebuat alur cerita sinetron agak melompat-lompat. Meski begitu, percayalah kalau profesi ini sangat mengutungkan secara material. Tidak jarang penulis disewakan apartemen supaya bisa fokus menuliskan naskah sinetronnya.

Sebelas. Asisten tim penulis skenario: Seperti yang gue sebutkan di atas, dalam dunia sinetron, biasanya ada satu tim penulis yang bertugas. Kalau kamu belum bisa jadi ketua penulisnya, kamu masih punya kesempatan untuk tergabung ke dalam anggotanya.

Dua belas. Penulis skenario video digital/campaign: Di beberapa perusahaan, ada orang khusus yang bertugas membuat naskah ilkan yang sering kamu temui di YouTube atau berseliweran di media sosial. Meskipun banyak juga yang menggabungkan profesi ini dengan copywriter.

Tiga belas. Tim kreatif: Di setiap program televisi, ada tim kreatif yang bertanggung jawab terhadap “jalan cerita” acara itu. Nah, penulis sangat bisa masuk ke ranah ini. Karena dalam penggarapannya, kreatif harus membuat format acara dalam bentuk tulisan.

Empat belas. Social Media Officer: Bertugas memegang akun media sosial sebuah brand. Biasanya dia yang akan mengatur konten-konten seperti apa yang akan tayang. Mau upload foto apa di Instagram, mau ngetwit apa, mau apdet status apa. Dan biasanya, penulis lah yang lebih handal.

Lima belas. Content writer: Penulis konten di berbagai media. Bisa media cetak/majalah, maupun media digital. Profesi ini juga banyak dibutuhkan di dunia advertisement agency, start up, bahkan perusahaan besar juga banyak yang membutuhkan ini. Cakupannya pun sangat luas. Ada yang mencari dalam “genre” tertentu (penulis tekno, penulis akunting) maupun penulisan kreatif yang membahas segala hal.

Enam belas.Copywriter: Penulis naskah iklan. Tugasnya menuliskan “copy” atau tulisan yang berkaitan dengan iklan. Scope-nya sebenarnya cukup luas, dan berbeda-beda tiap perusahaan. Ada yang mengerjakan penulisan headline iklan di majalah, naskah adlibs di radio, tagline, mencari hestek, penulisan di banner iklan digital/billboard, penulisan caption social media, pembuatan jingle lagu suatu brand, penulisan teks di e-flyer, pembuatan naskah video digital, pokoknya konten teks yang ada di divisi marketing suatu perusahaan atau agency.

Tujuh belas. SEO Specialist: Agak sedikit berbeda, SEO Specialist lebih bertugas untuk membuat konten tulisan dan bagaimana tulisan itu ada di halaman pertama pencarian google. Selain itu, bisa juga membuat konten yang mendukung sebuah landing page tertentu supaya mudah terdeteksi mesin pencari google.

Delapan belas. Ghostwriter: Penulis yang membuatkan tulisan untuk orang lain, tanpa mencantumkan namanya. Berbeda dengan anonym, hasil karya ghostwriter akan diakui sebagai karya orang lain. Contoh, gue menulis novel untuk Tere Liye. Nantinya, novel itu akan diakui sebagai tulisan karya Tere Liye. Cakupan ghostwriter bisa berupa novel, atau tulisan digital lain.

Sembilan belas. UX writer: Sebenarnya, cakupan UX writer agak mirip dengan copywriter. Bedanya, seorang UX writer hanya mengedit/membuat tulisan untuk segala hal yang berhubungan dengan tampilan luar sebuah website/aplikasi. Contohnya, tulisan “subscribe” di YouTube. UX writer lah yang memutuskan kalau tombol itu cocok ditulis sebagai “subscribe” dan bukannya follow/ add to list. Iya, beneran ada kerjaan begini.

Dua puluh. Stand up Comedian: Betul, sebenarnya salah satu skill yang harus dimiliki Stand Up Comedian adalah bagaimana menulis yang ringkas, efektif, dan padat. Jadi, kalau kamu suka nulis dan komedi, bisa jadi ini profesi yang cocok buat kamu.

Dua puluh satu.Blogger: Sekarang banyak banget blogger yang bisa hidup “mandiri” karena memfokuskan dirinya dalam dunia blog. Susahnya, blogger yang murni “ngeblog” itu tidak hanya sekadar menulis. Mereka harus punya taste seperti arsitektur agar layout blognya bagus, pemahaman UI/UX designer agar pembaca nyaman dan punya pengalaman membaca yang cihuy, bisa fotografi agar tidak bosan, bisa videografi agar ada videonya, harus mengerti SEO agar tulisannya masuk page one, pokoknya pusing deh. Bentar… ini kenapa curhat ya?

