Quantcast
Channel: Kresnoadi, beserta rambutnya yang tidak kribo.
Viewing all 206 articles
Browse latest View live

Kembali Jadi Favorit

$
0
0
*SPOILER*

Setelah beres nulis dan baca ulang, gue baru sadar kalau tulisan ini banyak bahas soal agama. Masalahnya, gue merasa kalau agama adalah salah satu topik yang sensitif untuk dibahas. Jadi sebelumnya gue harap tidak ada di antara temen-temen yang salah tangkap dan tersinggung dengan tulisan ini. :)

--
Sejak kecil, entah kenapa, saya merasa hari jumat adalah hari yang spesial. Saya ingat di kelas enam SD, selepas jam 11 siang, satu kelas cowok selalu lomba membereskan kelas. Menaikkan kursi ke atas meja. Merentangkan gulungan karpet hijau sepanjang koridor. Saat itu, salat jumat sekolah kami dilakukan di koridor kelas enam. Jumat adalah satu-satunya hari dalam seminggu yang membuat saya punya rasa kebersamaan.

Memasuki SMP, pikiran saya akan hari jumat bergeser. Saya baru sadar bahwa di hari itu… kami pulang cepat. Salat jumat menjadi “jam pelajaran” terakhir kami. Tentu saja saat itu saya mulai bandel, tidak mendengarkan ceramah, dan memilih untuk dulu-duluan mencari tiang untuk senderan.

Jumat adalah hari favorit saya.

Sayangnya, belakangan ini saya merasa hari jumat bukanlah sesuatu yang saya senangi. Saya merasa, hari jumat, akhir-akhir ini menjadi kian panas. Segala carut marut politik ini merusak kesukaan saya terhadap hari jumat. Maka tadi siang, saya berjalan ke masjid dengan langkah lemas. Langit sangat gelap, dan saya mencari tempat kosong di pelataran masjid.

Saya duduk dengan malas. Sambil memejamkan mata, saya berharap ceramah hari ini lebih baik dari belakangan. Begitu menyebalkan mendengar orang yang teriak di atas mimbar, menyuruh kita melakukan sesuatu. Sementara kita hanya bisa diam, duduk, mungkin menguap, sambil mengumpat di dalam hati, “Kenapa sih gaya berteriak orang-orang ini selalu sama? Intonasinya? Penekanan kata-katanya? Kheitha… Sebhagay umat moshlem! Blablabla…”

Bukankah seharusnya orang itu tahu bahwa kami, makmumnya, yang hadir di hari jumat ini kebanyakan orang dewasa? Ada yang penuh masalah karena pekerjaannya sedang kusut. Mungkin ada yang baru putus cinta. Mungkin ada yang lagi bingung menentukan jurusan pilihan kuliahnya. Dan bukannya seharusnya orang itu tahu bahwa kami membutuhkan pencerahan, bukan teriakan atau perintah.

Atau mungkin orang itu selama ini merasa baik-baik saja karena tidak ada yang memberi masukan? Kita semua tahu bahwa khotbah jumat adalah ceramah yang berlangsung satu arah. Jadi apapun yang dia katakan, kami tidak punya kuasa untuk membantah. Well, selain karena aneh kalau jadinya dua arah: begitu dia bilang, ‘Apa jadinya jika kita terus berbuat dosa?!’ lalu ada seorang makmum mengacungkan tangan dan berseru, ‘Masuk neraka, Pak!’ lalu disambar lagi, ‘YAK! DUA JUTA RUPIAH UNTUK ANDA!!’

Tapi sejujurnya, saya masih merasa kalau orang-orang yang naik mimbar ini seharusnya dievaluasi. Tentu cukup dengan berdiskusi bersama teman-temannya, bukan dengan penjurian seperti Indonesian Idol. “Kamu tadi bagus pas ceramah, tapi coba beranikan untuk tatap mata makmum.” Atau “SAMPAI BERTEMU DI JAKARTA! MANTAP! John Mayer-nya Indonesia ini…”

Kalau saya di suatu hari punya kesempatan untuk menjadi khatib, mungkin saya akan mencari tahu, apakah dengan memilki mimbar dan mikropon, saya merasa berkuasa atas orang-orang yang mendengarkan? Apakah dengan memiliki kedua benda itu, saya jadi boleh berbicara seenaknya? Caranya semudah mendengarkan isi hati. Tidak perlu menunjuk salah seorang lalu berkata, “Ciyeee botak, pasti jago nyundul nih… Eits, nggak boleh ngomong.. Dosa lho.. Dosa.. Hihihi..” Khotbah malah kayak Kuis Dangdut. Hence, jika tatapan mata ingin membunuh, tangan yang hendak melempar saya pakai sendal, dan punggung yang menyender karena capek dan ngantuk itu membuat saya merasa lebih hebat. Mungkin ada saraf di kepala saya yang putus.

Suara mikropon menyadarkan lamunan saya.

Perasaan saya masih sama. Berpikir bahwa orang ini akan menggunakan intonasi yang itu-itu lagi. Berceramah dengan berteriak lagi. Melakukan perintah menggebu-gebu lagi.

Tapi saya salah.

Sebelum memulai khotbahnya, orang ini menyuruh merapatkan barisan. Mengisi saf yang kosong supaya orang yang berada di luar bisa masuk. Supaya tidak ada satupun di antara kami yang kehujanan ketika salat nanti.

Dan supaya, kami bisa mendengar suaranya yang lembut.

Ia membuka khotbahnya dengan sebuah pertanyaan sederhana: jika banyak dari kita yang tahu bahwa memakan babi dan anjing adalah perbuatan dosa, lalu bagaimana dengan memakan bangkai manusia sendiri?

Dia diam sebentar, suasana menjadi tenang. Tanpa menunggu adegan jawab, ‘Dosa, Pak!’ dan ‘DUA JUTA RUPIAH UNTUK ANDA!’ benar-benar terjadi, dia melanjutkan. Kali ini lebih pelan, ‘Kalau tahu jawabannya, kenapa masih banyak dari kita yang melakukannya?’

Saya masih memejamkan mata saat dia bertanya mengenai kita yang masih senang berburuk sangka. Soal kita yang senang membicarakan keburukan orang lain, daripada menyebarkan kebaikannya. Soal kita yang suka mencaci orang lain.

‘Kenapa?’ dia berbisik pelan. ‘Kenapa kita merasa sok suci dibandingkan orang lain?’

Saya membuka mata. Dan si orang ini, masih dengan intonasi halus, mengatakan bahwa dia, secara pribadi, bertanya apakah dengan menjadi ulama, atau kyai, atau ustaz, kemudian boleh merasa suci? Kenapa kita merasa, dengan memiliki pangkat itu, boleh menyebarkan aib orang lain. Kenapa kita, yang merasa lebih tinggi derajatnya, boleh memfitnah orang lain. Kenapa kita, bisa merasa lebih tinggi dari yang lain?

Suasana tiba-tiba sunyi.
Beberapa detik kemudian, saya menangis.

Saya bukan ustaz, atau ulama, atau orang religius, tapi entah kenapa dada saya sesak. Pandangan saya mulai kabur terhalang air mata. Aneh rasanya mendengar pertanyaan itu. Satu pertanyaan sederhana, yang, seketika membuat saya merasa jahat. Aneh rasanya lamunan saya beberapa menit yang lalu, diucapkan seseorang langsung di atas mimbar. Aneh rasanya buat saya, yang menduga hari ini akan mendapat ceramah berupa teriakan seperti biasanya, justru disodorkan pertanyaan seperti ini.

Kenapa kita begitu jahat?

Gerimis mulai turun perlahan-lahan. Saya, tanpa perlu melihat wajah orang-orang lain, sadar bahwa saya bukan satu-satunya orang yang menangis.

Sepertinya, mulai hari ini
Jumat kembali jadi hari favorit saya.

TULISAN BAKAL HILANG DARI PEREDARAN DUNIA?! BACA PARAGRAF 12 BIAR TAHU!

$
0
0
Hari ini hidup gue lebih banyak dihabiskan dalam posisi horizontal ketimbang vertikal. Enak banget rasanya libur di tengah minggu begini (yeah, that’s the plus of Pilkada: libur), mana cuaca hujan melulu. Rasanya hari ini jadi hari “balas dendam” dari aktivitas seminggu kemarin. Mana tadi malem gue keujanan sampe lepek sekancut-kancut, saking capeknya pas tidur malah masih bawa anduk. Jadi aja deh hari ini bawaannya pengin tiduran terus.

Yang tidak gue sadari, kebanyakan tidur sepertinya membawa dampak lain. Begitu bangun, nyokap udah bangga nunjukin kelingkingnya yang ada tinta. Dia bilang, ‘Buruan ke taman! Itu udah ditungguin lho buat nyoblos..’ Masih berusaha ngumpulin nyawa, gue ke kamar mandi, gosok gigi, lalu bergegas ke taman. Dan sesampainya di sana… SIKAT GIGINYA GUE BAWA! Freak abis. Untung aja gak abis boker. Bisa-bisa gue ke TPS bawa kloset.

Berbeda dengan cerita kebanyakan temen, proses milih di tempat gue berjalan santai-santai aja (apa karena guenya yang kesiangan dan bukan di Jakarta ya?). Gue tinggal dateng, ngasih kartu, nyoblos, terus beres deh. Gue denger-denger di tempat lain ada yang ngantri cukup lama. Begitu beres, ada yang ngitung suaranya pake diulang berkali-kali. Ribet.

Anehnya, setelah gue perhatiin, Pilkada adalah satu-satunya hari di mana kita seneng ada bagian di badan kita yang kotor. Gue rasa di hari lain gak mungkin ada orang yang badannya kotor tapi mukanya girang. Zaman gue SD aja pipi dielap pake penghapus papan tulis rasanya pengin ngamuk-ngamuk.

