*SPOILER*
Setelah beres nulis dan baca ulang, gue baru sadar kalau tulisan ini banyak bahas soal agama. Masalahnya, gue merasa kalau agama adalah salah satu topik yang sensitif untuk dibahas. Jadi sebelumnya gue harap tidak ada di antara temen-temen yang salah tangkap dan tersinggung dengan tulisan ini. :)
--
Sejak kecil, entah kenapa, saya merasa hari jumat adalah hari yang spesial. Saya ingat di kelas enam SD, selepas jam 11 siang, satu kelas cowok selalu lomba membereskan kelas. Menaikkan kursi ke atas meja. Merentangkan gulungan karpet hijau sepanjang koridor. Saat itu, salat jumat sekolah kami dilakukan di koridor kelas enam. Jumat adalah satu-satunya hari dalam seminggu yang membuat saya punya rasa kebersamaan.
Memasuki SMP, pikiran saya akan hari jumat bergeser. Saya baru sadar bahwa di hari itu… kami pulang cepat. Salat jumat menjadi “jam pelajaran” terakhir kami. Tentu saja saat itu saya mulai bandel, tidak mendengarkan ceramah, dan memilih untuk dulu-duluan mencari tiang untuk senderan.
Jumat adalah hari favorit saya.
Sayangnya, belakangan ini saya merasa hari jumat bukanlah sesuatu yang saya senangi. Saya merasa, hari jumat, akhir-akhir ini menjadi kian panas. Segala carut marut politik ini merusak kesukaan saya terhadap hari jumat. Maka tadi siang, saya berjalan ke masjid dengan langkah lemas. Langit sangat gelap, dan saya mencari tempat kosong di pelataran masjid.
Saya duduk dengan malas. Sambil memejamkan mata, saya berharap ceramah hari ini lebih baik dari belakangan. Begitu menyebalkan mendengar orang yang teriak di atas mimbar, menyuruh kita melakukan sesuatu. Sementara kita hanya bisa diam, duduk, mungkin menguap, sambil mengumpat di dalam hati, “Kenapa sih gaya berteriak orang-orang ini selalu sama? Intonasinya? Penekanan kata-katanya? Kheitha… Sebhagay umat moshlem! Blablabla…”
Bukankah seharusnya orang itu tahu bahwa kami, makmumnya, yang hadir di hari jumat ini kebanyakan orang dewasa? Ada yang penuh masalah karena pekerjaannya sedang kusut. Mungkin ada yang baru putus cinta. Mungkin ada yang lagi bingung menentukan jurusan pilihan kuliahnya. Dan bukannya seharusnya orang itu tahu bahwa kami membutuhkan pencerahan, bukan teriakan atau perintah.
Atau mungkin orang itu selama ini merasa baik-baik saja karena tidak ada yang memberi masukan? Kita semua tahu bahwa khotbah jumat adalah ceramah yang berlangsung satu arah. Jadi apapun yang dia katakan, kami tidak punya kuasa untuk membantah. Well, selain karena aneh kalau jadinya dua arah: begitu dia bilang, ‘Apa jadinya jika kita terus berbuat dosa?!’ lalu ada seorang makmum mengacungkan tangan dan berseru, ‘Masuk neraka, Pak!’ lalu disambar lagi, ‘YAK! DUA JUTA RUPIAH UNTUK ANDA!!’