Apalagi ya? Hmm pokoknya gitu deh. Setelah gue baca ulang, ternyata banyak amat ya. Padahal niatnya cuman mau share kerjaan yang sekiranya berhubungan dengan dunia tulis-menulis. Belum lagi pekerjaan turunannya kayak pembuat naskah pidato (iya, beneran ada lho itu), buzzer, dan lain-lain. Semoga, dengan mengetahui jenis pekerjaan ini, jadi agak terbuka kalau apa yang kamu kerjakan sekarang, sebenernya beneran ada gunanya kok. Muahahaha.

Sori kalo kepanjangan. Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya. Ada beberapa hal seru yang gak sabar untuk gue ceritain.

See you on the next post!

Blog VS Youtube

$
0
0

Duh, gue udah gak apdet lagi deh sama dunia perbloggeran ini. Masih ada yang ngeblog gak sih? Kayaknya temen-temen blogger jaman gue udah pada ngilang ya? *salim sama blogger masa kini

Ya, ya, ya, tidak bisa dipungkiri, sekarang memang zamannya visual. Belakangan ini gue juga lebih sering nonton dibanding baca. Gue ngerasa energi gue untuk baca udah terkuras di kerjaan. Alhasil, buat kabur dari sana, gue milih nontonin video yang effort-nya terasa lebih kecil.

Nah, kalo udah ngomongin soal blog begini, pasti ada aja yang nyaut: “Lo gak mau bikin video di YouTube aja?”

Sebelum jawab pertanyaan itu, kita perlu tahu dulu perbedaan keduanya. Memangnya kenapa seseorang harus bikin video di YouTube? Apa bedanya sama nulis di blog? Karena paling tidak, buat gue sendiri, keduanya punya ciri khas masing-masing.

Ngeblog, misalnya. Buat gue, menulis di sini adalah kegiatan yang sangat, sangat personal. Ketika gue memutuskan untuk menekan ikon Microsoft word dan membuat postingan baru, sejatinya gue tidak punya tekanan tentang reaksi orang-orang yang baca. Semua tulisan di sini adalah suara jujur dari dalam hati gue (cailah). Gue cuma merasa butuh kanvas untuk menuangkan perasaan gue. Mungkin perasaan yang sama yang dirasakan pelukis ketika tiba-tiba pengin ngambil kuas dan nyorat-nyoret aja tanpa tahu tujuan akhirnya. Asal jangan ngelukis, ngelukis, ngelukis, tahu-tahu jadi setan. Kayak Ustaz Soleh Pati.

Bagi gue, keintiman dalam menulis merupakan romantisme tersendiri. Kita kayak dua orang yang ngobrol pelan-pelan. Pengalaman seorang pembaca pun pengalaman yang pribadi. Makanya, gak pernah liat kan orang baca novel… satu buku berdua. :p

Dan karena kita lagi ngobrol…
DENGERIN NIH. GUE TERIAK, KAN?!

Sori. Kekencengan ya?

Well, bagi beberapa penulis, kata-kata bisa menjadi keterbatasan tersendiri. Ada hal-hal yang terkadang sulit jika disampaikan dengan kalimat dan tulisan. Misalnya, gue abis makan Samyang dan pengin cerita pengalaman kepedesan. Kalo gue nulis ‘Hmmmhh…. Ahhh…. Mmhhh…. Huaahhh…’ kok kayak ada yang salah. Beda kalau pengalaman itu kita ceritakan dalam format video, misalnya.

Di samping itu, untuk membaca sebuah tulisan, kita memerlukan imajinasi yang cukup tinggi. Bagi sebagian orang, hal ini menguras energi dan bikin capek. Eka Kurniawan bahkan pernah ngomelin pembacanya gara-gara gak ngerti tulisannya tentang “hidung yang copot dari wajah, lalu melata di lantai” karena menurutnya itu terlalu aneh. Padahal, maksud Eka, ya tinggal bayangin aja.Pakai imajinasi Anda. Lalu masuki alam tidur anda… jauh lebih dalam.. jauh lebih dalam daripada sebelumnya…

Sekarang, YouTube.

Buat gue, YouTube adalah tempat yang pas kalau kamu ingin menampilkan karya secara serius. Dibandingkan postingan blog, medium visual seperti YouTube dan Instagram emang lebih cocok. Masalahnya, format video jauh, jauh lebih ribet.