Tujuan orang yang dateng ke TPS juga jadi beda-beda. Ada yang beneran niat buat nyoblos. Ada juga yang seneng karena pengin nyelupin jari ke tinta. Nurul, temen kompleks gue, selalu menunggu momen Pilkada untuk nyelupin LIMA JARINYA KE TINTA. Gue gatau apa motivasinya, tapi dari ekspresi wajahnya jelas menunjukkan kebahagiaan. ‘Foto dong, Di! Liat nih jari gue lima-limanya kena tinta!’ Dia gaya dengan pose dadah. Bangga banget. Begitu sampe rumah nyesel, ‘Anjing! Susah nyucinya!’

Di momen ini juga banyak tempat makanan atau main yang bikin diskon asal udah nyoblos. Katanya, asal kita nunjukin jari yang udah kena tinta, bisa langsung diskon gede. Salah satunya ini:

TIKET PROMO DUFAN


Tujuannya mungkin supaya si pelanggan punya rasa kepedulian terhadap lingkungan dan pemimpinnya. Dia gatau aja, di tukang fotokopian banyak yang jual tinta. Seharusnya momen ini dapat dimanfaatkan untuk membuat profesi baru: joki tinta. Gue tinggal bawa botol tinta ke depan gerbang Dufan, nawarin orang-orang buat nyelupin jarinya ke tinta, lalu gue suruh bayar 50 ribu. Ini jelas bakal bikin gue tajir… dan tewas digebukan satpam Dufan.

Begitu pulang nyoblos, gue lanjut makan, kemudian tidur seharian.

Sampai barusan, gue buka laptop, terus niat mau ngeblog lagi.

Dan nggak tahu mau nulis apa.

Sad but true, di tengah gencarnya era video masuk ke internet ini, gue jadi agak susah dapet feel enak untuk nulis dan baca lagi. Entah kenapa, gue merasa kecenderungan orang untuk ‘betah’ di satu tulisan lebih cepat hilang dibanding video. Baru liat tulisan panjang dikit aja rasanya udah keburu males duluan. Makanya beberapa postingan di blog ini kemaren sengaja nggak pake header. Biar membiasakan diri ngeliat tulisan panjang. Hehehe.

Masih nyambung soal nulis dan teknologi, gue jadi keinget sama cerpennya Ted Chiang yang lagi gue baca. Di cerpennya yang The Truth of Fact, The Truth of Feelings, semua orang terbantu oleh Artificial Intelligence yang bernama Remem, yang bikin kita bisa ngerekam dan ngeliat video setiap saat. Kalo lagi berantem sama pacar gara-gara lupa jemput, misalnya. Kita tinggal pake si Remem untuk ngeliat kejadian di masa lalu. Apa benar si pacar janji ngejemput atau enggak. Akibatnya, di masa itu orang tidak tahu kalau di dunia ini ada sesuatu yang bernama tulisan. Karena terbiasa hidup dengan audiovisual, tulisan jadi hilang. Orang cuman bisa nonton, denger, tapi gak tahu tulisannya kayak gimana. Si Ted menggambarkan tulisan sebagai ‘tanda yang digunakan di atas kertas untuk berkomunikasi’.

Cerpen ini gila banget sih. Dan sangat bisa benaran terjadi di masa depan. Sekarang aja gue udah jarang banget nulis pake tangan. Kalo dulu tulisan gue bisa dikategorikan sebagai tulisan ceker ayam. Gara-gara gak pernah nulis, mungkin sekarang levelnya udah meningkat jadi tulisan ceker ayam yang baru diamputasi.

Kalo ini beneran kejadian, pasti bakal gak seru. Tukang fotokopian pada bangkrut. Kalo bosen pas pelajaran gak bisa nyoret-nyoret meja pake tipe-ex (iya gue tahu contohnya gembel semua). Tapi kan gak asik aja. Kalo sekarang mungkin kita ngelihat ada arkeolog ngubek-ngubek tanah terus ketemu fosil dinosaurus. Keren gitu. Di zaman itu bisa aja kita menemukan seseorang yang nemuin kertas di masa lampau. Dia ngadain konferensi pers, ‘Kami baru saja menemukan bukti sejarah! Sebuah tanda adanya komunikasi cetak dari 200 tahun yang lalu! Setelah kami selidiki, tanda ini berarti… Yanto Was Here!’  Suasana hening sebentar, lalu dia ngelanjutin, ‘Who the fuck is Yanto?’

Yah, semoga aja gak bener-bener kejadian begitu.

Situasi ini juga mau tidak mau ngebuat para penulis membuat judul berita yang clickbait. Yang heboh dan menggegerkan cuman biar mancing pembaca buat mau nge-klik postingan itu. Gue sendiri gatau hal kayak gitu efektif atau malah bikin sebel karena isi tulisannya nggak sesuai ekspektasi.

Sebagai pembuktian, coba kamu yang jawab deh.

Oke Oce

$
0
0
Gue pertama kali nonton serial drama korea Descendent of The Sun tahun lalu. Temen gue nawarin dengan antusias, ‘Lo coba nonton ini! Beda banget!’ Dia nunjukin file-file di laptopnya. Temen gue itu awalnya selalu ngebanggain pemeran cowoknya yang kelewat ganteng. Begitu ngeliat perubahan wajah gue, dia cepet-cepet bilang, ‘Ceritanya juga nggak menye-menye kok! Cobain deh!’ Terus terang, gue agak males. Ngapain coba gue nontonin diri sendiri? (ya, bakar aja gue gakpapa).

Sejujurnya, gue emang suka nonton film dengan genre romantic comedy. Tapi kalau yang terlalu drama kayak serial korea gini? Bukannya kenapa, gue takut nangis aja.

Pada akhirnya, gue tetep nyoba nonton. Buat yang belum tahu, Descendent Of The Sun adalah drama korea yang menceritakan tentang kehidupan seorang tentara yang naksir sama salah satu dokter. Dan, emang dasarnya gampang kepengaruh, gue ngerasa kalo tentara itu keren banget. Selama ini di bayangan gue tentara itu pasti serem, kaku, suka joget India. Ini yang gue tangkap setelah nonton videonya Norman Kamaru.

Lewat serial Descendent Of The Sun, gue mendapatkan fakta yang berbeda. Tentara juga bisa gaul, tampan, dan memesona. Wajahnya si pemeran utama pas lecet-lecet dan kena debu sewaktu perang mengingatkan gue akan tampang diri sendiri saat i-woke-up-like-this.

Tentara, di sisi lain, bikin gue iri banget. Dia adalah sosok yang jelas bisa ngelindungin cewek kalau ada apa-apa. Jago berantem, tembak-tembakan, tegas. Ada satu adegan di mana Kang Mo Yeon, pacar si tentara, digangguin preman. Lalu si tentara dengan sigap langsung ngajak duel. Buat gue ini kayaknya nggak mungkin terjadi. Gue nggak suka kekerasan. Jadi, kalau ada orang yang gangguin cewek gue, paling orangnya gue samperin dan tanya, ‘SIAPA LO?!’ Lalu gue ngeluarin hape dan bilang lagi, ‘Mampus! Twitter lo udah gue report as spam!’

Gara-gara film ini, gue jadi bernostalgia tentang game tembak-tembakan yang sempat populer pada saat gue SMP.
Akhirnya, gue kembali install Counter Strike.

Karena gak mungkin gue nembakin kakek-kakek lewat pake senapan angin, keinginan gue untuk ‘perang’ gue salurkan lewat game Counter Strike. Sebuah permainan first person shooter, tembak-tembakan antara dua kubu: Counter Teroris dan Teroris.

Dari masa SMP, entah kenapa gue selalu nggak pernah suka main game ini menggunakan Teroris. Gue selalu memilih jadi Counter Teroris, kubu yang baik, berandai-andai meringkus para teroris yang bikin rusuh warga. Ganti-ganti pistol, loncat kanan-kiri dengan sigap. Padahal jalannya paling belakang. Ngumpet di antara gerombolan Counter Teroris lain.

Hal paling menyenangkan dari permainan ini tentu kalo bisa ngebacok musuhnya pake piso dari belakang. Saat kita mengendap-endap, nyengir sendiri gara-gara musuhnya nggak sadar, lalu bacok kepalanya sampai bocor. Entah kenapa paragraf ini membuat gue terlihat sangat psikopat..

Ini terus berlanjut sampai gue dan dia bermain tembak-tembakan di Timezone. ‘Kita gede-gedean skor!’ tantang gue. ‘Prediksi aku paling kamu lima menit udah mati!’

Beres main, skor dia lebih gede daripada gue. Sedih.

‘Aku menang! Hahaha cupu dasar!’
‘Iya, aku juga sayang kamu,’ balas gue, ngayal dalam hati.

Ini terus berlanjut sampai dia di sebelah kanan gue, duduk memandangi John Wick di layar depan. Gue diam, tangan memangku dagu, berusaha menonton dengan khusyuk. Berpikir tentang dinginnya AC di dalam studio, atau emang gue yang terlalu grogi aja. Lucunya, film yang kami tonton adalah sekuel dan tidak ada di antara kami yang udah nonton seri pertamanya.

‘Ih apa-apaan tuh? Kok bunuh diri? Makan gaji buta nih si John Wick,’ komentar dia.

‘Tahu tuh!’ balas gue, yang, tentu saja dilanjutkan dengan ngayal dalam hati, ‘Aku juga cinta buta sama kamu.’

Ini terus berlanjut sampai si John Wick berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Nabrak-nabrakin mobil sembarangan. Nembakin satu peluru ke satu orang. Kadang yang udah mati tetep ditembak juga. John Wick ini sadisnya kayak gue pas lagi main Counter Strike. Bedanya, si John Wick bajunya kayak orang kondangan.

Sampai kemudian, gue juga mau jadi kayak John Wick. Gue juga mau jadi karakter yang gue mainin di dalam Counter Strike. Gue juga mau, jadi tentara yang ada di serial Descendent Of The Sun. Tapi gue tidak punya senapan. Yang gue punya cuman jantung yang harus beatbox di depan rumah dia. Yang gue punya cuma tarikan napas panjang, dan mulut yang terbuka pelan-pelan.

‘Jadian yuk?’

Dia diam sebentar, ngelihat gue, lalu nanya, ‘Kalo iya jawab apa?’

Antiklimaks.