Tapi sejujurnya, saya masih merasa kalau orang-orang yang naik mimbar ini seharusnya dievaluasi. Tentu cukup dengan berdiskusi bersama teman-temannya, bukan dengan penjurian seperti Indonesian Idol. “Kamu tadi bagus pas ceramah, tapi coba beranikan untuk tatap mata makmum.” Atau “SAMPAI BERTEMU DI JAKARTA! MANTAP! John Mayer-nya Indonesia ini…”
Kalau saya di suatu hari punya kesempatan untuk menjadi khatib, mungkin saya akan mencari tahu, apakah dengan memilki mimbar dan mikropon, saya merasa berkuasa atas orang-orang yang mendengarkan? Apakah dengan memiliki kedua benda itu, saya jadi boleh berbicara seenaknya? Caranya semudah mendengarkan isi hati. Tidak perlu menunjuk salah seorang lalu berkata, “Ciyeee botak, pasti jago nyundul nih… Eits, nggak boleh ngomong.. Dosa lho.. Dosa.. Hihihi..” Khotbah malah kayak Kuis Dangdut. Hence, jika tatapan mata ingin membunuh, tangan yang hendak melempar saya pakai sendal, dan punggung yang menyender karena capek dan ngantuk itu membuat saya merasa lebih hebat. Mungkin ada saraf di kepala saya yang putus.
Suara mikropon menyadarkan lamunan saya.
Perasaan saya masih sama. Berpikir bahwa orang ini akan menggunakan intonasi yang itu-itu lagi. Berceramah dengan berteriak lagi. Melakukan perintah menggebu-gebu lagi.
Tapi saya salah.
Sebelum memulai khotbahnya, orang ini menyuruh merapatkan barisan. Mengisi saf yang kosong supaya orang yang berada di luar bisa masuk. Supaya tidak ada satupun di antara kami yang kehujanan ketika salat nanti.
Dan supaya, kami bisa mendengar suaranya yang lembut.
Ia membuka khotbahnya dengan sebuah pertanyaan sederhana: jika banyak dari kita yang tahu bahwa memakan babi dan anjing adalah perbuatan dosa, lalu bagaimana dengan memakan bangkai manusia sendiri?
Dia diam sebentar, suasana menjadi tenang. Tanpa menunggu adegan jawab, ‘Dosa, Pak!’ dan ‘DUA JUTA RUPIAH UNTUK ANDA!’ benar-benar terjadi, dia melanjutkan. Kali ini lebih pelan, ‘Kalau tahu jawabannya, kenapa masih banyak dari kita yang melakukannya?’
Saya masih memejamkan mata saat dia bertanya mengenai kita yang masih senang berburuk sangka. Soal kita yang senang membicarakan keburukan orang lain, daripada menyebarkan kebaikannya. Soal kita yang suka mencaci orang lain.
‘Kenapa?’ dia berbisik pelan. ‘Kenapa kita merasa sok suci dibandingkan orang lain?’
Saya membuka mata. Dan si orang ini, masih dengan intonasi halus, mengatakan bahwa dia, secara pribadi, bertanya apakah dengan menjadi ulama, atau kyai, atau ustaz, kemudian boleh merasa suci? Kenapa kita merasa, dengan memiliki pangkat itu, boleh menyebarkan aib orang lain. Kenapa kita, yang merasa lebih tinggi derajatnya, boleh memfitnah orang lain. Kenapa kita, bisa merasa lebih tinggi dari yang lain?
Suasana tiba-tiba sunyi.
Beberapa detik kemudian, saya menangis.
Saya bukan ustaz, atau ulama, atau orang religius, tapi entah kenapa dada saya sesak. Pandangan saya mulai kabur terhalang air mata. Aneh rasanya mendengar pertanyaan itu. Satu pertanyaan sederhana, yang, seketika membuat saya merasa jahat. Aneh rasanya lamunan saya beberapa menit yang lalu, diucapkan seseorang langsung di atas mimbar. Aneh rasanya buat saya, yang menduga hari ini akan mendapat ceramah berupa teriakan seperti biasanya, justru disodorkan pertanyaan seperti ini.
Kenapa kita begitu jahat?
Gerimis mulai turun perlahan-lahan. Saya, tanpa perlu melihat wajah orang-orang lain, sadar bahwa saya bukan satu-satunya orang yang menangis.
Sepertinya, mulai hari ini
Jumat kembali jadi hari favorit saya.