Selain prosesnya yang panjang dan memakan waktu lama (nulis skrip, shooting, editing, upload), ada kemungkinan hal-hal yang kita inginkan di awal menghilang di antara proses tadi. Jerry Seinfeld bahkan bilang di interview-nya kalo salah satu hal tersulit sewaktu dia membuat series Seinfeld adalah memastikan apa yang lucu saat dia tulis, tetap lucu saat dibaca, saat diadegankan, juga saat diedit dan menjadi satu keutuhan video cerita yang panjang.

Jadi, sebenernya kedua medium blog dan Youtube ini memang gak bisa dibandingin gitu aja. Gak bisa dianggap yang satu lebih baik daripada yang lain. Karena… ya emang beda aja.

Lalu, buat pertanyaan: “Lo gak mau bikin video di YouTube aja?”
Jawaban gue adalah sebuah pertanyaan balik,
Tebak, dong? :p

When life gives you lemons?

$
0
0

Gue menatap gelas whisky yang baru diberikan bartender. Menempelkan tangan. Membuat telapak tangan gue basah karena embun di badan gelas. Mungkin saat ini, dari belakang, ada seorang perempuan yang diam-diam mengangkat handphone dan mengambil foto gue. Menguploadnya ke sosial media, dan memberikan caption: sendirian banget, Mas?

Pandangan gue mengarah ke lemon yang mengambang di dalam gelas: terombang-ambing tidak jelas di antara es berbentuk kubus.

Kepala gue masih sakit karena terlalu banyak tidur. Hal paling menyebalkan dari patah hati adalah karena tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membuatnya sembuh kecuali tidur… dan merasakan sakitnya kembali setelah bangun.

Pikiran-pikiran di kepala gue bercabang begitu banyak,
dan semuanya saling mengikat satu sama lain.

Seharusnya, pada saat ini, tangan gue sudah bergerak meraih gelas. Meletakannya ke depan bibir. Mengalirkan cairan itu ke tenggorokan. Merasakan panasnya di dalam.

Atau seharusnya, gue sudah mematikan lampu. Menekan kepala dengan bantal. Menghalau denging yang berisik di telinga.

Tapi sekarang, yang bisa gue lakukan hanya memperhatikan kendaraan yang lewat di depan. Coba menikmati udara malam ini. Meluruskan satu demi satu cabang pikiran di kepala. Mendengarkan setiap bunyi yang ada; langkah kaki orang di belakang, seorang laki-laki dengan telepon genggam di telinganya, klakson mobil avanza itu, suara angin saat mobil itu akhirnya menyalip angkot.

Sekarang, gue nggak bisa pour a whisky on my lemons. Sekarang, di sebelah gue cuma ada sekaleng nescafe original. Sekarang, gue cuma bisa memasukkan cairan cokelat yang terlalu manis itu ke dalam mulut.

Bagaimana dulu gue melewati perasaan seperti ini?

Gue kembali mengingat. Memutar ulang memori yang gue punya. Merasakan sakitnya lagi. Bagi beberapa orang, patah hati bisa menjadi baju baja yang membuatnya lebih kuat dari sebelumnya. Bagi beberapa yang lain, patah hati membuat perasaan kita semakin tipis. Rasanya seperti bawang yang lapisannya terkupas setiap kali patah hati.

Dan setiap kali sembuh,
kita takut mengalaminya kembali.

Kita takut tidak bisa jatuh cinta lagi, lalu patah hati lagi, lalu jatuh cinta lagi. Kita takut tidak bisa memberikan perasaan kepada orang lain karena sebenarnya, jauh di dalam hati, kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Mungkin ini yang menyebabkaan semakin dewasa seseorang, kita semakin malas untuk menemukan cinta yang baru.

Gue sebenarnya gak ngerti sama diri gue sendiri. Terkadang, hal yang begitu kecil bisa terasa sangat, sangat besar dan berarti buat gue. Ngebuat gue kecewa begitu aja. Dan semakin gue pikirkan, kekecewaan itu berubah menjadi lubang hitam dan menyedot gue ke dalamnya.

Gue tidak mengerti kenapa gue seringkali bertarung dengan pikiran-pikiran yang gue punya sendiri. Argumen yang satu menyangkal yang lain. Harapan melawan pengalaman pahit. Memori manis dan kehilangan. Realita dan keinginan. Pertanyaan yang setelah dijawab, menimbulkan pertanyaan-pertanyaan lain.

Mungkin saat ini dunia sedang memberikan gue lemon. Dan karena gue tidak punya whisky, gue hanya akan mengisapnya. Merasakan masamnya dalam-dalam. Perasaan yang sama yang pernah gue alami beberapa tahun lalu. Mungkin semuanya akan lebih mudah jika kita bisa mengontrol pikiran kita seperti menekan tombol settings, lalu clear history.