Gue bengong ngeliat dia. Pandangan gue seakan bilang iya-aja-kenapa-kampret-dah-pake-nanya-nanya.Gue akhirnya jawab ragu-ragu, ‘O-oke?’ Dan, seperti dirasuki arwah Sandi Uno, gue nambahin, ‘Oce? Oke Oce?’

Plis jangan tanya gue kenapa..

‘Kalo enggak?’

Gue seketika memalingkan muka. Tidak berani menatap wajahnya. Sampai kemudian, gue mendapatkan ide. ‘Kalo gak mau, kamu harus salto dari sini sampe ujung gang sana!’ Taktik gue jenius sekali memang.

Dia diam sebentar, lalu akhirnya menjawab,
‘Iya. Aku oke oce.'

Video Flourish Tengah Malem

$
0
0
Udah lama juga gue nggak bikin video flourish. Kayaknya terakhir bikin dua tahun lalu deh. Kalo ada di antara temen-temen yang belum tahu apa itu card flourish, sederhananya card flourish adalah ngocok kartu tapi banyak gaya. Muahaha. For the details, cek postingan jadul gue ini: tentang card flourish. Nah, berhubung beberapa waktu lalu sempet ga bisa tidur, akhirnya malah iseng ngerekam dan baru selesai diedit. Videonya sendiri gue rekam pukul setengah tiga pagi, jadi maap kalo rada gak jelas ya. :p



Enjoy! \(w)/

Yogyakarta Story - Fakuy

$
0
0
Sebelumnya:
Yogyakarta Story – Prolog
Yogyakarta Story – Nyasar di Taman Sari

Perjalanan random di Taman Sari justru membawa gue pada pertanyaan lain: Apakah itu cinta ketika kita memiliki lebih dari satu orang? Seperti raja zaman dulu yang punya banyak selir. Emangnya apa sih yang dicari? Bukannya itu seperti memilih potongan hal-hal yang kita suka dari orang tersebut? Seperti dalam manga Ai Koraa di mana si karakter utama bisa naksir sama orang-orang yang berbeda karena menyukai salah satu fisik dari mereka. Suka kakinya Luna Maya, deketin Luna Maya. Suka hidung Ariel Tatum, deketin Ariel Tatum. Suka perhatiannya Anya, deketin Tukijo (Tukijo ini bokapnya Anya).

Gue belum menemukan jawabannya sampai pukul delapan malam, Febri udah keburu menjemput gue.

Gue agak kaget saat pertama kali ketemu Febri. Badannya gede dan tinggi. Tipikal anak teknik yang suka ngospekin adik kelas. Tahu kan, kakak kelas yang suka bilang ke adek kelasnya yang cewek, ‘Push up kamu! Atau kalau enggak… kakak minta nomor telepon kamu aja deh.’ Serem-serem tapi modus. Sialan memang. Satu hal yang bikin gue kaget adalah, rambutnya Febri pendek. Padahal gue udah ngebayangin kalo Febri begini:

febri dwi cahya
Tatap mata saya. Sudah? Ciyeee ngeliatiiin...

‘Kamu mau ke mana, Bang?’ Febri ngasih helm sambil nyengir-nyengir.

Gue baru ingat kalo orang jawa ngomongnya pake aku-kamu. Untungnya ada kata ‘Bang’ yang menyelamatkan gue. Kalo itu dihilangin pasti kesannya kayak lagi pedekate. Apalagi kalo gue jawab: ‘Terserah kamu aja. Aku ikut selama nggak kena tilang polantas. Hihihi.’

Gue make helm. ‘Bebas deh, Feb. Gak punya tujuan gue ke sini.’

‘Serius, Bang? Fakuuuuy!’ Febri mendadak ngacungin jempol, heboh sendiri.

Gue mengangguk jujur. ‘Emang pengin refreshing aja gue. Lagi bingung.’

Febri mulai menjalankan motornya, dan kembali bilang: ‘Refreshing? FAKUUUY!’ Kali ini dengan lebih heboh. Kayak orang baru pertama kali liat eskalator. Selama perjalanan dan mengobrol, Febri sering mengulang ‘FAKUY!’ ini sambil kegirangan. Setelah gue pikir-pikir, Febri ini anaknya gampang terpesona. Kalo Febri ke Jakarta lalu ketemu gelandangan yang bilang, ‘Tolong saya, Nak. Saya tidak punya tujuan hidup...’ mungkin dia juga bakal seneng, ‘Serius kamu gak punya tujuan hidup? FAKUUY! KEREN ABEEES!!’

Febri akhirnya menantang gue untuk memakan sesuatu yang bernama: oseng mercon. Setelah tahu gue gak suka pedes, dia makin semangat ngomporin gue untuk makan makanan itu. Kamu harus banget cobain itu, Bang, katanya. Dia meyakinkan gue seakan-akan semua orang yang ada di Jogja makan itu. ‘Kamu belum ke Jogja kalo belum nyobain itu!’ seru dia berapi-api. Gue ngeliat di pinggir jalan ada orang lagi nyapu. Paling dia belum makan oseng mercon.

Gue yang sama sekali tidak tahu apa itu oseng mercon jelas bisa mencium aroma kelaknatan. Ini nama makanan tapi kok nggak ada jenis makanannya. Dari namanya sih jelas kalau ini makanan pedas. Nggak mungkin kan beneran mercon dioseng-oseng pake kangkung. Tapi apa? Sayap ayam? Daging sapi? Kecebong?

‘Umm… Boleh deh!’ sahut gue, mempertaruhkan hidup dan usus dua belas jari ini ke Febri.

Tempat oseng mercon ini lucu. Berada di pinggir jalan kayak tenda ayam penyet, tetapi dinikmati sambil lesehan. Febri udah cengar-cengir nahan ketawa. Entah niat busuk apa yang dia siapkan untuk gue di sini. Buat jaga-jaga, gue ngencengin ikat pinggang.

Tidak lama setelah Febri mesan, si Abang dateng membawa dua mangkuk kobokan dan piring kosong berwarna hijau. ‘Nasinya ambil sendiri ya.’ Si Mas-mas menunjuk bakul nasi yang lagi diambil orang sebelah.

Lah terus makanannya mana? Gue udah nyiapin mental, eh ternyata cuman dikasih kobokan sama piring kosong. Febri malah ketawa-tawa ngelihat gue yang kebingunan. Kayak senior di kampus yang sukses ngerjain adik kelasnya dan bilang, ‘Tuhkan. Mending kamu kash nomor telepon aja biar nggak push up. Hehehehe.’ Brengsek memang Febri ini.

Si Febri ngangkat mangkuk kobokan. ‘Ini bukan kobokan, Bang. Ini oseng merconnya.’

‘Oya?' Gue ngeliatin isi mangkuk itu. 'FAKUY!’ Ternyata ngomong ini enak juga.

Setelah gue perhatiin lebih lanjut, ternyata kobokan itu bukan sembarang kobokan. Kobokan itu kalo dimasukin rongga mulut bisa bikin mencret. Alias… itu kobokan cabe! Pantesan dari tadi gue nyium aroma pedes gitu. Gue pikir bau badannya Febri, ternyata bukan.

Gue mengaduk mangkuk itu. Isinya kayak cairan kental, cokelat kemerahan, berisi serpihan-serpihan daging.

‘Makan bang cobain! Hahaha!’ Febri makin semangat ngomporin.

Perasaan gue makin nggak enak. Gue deketin mangkuknya ke hidung. Baunya kayak menstruasi iblis. Setelah memberanikan diri, gue menyendok kuahnya, membuka mulut, meresapi rasanya dalam-dalam. Ujung tenggorokan gue langsung panas. Raut muka gue gak kekontrol. Febri nanya, ‘Gimana rasanya, Bang?’

‘Kayak balsem otot geliga.’

Singkat. Padat. Pegel linu.

di mana oseng-osengnya?


Hal yang terjadi selanjutnya adalah Febri yang bercerita tentang kisah asmaranya. Bagaimana dia pertama kali bertemu si cewek ini di tempat PKL. ‘Dari situ aku langsung ngerasain yang namanya jatuh sejatuh jatuhnya, Bang,’ komentar dia. Puitis abis. Pernyataan itu gue respons dengan ragu-ragu, ‘Uh… Sakit dong?’

Ceritanya kemudian berlanjut lebih dalam. Kisah cintanya ini agak-agak kompleks dan sinetronesque. Bagaimana dia begitu ingin mendapatkan si cewek ini. Harus bersaing dengan anak band yang lebih tampan. Bagaimana dia tidak sengaja memergoki mereka berdua di ruang himpunan mahasiswa. Bagaimana dia, demi si perempuan ini, menemaninya nonton si anak band ketika manggung.

Seiring dengan semakin dalam cerita, semakin gue melihat perubahan dari bola mata Febri. Wajahnya menunduk. Matanya jadi merah. Dia ngeluarin sharingan, ngehajar tukang oseng mercon dan lari ngejar Naruto ke hutan.

‘Ga usah sedih, Feb.’ Gue coba menenangkan.
‘Iya, Bang. Ini kepedesan kok.’

Licik sekali Febri. Ngajak makan pedes biar nggak ketahuan kalo lagi sedih.

‘Kamu gimana, Bang?’ Febri tiba-tiba nanya. ‘Lebih milih orang yang kamu taksir, apa orang yang naksir kamu?’

Entah kenapa perjalanan gue di Yogya ini penuh dengan pertanyaan-pertanyaan aneh.

Bersambung..

bonus muka Febri:

febri dwi cahya

Nggak Enaknya Jadi Orang Kurus

$
0
0
Buat orang yang nggak tahan iman kayak gue, sosial media bisa jadi senjata makan tuan. Beberapa waktu lalu, misalnya. Gue ada deadline ngedit video pukul empat sore. Abis jam makan siang, gue nyari-nyari file sebentar, terus mikir, ‘Twitteran ah bentar...’ tahu-tahu udah jam dua. Abis itu masukin file yang tadi ke software edit, terus kepikiran lagi, ‘Tadi kayaknya ada yang seru di twitter. Cari lanjutannya ah.’ Terus begitu sadar udah pukul tiga. ‘Eh ini ko udah jam segini aja ya?’ gue nanya ke temen di meja sebelah. Gue ngambil buku catetan, kretekin tulang-tulang di jari, kemudian bilang, ‘Mari kita mulai… twitteran bentar lagi.’

LAH INI KAPAN KERJANYA?!!

Well, setelah gue pikir lebih jauh, kayaknya gue sering banget ngelakuin hal kayak gitu. Dan hasilnya, gue jadi nggak produktif! Pipis! (lho?) Intinya, ini cukup ngebuat gue geregetan sendiri. Scroll-scroll Twitter menjadi salah satu musuh terbesar gue dalam bekerja. Setelah mikir mikir mikir dan mikir, akhirnya gue mengambil keputusan elit: kenapa nggak gue uninstall aja Twitter dari hape?

Akhirnya, ya udah deh. Sejak dua hari lalu, gue hidup tanpa twitter di hape. Awalnya ngerasa aneh banget sih. Gue yang tadinya tiap megang langsung buka twitter, jadi ngerasa ada yang hilang. Kayak-kayak baru putus gitu. Karena memegang prinsip cowok hanya butuh satu burung di hidupnya, akhirnya gue tetap bertahan. Enyah kau burung biru!

Di sisi lain, Instagram baru aja update aplikasinya supaya kita bisa masukin banyak postingan dalam sekali upload. Alhasil, kayaknya gue bakal jadi lebih rajin main Instagram deh. Rencananya sih Instagramnya bakal dijadiin semacam portofolio-gak-penting-ala-kresnoadi.

A post shared by Kresnoadi DH (@keribakeribo) on


A post shared by Kresnoadi DH (@keribakeribo) on


Dan begitulah. Instagram gue akan dibikin konten yang lebih “serius” penggarapannya. Sementara buat nulis-nulis gitu akan gue posting di blog aja. Jadi kalau ada temen-temen twitter yang baca ini, tolong diramaikan blog dan Instagram gue ya! \:D/

--
Bahas soal lain. Salah satu resolusi di tahun ini yang gue idam-idamkan adalah menjadi gemuk. Mungkin banyak cewek yang kepengin jadi kurus. TAPI GUE COWOK, CYIN! Berat gue aja cuman 50 sampai 55 ons (ini orang apa bawang merah?) Sedih rasanya ngelihat tulang-tulang di badan ini..

Dalam dunia asmara, jadi cowok kurus itu menurut gue tidak asik. Kalo cowok gendut bisa dijadikan alasan cewek buat nyubit-nyubit unyu, tidak demikian dengan cowok kurus. Karena komposisi daging cowok kurus jomplang dengan tulang, maka kami jelas tidak bisa dicubit. Boro-boro nyubit, minta pijet aja tukang pijetnya langsung nyeri otot.

Cowok gendut juga enak buat jadi alas tidur. Ngebayangin dada bidang, terus dielus-elus. Beuh, macho abis! Orang kurus mana bisa? Yang ada ke dada gue buat main piano dari tulang rusuk. Kalo ibaratnya cowok gendut itu gembul, cowok kurus lebih ke gembel.

Hal lain lagi adalah menjadi kurus membuat gue tampak lemah. Entah udah berapa orang yang selalu ngeledekin gue dengan ‘Awas, ada angin!’ Seakan-akan gue bakal terbang kebawa angin. Cih. Emangnya gue seenteng itu apa?! Sampai pas gue di jalan pulang naik motor, daerah Pondok Indah tiba-tiba ada ujan badai. Terus ada angin gede… dan helm gue goyang kedorong angin. Sedih.

Orang kurus juga gak bakal cocok jadi model. Bayangin aja, kurus, lemes, jalan di catwalk. Yang ada beneran ada catwalk (baca: kucing jalan) naik ke panggung gara-gara ngira gue tulang iga. Hal lain yang nggak enak dengan menjadi kurus adalah: kalo masuk ke kelas biologi, disangka tengkorak anatomi tubuh.

Yah, makanya gue pengin banget bisa jadi gemuk. Gimana sih caranya? Kalo ada yang punya tips atau saran jadi gemuk, help me plis...

Tidak Merasa Bersalah Dengan HOOQ

$
0
0
review film jomblo


Ayam raksasa itu lari kocar-kacir. Berusaha kabur dari kejaran satpam ke taman, ke koridor, ke ruang tata usaha, sampai kemudian, secara tidak sengaja masuk ke dalam ruangan gelap. Merasa sudah aman, si ayam melepas kepalanya. Kepala aslinya terlihat kecil dibandingkan kostum ayam putih yang ia pakai.

Ruangan seketika menyala,
ternyata itu kelas kuliah.

Situasi canggung. Si dosen yang merasa mabuk karena semalam menenggak obat penenang bertanya ke mahasiswanya. Semua bersorak dan mengiyakan keberadaan ayam random tersebut. Dan, di antara mahasiswa itu, ada seseorang yang ia cari. Perempuan yang ia ingin tahu alamat rumahnya. Perempuan yang mengisi pikirannya belakangan ini.

‘Ada pesanan untuk Lani, dari Happy Chicken,’ kata si ayam kepada dosen.

Semua diam.
Si ayam joget di depan kelas.

Situasi awkward.

Mungkin ini maksud dari perkataan Doni sebelumnya. Mengetahui Olip, sahabatnya, tidak berani kenalan sama gebetannya, Doni bilang bahwa cinta bisa saja datang, atau memilih, atau pergi. Tapi satu hal yang cinta tidak bisa lakukan: menunggu. Dan inilah yang menjadi alasan Agus nekat lari-lari keliling kampus menggunakan kostum ayam. Perasaan yang Agus rasakan, sudah tidak bisa menunggu lebih lama lagi.

Masalahnya, Agus punya pacar.

Adegan ini membuat gue terpancing untuk mengikuti jalan cerita film Jomblo ini. Gue butuh jawaban atas tiga pertanyaan: 1) Kenapa Agus melakukan ini? 2) Ke mana ini akan berlanjut? Dan 3) Agus ke dukun mana sampe laku gitu?

Dan sebuah pertanyaan lain: Jika cinta tidak pernah salah, kenapa ia bisa datang ketika perasaan itu sedang diberikan kepada orang lain? Kenapa sewaktu Agus masih sama Rita, pacarnya, perasaan itu bisa muncul ke orang lain? Suasana kamar hening. Gue menekan headphone, memasuki dunia empat sahabat ini lebih dalam lagi. Olip yang berperang dengan diri sendiri untuk kenalan sama Asri. Doni yang ternyata jadian sama gebetannya Olip. Bimo yang kalo mabok ngebayangin wayang (iya ini gak penting). Serta Agus yang ada di persimpangan. Harus memilih antara Rita atau Lani.

Satu hal yang gue sadari adalah, Agus bertemu Lani saat hubungannya dengan Rita mulai renggang. Seperti yang Agus katakan saat bersama Rita, bulan pertama pacaran itu indah banget. Tapi, lama-kelamaan semua mulai berubah. Bulan berikutnya menjadi “masa adaptasi” bagi keduanya. Bulan kedua Agus harus dorong-dorong trolley nemenin Rita belanja. Bulan ketiga tontonan bola dan tinju favorit Agus harus diganti sama sinetron. Pokoknya, hidup Agus dipenuhi kebiasaan perempuan. Kalau begini terus, lama-lama Agus pipisnya jongkok. Sampai kemudian, sifat cemburuan Rita keluar. Di saat inilah sosok Lani datang. Dan ia merasa ada yang berbeda di dalam diri Lani.

Setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya sifat manusia emang gini deh. Ketika kita sedang mengalami masa suram. Terkena macet, misalnya. Kita emosi dan ingin segera pergi. Segera pindah ke jalanan yang sepi. Itulah sebabnya begitu jalanan di depan perempatan lengang, kita langsung tancap gas. Bahkan biar menambah kesan ngebut, beberapa orang nambahin sound effect sendiri pake mulut, ‘NGEEEEENNGG!!’

Lani mungkin jalanan di sebelah kanan yang lengang dan membuat Agus ingin segera pindah karena sudah lama “macet-macetan” sama Rita. Masalahnya, kita tidak tahu, apakah jalanan itu akan tetap lengang sampai ujung, atau sama dengan yang kita jalani sekarang. Atau malah ada motor yang knalpotnya nembak-nembak ke muka.

Agus pun menjalani keduanya.

Cerita terus berlanjut. Agus tetap pacaran sama Rita, dan sembunyi-sembunyi sama Lani. Sampai akhirnya Agus mengajak Lani pergi ke kafe untuk pertama kalinya. Di sini Lani tampil cantik. Ia ingin terlihat spesial untuk Agus. Situasi ini jelas bikin gue bilang: ‘KATANYA CEWEK KALO DANDAN BUAT DIRI SENDIRI?! HALAH NGIBUL!’

Suasana sepi. Agus dan Lani duduk berhadapan. Backsoundmengalun pelan.

‘Saya mau putus,’ kata Agus. ‘Dan kita jangan ketemu lagi.’

‘Boleh aku tahu kenapa?’

Agus menunduk sebentar, kemudian menatap dalam mata Lani. Dia bilang: ‘Kayak guru matematika aja lu!’

‘Gimana?’

‘Saya mau putus,’ Agus menarik napas panjang. ‘Soalnya sayang sama Rita. Dia juga sayang sama saya. Saya sadar kamu tuh lebih dari dia, tapi itu bukan alasan seseorang untuk putusin pacarnya.’

‘Kata kamu aku lebih baik. Bukannya tiap orang mau yang terbaik?’

‘Iya. Tapi…’ Agus diam sebentar, lalu dengan ragu menjawab, ‘Kalau semua orang terus cari yang terbaik, suatu saat nanti juga saya bakal ninggalin kamu.’