Tapi nggak, gue harus melewati ini.


Pertanyaan yang Tertinggal

$
0
0

cerita tentang teman yang ingin melupakan mantan


Malam itu gue lagi ngeliatin Abang nasi goreng mengaduk nasi di penggorengan sampai Viona, teman kantor gue, memecah keheningan.

‘Gue keinget dia lagi, Di.’
‘Keinget gimana maksud lo?’

Mata gue mengintip ke arahnya, raut wajahnya pelan-pelan berubah serius. Lalu dia menunduk. Perasaan gue langsung gak enak.

‘Ya keinget dia. Kok bisa ya… baru putus gini tapi dia langsung happy. Sementara gue?’

Terus terang, gue paling gak bisa kasih nasehat soal cinta-cintaan begini. Gue takut salah ngomong, yang ujungnya ngebikin dia marah, atau malah ngais tanah. Gue menggeser kursi plastik merah sedikit ke depan, berusaha menghilangkan suasana canggung yang mulai terbentuk.

‘Keliatannya aja kali,’ akhirnya gue bilang. Setelah berdehem, gue melanjutkan, ‘Lo kan juga gatau sebenernya isi hatinya gimana.’

Diam-diam, pertanyaan itu seperti memantul balik ke gue. Apa ini yang pasangan gue rasakan setelah putus zaman dulu? Gue jadi mengingat kembali hubungan di masa lalu. Tentang apa yang gue lakukan setelah putus. Tentang apa yang gue pikirkan terhadap mantan gue waktu itu. Dan pada kenyataannya, gue tidak mendapatkan jawaban apapun. Ternyata, gue gak pernah mikirin hal-hal kayak gini sebelumnya.

‘Tapi kenapa sih? Kenapa gue begini aja gak bisa.’ Dia mulai meracau sendirian. ‘Padahal kata orang-orang, gue deserve better. Padahal dia yang asshole, tapi kok gue yang sedih...’

Gue diem, memberinya ruang untuk terus bicara.

‘Kenapa sih gue mertahanin hubungan kayak gini aja nggak bisa? Giliran kantor bisa? Kenapa coba, Di?’

Gue pengin menjawab dengan: “Karena kantor ngegaji lo! Pacar gue juga kalo tiap bulan ngasih enam juta gue hepi-hepi aja… paling dibilang jablay.” tapi niat itu gue urungkan. Saat ini, air matanya mulai turun. Dan gue semakin tidak tahu harus merespons apa. Lo tahu, satu hal yang menyebalkan ketika sebelahan sama cewek nangis? Tatapan orang-orang itu, yang seolah bilang, ‘Lo ngapain anak orang, anjing?!’ yang kemudian membuat lo pengin menulis ‘BUKAN GARA-GARA GUE :(’ di karton gede-gede dan nunjukin ke setiap orang yang lewat.

‘Kenapa dia secepet itu ngejauh?’ tanya dia, dengan suara serak. ‘Maksud gue, emang kita gabisa temenan aja? Gue sama temen-temen gue yang SMA aja bisa masih temenan. Gue cuman gamau kehilangan dia, Di.’

Gue menatap matanya dalam-dalam, seolah berkata, ‘Sabar’, lalu melirik ke abang nasi goreng. Tatapan gue kali ini mengatakan: BURUAN DONG, BANG! :(

Pertanyaan Viona lagi-lagi ngebuat gue mikir. Sejauh ini, hubungan gue sama mantan udah biasa aja. Kalo pun misalnya suatu saat ketemu di mal, gak bakalan gue jambak dari belakang sambil jerit, ‘BRENGSEK LO YA! UDAH NYAKITIN HATI GUE!’

Begitu juga perasaan gue. Udah nggak ada apa-apa, sesederhana karena kami emang gak pernah komunikasi, dan udah gak tertarik buat mengulik kisah hidupnya. Karena ketika gue memutuskan untuk menyudahi sebuah hubungan, artinya ya udah. Itu garis akhirnya. Dia melanjutkan hidupnya ke satu arah, gue ke arah lain. Kita sama-sama tahu kalau nantinya, di suatu masa depan, ada orang lain yang menunggu kita.

Abang tukang nasi goreng lalu menghampiri kami. Gue membayar. Viona menghilangkan jejak air matanya dengan tangan. Kami berjalan kembali ke kantor, meninggalkan sebuah pertanyaan: ‘Bagaimana perasaan seseorang, ketika tahu pasangannya masih dekat, dan gamau kehilangan mantannya?’

ternyata manusia itu kompleks ya...