Pernyataan Agus ini bikin gue diam lama. Gue menekan layar, mem-pause film yang sedang berputar. Lalu mikir sendiri. Gue juga sekarang baru aja menjalin hubungan sama seseorang. Dan, sama kata Agus sebelumnya, masa awal pacaran emang indah banget. Bawaannya kepikiran terus. Pengin bareng-bareng terus. Kalo salaman sama bokapnya pengin bilang, ‘SAYA TERIMA NIKAHNYA!’ Intinya, sama kayak yang dibilang Agus, gue bahagia banget. Lalu gue mencoba mikir lebih jauh. Mungkin dia emang bukan cewek tercantik, atau tersemok, atau ter-ter-ter yang lain. Tapi kalau kita selalu mencari yang lebih baik, yang lebih baru, yang lebih terus, mau sampai kapan? Ini kan yang menjadi masalah semua orang? Kita selalu merasa ingin memiliki lebih dari yang kita punya. Kita tidak pernah merasa cukup. Di awal hubungan ini, gue udah bilang kalau gue mau serius sama dia. Gue mau coba jadi orang yang terbuka. Mau cerita tentang hal-hal yang mungkin banyak orang tidak tahu. Karena sama yang sebelumnya, gue lebih banyak menyimpan itu sendirian. Dan itu nggak enak. Kayak ada semacam perasaan bersalah ketika kita justru tidak bisa percaya sama orang terdekat kita. Gue tahu ini masih sangat jauh, tapi yang pasti, gue tidak mau kembali menyimpan perasaan bersalah itu.

Gue menyelesaikan film Jomblo di layar ponsel, menutup aplikasi HOOQ,
dan berharap dia juga begitu.

nyantai nonton hooq aplikasi video streaming di  rumah

--
Belum lama ini gue emang lagi demen ngulik HOOQ. Aplikasi video streaming on demand. Gampangnya, HOOQ ini aplikasi buat nonton film dengan cara streaming. Ada beberapa hal yang bikin gue suka sama aplikasi kayak gini. Pertama, kalau Steve Jobs di pidatonya bilang bahwa iPod adalah perangkat yang bisa masukin 1000 lagu ke dalam kantung, HOOQ bisa masukin 10 ribu film ke dalam kantung. Ya, sepuluh ribu. SEPULUH RIBU COY! SINTING! KALO BELI GORENGAN DAPET LIMA! (lah terus kenapa?). Anggap satu film berdurasi dua jam. Itu berarti 10 ribu film sama dengan 20 ribu jam. Atau 833 hari. Atau itu berarti… beres nonton mata putih semua.

Dengan banyaknya jumlah film, udah pasti pilihannya bervariasi. Mulai dari serial Supergirl yang tayangnya beneran real time, The Mentalist, sampai yang lawas kayak Friends. Film-filmnya dari You’ve Got Mail, 50 First Dates, Final Destination, sampe The Avengers. Lucunya (atau kerennya), si HOOQ ini punya koleksi lengkap film-film Indonesia. Mulai dari AADC 2 (yang baru ada di HOOQ doang), sampai yang jadul banget kayak Warkop juga ada. Film Jomblo yang gue tonton barusan padahal termasuk film lama yang gue gatau harus nyari ke mana, eh ternyata ada aja. Dua film yang tidak sengaja gue temukan dan pengin tonton lagi adalah serial Selfie yang jadi salah satu favorit gue. Serta Panji Manusia Milenium. Yang penting jangan gabung jadi Panji Manusia Selfie aja.

review aplikasi hooq streaming video

Hal menarik lainnya tentu karena bisa dibawa ke mana-mana, kita gak bakal mati gaya kalo pas megang hape. Tinggal colok headset, idupin HOOQ, lalu tinggal bilang, ‘Enyah kau society!’ Hehehe. Ini cocok banget buat pemalas kayak gue. Kalo lagi di rumah, tinggal bangun, nyalain laptop, buka website-nyadan tonton sampe mata keriting. Kalo lagi males banget, ya rebahan aja di kasur, nonton di hape. Muahahah!

cinemagraf nonton hooq di stasiun

HOOQ ini juga bisa jadi sumber utama kita supaya nggak mati gaya di tempat umum. Kita kan sering banget nemuin mbak-mbak nonton drama korea di kereta gitu. Dengan HOOQ ini, gue gak mau kalah! Huahahaha! Begitu sampai stasiun, gue langsung buka HOOQ. Turun sampe peron, buka HOOQ lagi. Pas di dalem kereta, buka HOOQ… sambil mencet idung nahan aroma ketek penumpang lain.

cinemagraf nonton hooq di stasiun

Salah satu poin penting yang ada di HOOQ adalah, filmnya bisa di-download! Jadi sebelum pergi, ya download dulu biar hemat kuota. Bisa pake internet di rumah, atau nebeng WiFi tempat kerja, atau di rumah gebetan. Ini jelas akan menjadi poin plus di mata gebetan. Nanti tinggal bilang, ‘Nonton yuk?’ lalu kalau dibalas, ‘Tapi kan sekarang tanggal tua, aku nggak punya uang?’ tinggal kamu sambar, ‘YA NONTON DI HOOQ LAH! FILMNYA ANJAY! A EN JE A YE!’

Sambil nge-HOOQ, gebetan pun berhasil di-hook. Mantap!

biaya paket berlangganan hooq video streaming


Buat orangtua yang mau ngawasin anaknya, HOOQ emang belum dilengkapi dengan “mode anak”. Tapi bukan berarti si anak bebas nonton apa aja. Di dalamnya kamu bisa pilih kategori film Toddler, atau Little Kids, atau Big Kids. Film-filmnya udah disaring khusus untuk yang anak-anak.

review aplikasi hooq streaming video


Poin penting dari aplikasi ini buat gue adalah, HOOQ menjawab kegelisahan gue akan tontonan resmi. Sejujurnya, dari SMA gue suka nonton film bajakan. Seiring berjalannya waktu, gue mulai meninggalkan kebiasaan itu dan beralih ke download film atau menonton online dari website. Masalahnya, gue baru tahu kalau ternyata itu sama dengan pembajakan. Secara tidak langsung, ini dianggap ilegal alias tindak kejahatan. Sama kayak pake narkoba atau ninggalin tidur pas lagi seru-serunya chattingan. Jahat.

Lebih parahnya, setelah gue cari tahu lebih dalam, nonton film dengan cara seperti ini berarti melanggar Undang-Undang Hak Cipta pasal 72 ayat 1. Hukumannya? Pidana penjara minimal 1 bulan maksimal 7 tahun dan atau/ denda minimal 1 juta maksimal 5 juta. Udah gilaaaa! Mana mau gue kena begituan. Ngebayangin gue diem doang sendirian di dalem penjara. Serem abis. Mending terpenjara cinta deh.

Gue jadi inget jaman di mana gue demen banget nonton film bajakan. Mungkin sewaktu nonton gue masih hepi-hepi aja. Tapi begitu ketemu temen dan ditanya, ‘Nonton di mana?’ gue langsung kelabakan. Mau jawab jujur bajakan, tapi kok nggak enak. Mau bilang di bioskop, tapi males ditanya yang lain-lain. Sama kayak gue dan hubungan gue di masa lalu, gue semacam punya perasaan bersalah ketika harus diam dan nggak cerita yang sebenarnya. Takut aja begitu ngaku, temen gue bales dengan, ‘Nonton di bajakan? Oh… TANGKAP DIA!’ lalu temen-temen polisinya loncat dari semak-semak, ngeluarin borgol, terus masukin gue ke penjara. Horor.

Untungnya sekarang hal itu tidak akan terjadi.
Dengan HOOQ, gue tidak perlu merasa bersalah lagi.  

Tentang Challenge #SkipChallenge?

$
0
0
Beberapa hari yang lalu gue baru tahu dari grup Faedah keriba-Keribo kalo lagi rame soal #skipchallenge. Ngebaca chat itu tentu aja bikin gue mikir: challenge apa lagi ini? Awalnya gue menduga kalau ini challenge untuk skip alias tidak melakukan challenge. Gue beranggapan kalau challenge ini adalah challenge supaya kita nggak melakukan challenge. Tapi kan ini challenge. Itu berarti kita harus melakukan challenge untuk nggak melakukan challenge. Oke sampai di sini gue mulai bingung..

Mengingat banyaknya challenge yang beredar, rasanya kayak butuh ‘istirahat’ sebentar dari segala challenge yang ada. Mulai dari flip bottle challenge, samyang challenge, babi challenge (oke itu celeng). Tapi ternyata bukan sodara-sodara! #SkipChalllenge bukanlah challenge untuk nggak challenge! #SkipChallenge yang lagi rame adalah challenge supaya kita ngerasain yang namanya skip. Alias… sakrotul maut!

Gue ngeliat beberapa videonya di Instagram dan langsung pengin nangis sendiri. UDAH GILA APA YA ORANG-ORANG INI?! Challenge ini dilakukan dengan satu orang berdiri di tembok, lalu ada temennya menekan dada sampe si orang itu kelojotan! Gue bener-bener gak sanggup ngebayanginnya. Apalagi kalo yang diteken Julia Perez.

Gue juga menyadari perbedaan respon orang-orang yang main ini. Ada yang pas diteken dadanya kemudian langsung lemes, jatuh, lalu kejang-kejang. Ada juga yang begitu diteken dadanya malah ngebales nabok. Biasanya pelakunya mbak-mbak yang kita nggak kenal di halte busway.

Satu hal yang gue heran adalah, begitu si orang terjatuh dan kejang-kejang, banyak di antara temannya yang ketawa dan memfoto si korban. Parah abis! Harusnya kan video! (lho?). Gue kalo jadi si yang neken udah pasti panik ngelihat temen gue nggak bisa napas dan kejang-kejang, lha ini kok malah ketawa gitu. Terus terang gue tidak tahu dampak biologis dari dada yang ditekan dengan kencang, tapi melihat si korban sampai kejang-kejang tanpa bilang, ‘Abdi udah 200 tahun nunggu tempat ini.. GROARRRGH!! KOPII!!!’ udah pasti badannya mengalami sesuatu yang buruk.

Nah, makanya supaya banyak yang tidak bermain challenge ini karena berbahaya, gue akan memodifikasi skip challenge supaya menjadi tantangan yang fun dan menyenangkan!

Ada beberapa teknik modifikasi yang dapat dilakukan. Pertama, yang melibatkan andil penonton. Yaitu saat si temennya meletakkan tangannya di dada si korban. Pada saat ini gunakanlah kesempatan untuk penonton bilang, ‘CIYEEEE!’ 

Dijamin kedua temen kamu tidak akan melanjutkan challenge laknat ini. Kecuali mereka saling naksir dan malah ciuman di depan papan tulis.

Cara kedua adalah dengan perubahan total. Ada beberapa tahap untuk membuat #skipchalllenge menjadi lebih seru dan tidak membayakan:

1) Berdirilah membelakangi tembok

2) Suruh teman kamu berdiri di samping kamu,

3) Taruh kedua tangan di depan dada seperti halnya hendak melakukan skip challenge

4) Suruh teman kamu melakukan hal yang sama

5) Langkahkan kaki ke kanan

6) Ayunkan tangan kanan kamu ke kanan

7) Suruh teman kamu melakukan hal yang sama

8) Ulangi langkah 5, 6, 7 ke arah kiri

9) Lakukan kegiatan ini diiringi dengan lagu Umi – Hadad Alwi


INTINYA: JANGAN PADA MAIN GINIAN KENAPA ANJIR GUE SEREM LIATNYA!!

Video Esai Malam Minggu Miko

$
0
0
Entah ada angin apa nyokap tiba-tiba masuk kamar sambil ngabarin soal skip challenge. Ibu baca-baca itu bisa bikin stroke dan jantungan lho, katanya. Gue jelas setuju. Jantung yang terhimpit akan bikin kekurangan oksigen dan jadi sesak. Dampaknya mirip-mirip kayak kita pas udah ngantri bensin, sampe depan baru sadar kalo khusus pertamax. #HidupPremium

Skip challenge emang gila sih. Ada juga yang bilang kalau permainan skip challenge bisa bikin maag! Sadis! Terlebih kalo keasikan main sampe lupa makan. Di komen ini juga bilang kalo Skip Challenge ternyata udah dari lama:

fasyaulia March 13, 2017 at 7:53 PM
Asli ini challenge paling aneh ya, lucuk kagak, bagus kagak, menarik kagak, bikin orang mati iya. Dan katanya ini udah lama permainannya, cuma dulu tuh di bagian leher di pencetnya, sekarang di bagian dada. Tapi efeknya sama. Apaan banget dah. Meningan ngaji dan solat aja (yaiyeee) :P

Tanggapan:
Kebayang nggak jaman dulu yang diteken lehernya? Selain kejang-kejang, suaranya pasti jadi kayak teleponan pas lagi edge. Putus-putus. INI BIAR APAA SIH? Apa coba yang ada di pikiran si pencipta skip challenge ini pertama kali? “Mau liat aku cosplay jadi mujaer? Coloklah tenggorokanku!” Kalo gue yang nemuin Skip Challenge, kayaknya nggak bakal kepikiran untuk neken dada kayak gitu deh. Paling-paling neken punggung. Skip enggak, yang ada sendawa mulu gara-gara masuk angin. 

Dan sebuah komentar lain:

Beby Rischka March 14, 2017 at 10:15 AM
Itu kalok aku yg ngelakuin Skip Challenge keknya gak ngaruh deh, Di. Yg neken malah membal. :(
Tanggapan:
Lanjut ke topik lain aja ya..

--
Udah lama gue pengin bikin video yang rada “bener”. Setelah biasanya cuman bikin video flourish, akhirnya hasrat bikin video berat jatuh kepada video esai. Apalagi belakangan ini gue juga sering belajar lewat video-video esai. Kalo katanya Evan Puschak, video esai itu terdiri dari tiga karakter: menarik, singkat, dan berdasarkan fakta. Nah, rencana awalnya gue pengin ngebedah tentang hal-hal yang ada di FTV. Sampai pas nontonin beberapa film… otak gue nge-hang. Konsep video esai ini secara nggak langsung ngebuat gue harus ngegali dan riset lebih dalam. Atau dengan kata lain, INI BIKIN VIDEO APA SKRIPSI?!

Setelah memutuskan untuk nyimpen FTV-FTVan itu, gue pindah ke hal yang paling gue suka: komedi. Berhubung nggak bego-bego amat soal beginian, jadilah gue merasa lebih “pede” buat nyari tahu dan ngebedahnya. Alhasil, gue coba ngebedah kompleksitas joke yang ada di dalam serial Malam Minggu Miko-nya Raditya Dika. Kenapa Malam Malam Minggu Miko? Oh sudah barang tentu… karena pendek. Muahahaha.

Eh sewaktu proses ngerjainnya gue malah kesenengan sendiri. Bolak-balik ngulang nonton, nyatet, nonton sampe bego. Mungkin emang udah dari sananya suka belajar kali ya? Jadinya sewaktu nyari tahu malah bergairah dan timbul hasrat ingin buka celana (lho?).

So, there you go. Video esai pertama gue yang ngebedah komedi yang ada di dalam serial Malam Minggu Miko.




Biar kayak YouTuber-YouTuber gitu, gue mo nulis pake capslock: JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, EN SUBSRIBE BEYBEEEH?!


Kresnoadi, sign out!

Kuta Adalah Kota Paling Kita

$
0
0
Berhubung nggak bisa bikin musikalisasi puisi (dan takut banyak kuping yang berakhir mengeluarkan nanah), akhirnya nyoba bikin versi visual ke puisi gue yang berjudul Kuta adalah Kota Paling Kita. Hasilnya ini:



Kalo ada yang ngerasa formatnya rada aneh, itu karena emang sengaja dibuat untuk dibuka di handphone. Jadi kalo mau lebih seru, nontonnya di hape dan full screen.

Enjoy! \(w)/


Tentang Move On

$
0
0
Kayaknya masih ada yang salah kaprah soal move on deh. Menurutnya, move on samadenganpindah. Maka orang ini berpikir untuk secepat-cepatnya mencari orang baru supaya bisa pindah. Buat gue pribadi, ini agak-agak nggak etis. Apakah memang dengan pindah ke hati yang baru kita sudah berhasil move on? Apakah dengan “naksir karena pengin move on” merupakan hal yang baik?

Gue pernah baca salah satu twit dari Ika Natassa yang bilang kalau adanya keberadaan orang lain untuk melengkapi kita itu hal yang aneh. Menurut Ika ini aneh banget. Seharusnya kita bisa “melengkapi” diri kita sendiri dulu. Bahagiakan diri kita sendiri dulu. Baru kemudian bersama orang itu, jalan bareng di satu jalur yang sama. Jatuh cinta bukan berarti dua orang cacat yang bergabung untuk saling melengkapi.

Dalam kasus move on, ini berarti seharusnya kita sudah berhasil pindah terlebih dahulu. Kita sudah bebas. Kita udah move on, baru cari orang lain. Bukannya datengin orang cakep, lalu bilang, ‘Eh gue lagi sedih nih. Temenin gue yuk. Perhatiin gue. Bikin gue sibuk sampe lupain mantan.” Buset enak bener. Situ Raja Arab?

Buat gue mungkin move on lebih ke menerima kali ya? Mungkin bisa berarti menerima kalo hape kita jadi nggak serame biasanya. Menerima kalo hari sabtu nggak sibuk nyari ide buat jalan. Menerima kalo kebiasaan-kebiasaan yang dulu dilakukan bareng, atau kebiasaan dia, udah nggak bisa kita liat lagi. Bagi beberapa orang, move on berarti menerima kalo nggak ada lagi yang bawain bakso ke rumah di saat hujan (apalagi kalo mantan lo tukang bakso).

Nyokap gue pernah cerita hal yang lucu banget soal beginian. Jadi, sewaktu kuliah, nyokap punya tampang primadona. Entah ada berapa banyak cowok yang suka nyamperin dan dateng ke rumah bude, tempat nyokap tinggal dulu. Singkat cerita, nyokap ketemu bokap, berkembang biak, jadilah Tiyo (abang gue) dan gue (Christiano Ronaldo). Sampai kemudian sewaktu nyokap pulang kerja, ada satu bapak-bapak nyamperin dan bilang kalo dia adalah temennya di kampus UGM dulu.

Si bapak-bapak ini (yang selanjutnya kita panggil dengan sebutan “babe”) lagi ada projekan di kantor nyokap. Nyokap akhirnya ngobrol-ngobrol-ngobrol sama si babe. Hingga beberapa minggu kemudian, si babe mengaku kalo dia dulu naksir nyokap. Momen pertemuan ini tentu membuat si babe berpikir: mimpi apa aku bisa ketemu dia lagi ya Allah?!

Gilanya, ternyata babe masih suka cerita KE ISTRI DAN ANAKNYA soal nyokap sampai saat itu. Saking antusiasnya ga sengaja ketemu nyokap, babe akhirnya ngajak nyokap ke rumah. Dia pengin ketemuin orang yang sering diceritain langsung ke anak dan istrinya. Ini bikin nyokap mikir: mimpi apa aku bisa ketemu dia lagi ya Allah?!

Babe pun lama kelamaan jadi suka SMS nyokap. Dan selayaknya cewek yang tidak peduli, nyokap hanya membalas dengan chat singkat seperti: ya, tks, *888# (INI MAU BALES SMS APA CEK PULSA YA ALLAH?!).

Melihat bokap yang mulai pasang kuda-kuda dan bersiap Kamehameha, nyokap akhirnya nge-block nomor si babe.

Kejadian ini ngebuat gue mikir… KAGAK BISA MIKIR APA-APA GUE ASTAGA. Serem gak sih? Setelah bertahun-tahun, sampe udah nikah dan brojol tapi masih ngomongin orang lain. Kalo suatu hari tiba-tiba bokap cerita tentang cewek lain selain nyokap, udah pasti respon gue adalah: “ngakak coeg. :v”

Lalu gue sentil buah pelirnya.