$
0
0
sumber: id.pinterest.com/ctjorhannys


Manusia adalah makhluk yang kompleks. Kalimat ini masuk ke dalam pikiran gue sewaktu makan gudeg di pinggir jalan Malioboro. Gue membuka Spotify, menulis ‘Labirin’ di kolom pencarian, dan memutar lagu itu. Seiring dengan bait demi bait yang mengalun, gue mengembalikan ingatan sebelum perjalanan ini gue mulai.

Ketika itu pertengahan bulan Juli, dan gue kepikiran untuk pergi keluar kota. Seperti halnya orang yang hidup dalam rutinitas, gue ngerasa harus “menyetop” diri. Gue pengin liburan. Berhenti sebentar dari ritme yang udah biasa gue jalanin. Gue lalu ngebayangin hal ini: gue jalan santai di trotoar, memperhatikan kendaraan dan orang asing yang saling mengobrol dengan bahasa setempat. Gile, gue pasti kayak pengelana sejati. Sekaligus gembel sejati.

Kebetulan bulan depannya keluarga gue harus bayar pajak tanah yang ada di Jogja. Gue pun melancarkan aksi.

‘Udah, aku aja yang bayar,’ kata gue ke Bokap. Padahal niatnya pengen jalan-jalan aja.

‘Hmmmmm,’ Bokap berhenti untuk minum teh hangat di meja. ‘Yakin kamu?’

Gue mengangguk mantap.

‘Ya udah.’ Bokap meletakkan gelasnya ke meja. Rencana berhasil. Lalu, karena takut nyasar, gue minta alamatnya ke Bokap. Dia menjawab, ‘Lho, kamu lupa? Itu kan di dekat makam.’

Sebenarnya, gue tahu lokasi tanah itu. Masalahnya, gue gak mungkin mesen gojek lalu nulis di google maps: Deket makam keluarga Bapak saya.

Merasa cara tersebut terlalu kuno, gue minta bokap untuk memberitahu nama jalannya. Paling enggak, gue bisa lebih mudah mendeteksi buat mesen gojek nanti.

‘Bapak gak hapal nama jalannya,’ kata Bokap. Dia lalu membuka google maps di laptopnya. ‘Pokoknya dari makam agak ke barat sedikit, lalu ke utara.’

‘…’

Bokap berhasil menemukan lokasi tanah dengan google maps. ‘Nih, katanya, menunjuk sebuah areal berwarna hijau di antara atap-atap rumah.’

Karena gue berangkat masih bulan depan, nginget hal-hal kayak gini terlalu beresiko. Gue kembali bilang, ‘Kasih tahu nama jalannya aja, Pak. Kirim ke watsap aku. Nanti aku buka di hape.’

Bokap menatap mata gue dalam-dalam. ‘Makanya, ini kamu perhatiin…’

‘Tapi, Pak…’

‘Ya udah. Gini deh,’ kata Bokap, akhirnya luluh juga. ‘Google maps-nya di-print.’

‘…’

Dan di sini lah gue sekarang. Di dalam warung gudeg, di samping patung singa warna perak, melongo sendirian. Merasa asing dengan orang-orang di sekitar, entah kenapa ini nggak kayak yang gue bayangin di awal. Gue ngerasa pengen… pulang.

Mungkin ini ya yang membedakan cerita di film dan kehidupan nyata. Di film-film, motivasi karakter utama yang ngebuat dia bergerak, alur berjalan, konflik bermunculan. Kalo misalnya yang terjadi sama gue ditulis ke naskah Avenger, pasti gak seru.

Hulk: Tony, bantu aku! Thanos akan datang ke bumi!
Tony: Siap!

*Tony ke kamar mandi*

Tony: Bruce, gak jadi deh… mager gue.

*Hulk kena radang otak*

Ya, oke. Gue tahu, mungkin ini agak mustahil karena kalo dia tetep mager, thanos bakal ngebunuh. Maka coba kita ganti jadi:

Hulkk: Tony, bantu aku! Ayo kita bayar pajak!
Tony: Mager aing, Kang.
(Ini toni abang jual cendol apa begimana?)

Well, intinya, di cerita-cerita fiksi, karakter utama selalu punya “landasan” yang kuat untuk melakukan aksi. Alasan itu yang menggerakkannya. Apa yang dia pilih selalu didasarkan oleh masa lalu, dan hal-hal yang sedang menimpanya sekarang. Makanya, ada yang bilang kalau dunia fiksi lebih nyata dari dunia nyata.

Gue menatap sisa tulang ayam di piring. Memanggil mbaknya untuk membayar.

Ternyata, manusia itu kompleks ya...
...atau gue aja emang yang mager.
Viewing all 206 articles
Browse latest View live