Makanya, menurut gue, cara terbaik untuk move on adalah dengan… ya menerima aja. Diem aja udah. Jalanin hidup kayak biasa. Move on mungkin sama kayak jatuh dari sepeda, lalu lecet dan kulitnya terkelupas. Mungkin saat berdarah kita bisa ngasih obat merah. Tapi nggak ada yang bisa kita lakukan saat menanti kulit baru kita tumbuh dan mengganti kulit lama yang terkelupas. Mungkin keliatan nggak ada usahanya. Tapi, emang itu kan esensi dari move on? Bagaimana kita hidup biasa aja tanpa ada usahanya.

Lucunya, ada orang yang saking pengin kelihatan udah move on, kemudian jadi sering pamer di sosial media dan justru terlihat norak. Seolah hidupnya gembira dan “lebih berwarna” tanpa adanya si mantan. Update foto di Instagram dengan quote “I’m strong woman!” disertai foto lagi dorong mobil pick up (ya bener juga sih?).

Well, kalau udah begini, pertanyaan paling banyak adalah: 
butuh waktu berapa lama untuk seseorang bisa move on?
Yang bisa jawab ya kita sendiri.

Mimpi, Waktu Indonesia Bercanda, dan Puisi Dari Kegelisahan

$
0
0
Terus terang, gue kangen nulis gajelas lagi. Setelah baca beberapa post terakhir kok kayaknya gue “serius” bener ya? Hohohoo. Aneh juga bacanya. Di tengah-tengah baca beberapa postingan itu, gue jadi diem sebentar, lalu mikir, “INI SIAPA YANG BAJAK BLOG GUE YAA?!!” Jadi inget dulu pernah main bajak-bajakan sama Wahai Para Shohabat. Dengan tidak elegan, si Yoga ngebajak blog gue dengan super cupu (cek postingannya di sini). Blog gue juga pernah dibajak tukang ember (baca di sini). Ya, tukang ember. Gue juga sedih kok nulisnya…

Kalo udah kayak gini gue jadi flashback sewaktu pertama kali bikin blog. Waktu itu gue awal-awal semester empat. Jaman-jamannya gue dapet mata kuliah Ekologi Hutan. Saat itu gue dapet kakak asisten dosen yang nyebelin. Badannya gede, ngomongnya sembarangan dan sok berkuasa. Biasalah, tipikal kakak senior yang pengin dihormati gitu. Gara-gara sikapnya itu, gue jadi menaruh perasaan sama dia. Perasaan pengin nusuk palanya pake tombak, tepatnya.

Masalahnya, dia kuat dan nyeremin. Ini sudah tentu kemungkinan organ gue yang mejret duluan meningkat 90% sebelum berhasil nusukin tombak. Alhasil, gue diam-diam semacam punya “dendam pribadi” yang tidak tersalurkan. Akhirnya gue mulai mencari pelampiasan yang asik (dan mengurangi resiko gue tewas lebih cepat, tentunya). Teriak-teriak di pinggir tebing jadi salah satu opsi waktu itu. Bayangin gue berdiri di pinggir tebing, ‘AAARRRGHHHH BANGSAAAAT?!! AUWOOOO!!!’ Gue ngerobek baju, lalu loncat masuk ke pedalaman hutan. Berubah jadi Tarzan. Malah gagal keren.

Hal lain yang terpikirkan adalah membuat grafiti; semacam coretan gaul di tembok menggunakan semprotan pilox. Tapi mengingat dendam gue yang rada panjang, entah butuh berapa banyak tembok. Kalo pun disingkat jadinya susah dimengerti: QXBL. Qu Sebel.

Alhasil, gue baru tahu ada yang namanya blog. Dan, seru juga bebas cerita di internet kayak gini. Sampai kemudian gue kenal temen-temen blogger lain, banyak sharing tentang penulisan dan cerita. Banyak yang menjadikan blog sebagai wadah untuk berlatih menulis. Sampai sini gue langsung nyadar… hina banget niat gue dulu ngeblog. Hehehe.

Anyway, ada beberapa hal yang pengin gue ceritain:

Satu. Belakangan ini gue mimpi aneh-aneh banget. Beberapa minggu lalu gue sempet mimpi dateng ke nikahannya Benakribo, yang mana orangnya aja udah berkembang biak. Di waktu yang berbeda, nggak kalah serem, gue mimpi kalo bokap meninggal. Gue udah di dalam liang kubur, sedih, deg-degan, menunggu jenazah bokap diturunkan. Anehnya, orang-orang malah nurunin beberapa jenazah sekaligus, ditumpuk secara vertikal… dan gak ada jenazah bokap. Begitu sadar kalo nggak ada jenazah bokap, gue jadi bingung dan makin deg-degan: kenapa gue bisa ada di dalam di liang kubur? Bangun-bangun keringetan.

Hari ini nggak kalah seru. Gue sama temen-temen ada di dalam rumah dengan seragam a la pemain paintball. Kami lagi menghadapi semacam teroris dan virus mematikan. Hampir berhasil ngebunuh semua teroris dengan aman, ada satu teroris yang berhasil kebunuh dan darahnya yang ada virus moncrot kena laba-laba. Gue bangun, dan karena ngerasa seru, nyoba “lanjutin” mimpinya. Dan berhasil! Gue bareng temen-temen yang tersisa ngelawan, dalam bahasa di dalam mimpi, "artphropoda beracun" di garasi belakang bekas rumah gue yang dulu. Dramatis abis… dan bener-bener gajelas.

Ada yang gitu juga nggak sih? Pernah ngalamin mimpi seru, terus kayak ngerasa pengin ngelanjutin mimpinya dan ternyata emang nyambung sama mimpi sebelumnya? Atau ada yang bisa ngartiin mimpi? Ini kayaknya juga gak bakal ada di primbon jawa deh.

Dua. Gue baru-baru aja nonton Waktu Indonesia Bercanda di NET. Dan ternyata kocak abis! Gue pikir awalnya semacam ILK gitu yang ngebahas topik-toppik dengan konyol, eh ternyata game show. Salah satu segmen terfavorit tentu Teka-Teki Sulit! Gue sampe ngakak-ngakak sendiri begitu tahu jawaban sebenarnya dari Cak Lontong. Buat yang masih mau waras, mending jangan ditonton deh. \:p/

Tiga. Sebuah puisi dari kegelisahan gue di pagi ini:

Bangun tidur dan bangun dari kasur
adalah dua hal yang berbeda.
Kadang kita sudah bangun dari kasur,
tapi masih tidur. Kadang kita
sudah bangun tidur, tapi belum mampu bangun dari kasur.
Karena bangun dari kasur butuh energi dari sarapan.
Untuk sarapan perlu bangun dari kasur.
Ah, sarapan cuma harapan.
Isi tudung saji cuma mimpi.
AKU LAPER!

INILAH YANG TERJADI JIKA KRESNOADI JADI CEO TOKOPEDIA*

$
0
0
Gue masih salut bagaimana teknologi bisa memengaruhi cara hidup manusia. Bayangin deh. Di jaman manusia purba, kita hidup pindah dari gua ke gua, ngepanahin hewan-hewan buat dimakan, berkembang biak, laper, ngepanahin hewan lagi. Gitu terus sampe botak. Kalo diperhatiin, orang jaman dulu kerjanya cuman jalan-jalan, berburu. Nggak pernah ngaji. Parah! Semakin lama, kita sadar akan kebutuhan, mulai kenal yang namanya barter. Nuker beras dengan nanas, daging dengan sayur, bengkoang ama Xbox 360. 

Setelah muncul duit sebagai alat tukar, kita makin dipermudah. Mau belanja tinggal masukin dompet ke kantong. Jalan ke supermarket. Praktis. Sekarang? Jauh lebih enak lagi. Tinggal keluarin HAPENYA DOANG. Pencet sana pencet sini. Belanja online dari rumah. Lalu golar-goler deh. Meratapi kemiskinan dan penyesalan yang baru saja dilakukan sambil nunggu kurir. Gampang abis.

Gue pertama kali belanja online kira-kira hampir 10 tahun lalu, sekitar awal-awal masuk SMA. Waktu itu ecommerce belum serame sekarang. Gosip tentang penjual online yang suka nipu masih banyak. Dan satu-satunya tempat belanja online yang gue tahu adalah Forum Kaskus. Nggak kayak sekarang yang udah banyak banget. Bisa nyari di marketplace kayak Tokopedia, Bukalapak, Blibli. Atau kalau yang niat, bisa nyari akun online shop di Instagram kayak @gelangkulitexclusive, @kacamatakayu, @ui.cantik. Oke, yang terakhir kayaknya bukan akun jualan deh..

Tapi tahu gak apa yang lebih menyenangkan dari belanja online?

JUALAN ONLINE!

Salah satu mimpi gue emang punya toko dan dapat penghasilan dari jualan. Atau dalam bahasa gaul: entrepreneur. Yang mana bahasa Cekonya adalah podnikatel. Gue pun gatau gunanya nulis bahasa Ceko dari entrepreneur barusan, tapi siapa tahu ada orang Ceko yang gak sengaja nyasar ke blog ini, nemu bahasanya dipake lalu bangga dan bilang ke temen-temennya di kampus, ‘Tadi gue ga sengaja buka keriba-keribo.com… ADA PODNIKATEL BROO!!’

Mereka pun bersorak sorai kayak gini:



Nah, sebelum punya sendiri, gue merasa perlu untuk memperhatikan problem apa aja yang ada di e-commercesekarang. Ini kayak jaga-jaga sebelum nanti gue punya toko sendiri. Biar lebih spesifik, gue akan ambil contoh Tokopedia. Kenapa Tokopedia? Soalnya kalo ui.cantik bukan e-commerce. Walaupun akunnya saya rekomendasikan untuk dicek. Jadi, anggap aja gue jadi penasehat CEO e-commerce dulu. Atau dalam versi ngarep… Inilah yang akan terjadi kalau Kresnoadi jadi CEO e-commerce Tokopedia.

Satu. Foto adalah koentji!

Buat pembeli, foto adalah salah satu indikator untuk meningkatkan kepercayaan kepada penjual. Ngeliat foto di e-commerce itu sama kayak kita di mall ngeliat baju dari luar etalase. Kita nggak bisa megang bahannya, ngerasain secara langsung. Tapi bisa mengira-ngira apakah barang itu cocok atau tidak sama kita. Makanya, foto barang yang dijual harus pas. Nggak boleh terlalu jelek, tapi juga jangan modal ambil dari google. Bayangkan ada toko online bernama “PAR CELL” jualan handphone Samsung Galaxy S8 dan SEMUA GAMBARNYA ngambil dari google. Sebagai pembeli, ini pasti bakal ngebuat kita bilang, ‘GUE JUGA TAHU SAMSUNG GALAXY S8 TUH YANG ITUU!!’ Ini sama kayak ada teman kita pamer, ‘Gue baru beli Samsung Galaxy S8 dong!” Lalu begitu kita udah tertarik dan nanya, “Oh ya? Kayak gimana tuh? Coba liat dong!” dia malah jawab, “Ya kayak yang di tv itu dah..”



Menampilkan barang dari google memang ngebuat toko lebih “rapih dan bagus”, tapi itu nggak nyata. Kayak ngeliat cewek cantik, wangi, tapi ternyata Raisa. Mustahil dimiliki. :(

Begitu juga sebaliknya. Jangan malah naroh foto dengan gambar yang terlalu gelap atau kecil sampai kita nggak bisa ngeliihat detail produknya. Ini kan produk jualan, bukan tersangka penjual cendol pake pewarna sarung. Kalau udah, kasih watermark deh. Supaya foto kita nggak disalahgunakan sama orang-orang. Karena foto adalah koentji!

Dua. Video!

Kalau foto sudah cihuy, sekarang lanjutkan dengan: video! Di era visual ini, video pastinya akan lebih memiberikan pengalaman yang berbeda untuk user. Kalo gue jadi CEO Tokopedia, gue akan sebisa mungkin memasang video di berbagai kategori dan meminta pada penjual untuk menampilkan video yang berkaitan dengan produk yang dijual. Ini pasti akan meningkatkan kenyamanan calon pembeli. Di samping itu, pembeli akan merasa kalau si penjual lebih aware dan paham akan produknya. Misal, jual handphone, sertakan video unboxingatau review handphone tersebut. Kalau yang dijual adalah barang-barang DIY, sertakan video cara penggunaannya. Sebaliknya, jangan kasih video yang tidak nyambung. Contoh: Jual kaos, tapi menampilkan video “Ini Dia Ekspresi Jokowi Saat Melihat Kambingnya Melahirkan!”

Letakkan di sini:



Jangan masukan video ini:



Tiga. Hilangkan “Barangnya Sesuai Gambar Gan”

Selain foto, review pembeli lain juga merupakan faktor penting sebelum pembeli memutuskan untuk masukin produknya ke keranjang belanja. Masalahnya, tidak jarang gue menemukan review di Tokopedia yang hanya sekadar “Barangnya sesuai gambar gan.”. Buat gue, ini sangat disayangkan. Kenapa? YA KARENA EMANG HARUSNYA GITU! Udah sepantasnya si penjual mengirim barang yang sesuai dengan gambar. Gak pernah kan kita ke sebuah restoran sushi, misalnya. Begitu makanannya dateng kita mengacungkan jempol dan bilang, ‘Wah sushi-nya sesuai gambar! Mantap nih restoran!’



Banyaknya jenis ulasan seperti ini mengindikasikan dua hal: 1) memang banyak penjual yang mengirim barang tidak sesuai (makanya begitu dapet yang sesuai gambar langsung bangga), atau 2) Pembeli tidak tahu harus mengisi apa. Untuk poin pertama tentu masalah ada pada tim kurasi Tokopedia supaya lebih selektif dalam menyeleksi penjual. Sementara untuk poin kedua, Tokopedia bisa memberikan “poin-poin ulasan detail” yang dapat diisi oleh pembeli. Misalnya, setelah si pembeli mengonfirmasi penerimaan barang, Tokopedia memberikan survei berupa “Seberapa baik kemasan yang diberikan penjual”, “Seberapa baik produk berfungsi”, “Seberapa baik komunikasi penjual?”. Lalu pembeli tinggal mengisi antara 1-5, dari yang paling buruk sampai paling baik. Baru setelahnya, si pembeli mengisi ulasannya seperti biasa.



Empat. AI AI AUOOOO!

Pernah gak ngerasa pengin suatu barang, tapi gatau namanya apa? Kayak misalnya kita liat orang bisa nulis pake pensil di hape, dengki, terus diam-diam pengin punya juga. Karena nyopet adalah tindak kejahatan, akhirnya kita memutuskan untuk beli. Masalahnya… kita nggak tahu nama benda itu apa. Alhasil nulis di kolom pencarian Tokopedia kayak gini:



Yang muncul malah pensil Barbie. :(

Inilah pentingnya customer service yang cepat tanggap. Sayangnya, terkadang kita harus menunggu 5-10 menit untuk mendapatkan jawaban dari CS. Dan bagi beberapa orang, ini kelamaan (kecuali CS-nya gebetan kamu). Nah, di sinilah fungsinya AI (Artificial Intelligence) dalam bentuk chatbots. Ini mungkin mirip-mirip aplikasi SimSimi jaman dulu di mana kita suka nanya-nanya sama dia. Tokopedia bisa kerjasama dengan start up di bidang ini. Di Indonesia sendiri ada kata.ai yang merupakan pindahan dari YesBoss. Dengan bantuan chatbots, dia jadi bisa menerjemahkan “pensil yang bisa dipake untuk nulis di hape” menjadi “stylus” hanya dalam waktu singkat. Penjual senang karena ketemu pembeli, pembeli pun jadi tahu dan bersorak, ‘AUOOOO!’



Ps: Dengan adanya chatbots, customer service dapat diberikan informasi yang sifatnya lebih personal. Seperti model pakaian yang sedang tren dijual, produk kecantikan  Alhasil, user merasa lebih diperhatikan.

Lima. Mana Paketku?



Meskipun Tokopedia merupakan marketplace dan bukan penjual, tapi dalam kaidah perdagangan mana pun, pembeli adalah raja. Dan seringkali si raja ini bertanya-tanya, ‘Mana paketku?’ Entah itu ke penjualnya langsung, ke Tokopedia, atau ke konter pulsa (kalo yang dia beli paket kuota internet). Nah, demi mengurangi hasrat si raja ngomong ‘mana paketku?’ terus, pihak Tokopedia dapat meningkatkan armada pengirimannya. Bisa dengan menambah agen dan bekerja sama dengan start up di bidang logistik kayak deliveree, atau yang lainnya. Atau memberikan kemudahan untuk dapat mengambil paket ke convenience store seperti indomaret dan alfamart. Hal ini akan membantu pembeli yang gak di rumah saat kurir datang.

Kira-kira ini 5 hal yang akan gue lakukan kalo jadi penasehat e-commerceTokopedia. Atau kalo gue jadi CEO-nya sekalian. Hueheheh. Kalo menurut kamu apa yang harus dibagusin dari e-commerce di Indonesia? Yuk kita diskusi biar belanja online mmakin asoy! \(w)/

*) Tulisan ini diperuntukkan bagi iprice.co.id 

Cara Menghadapi 5 Tipe Pengawas Ujian Di Sekolah

$
0
0
Gue baru tahu kalo sekarang lagi masa-masa ujian sekolah. Tahu gak apa yang menyeramkan dari ujian sekolah? Betul, namanya. Kombinasi kata “ujian” dan “sekolah” membuatnya seolah-olah jadi monster raksasa yang bisa nyaplok kepala kita sampe buntung. Beda sama jaman gue di mana “ujian” lebih sering disebut “ulangan”. Yang mana berarti cuman ngulang pelajaran kemarin-kemarin. Yang mana juga berarti harus ngulang remedial. Asu memang. Tapi jangan salah, seperti kata pepatah, kita bisa karena nyimpen LKS di kolong meja (lho?). Seiring berjalannya waktu, beratus-ratus ulangan telah gue lewati. Beribu remedial sudah gue lalui. Sekarang gue udah ahli dalam dunia perujianan. Beberapa trik gue lakukan supaya nggak minder dan percaya diri pada jawaban sendiri. Hasilnya? Gue jadi orang yang pertama kali keluar ruangan. Dan yang nangis pertama kali.

Berbekal pengalaman yang gue miliki, gue jadi paham bahwa di dunia ini ada beberapa jenis pengawas ujian. Oh dan tentu saja, gue pun sudah tahu cara menghadapinya. Oleh karena itu, demi kebaikan umat manusia, gue akan berbagi cara menghadapi 5 tipepengawas ujian ngeselin yang sering kita jumpai di sekolah.

The Sleeping Beauty



Pengawas ini adalah pengawas gaji buta. Kerjanya hanya duduk di meja depan, lalu tidur. Tipikal pengawas cool yang menjadi dambaan hati setiap insan murid.

Cara menghadapinya:
Berikanlah hal-hal yang membuatnya betah untuk tidur dan letakkan di mejanya. Kayak koran, majalah, Nikita Mirzani. Pasti bawaannya pengin tidur melulu. Jangan sekali-kali menaruh kopi di mejanya. Kecuali dia kesurupan dan nagih kopi. Gunakan kesempatan dia saat tidur untuk menengok ke teman, lalu tanyakan pertanyaan yang kamu tidak tahu jawabannya. Seperti: ‘Sst.. nomor dua dong?’ Saat ini, mungkin sebenarnya pengawas kamu melihat, tapi dia acuh saja. Maka jangan kamu buang kepercayaan yang dia beri dengan menaikkan volume suara kamu jadi, ‘Sst.. NOMOR DUA GOBLOK!’ Apalagi dengan tambahan, ‘ANJIR KITA BEDA PAKET SOAL!’ Dan akhirnya sok ngeles dengan ngegombal, ‘Biarpun beda soal, tapi arah cinta kita tetap sama dong…’

Si Pengancam



Dalam satu waktu di hidup kamu, pasti kamu akan menemukan pengawas tipe ini. Biasanya orangnya pendiam, tidak banyak bicara dan pandangannya lurus-lurus saja. Masalahnya, sebelum ujian dia ngomong, ‘Bapak/Ibu gamau liat ada yang nyontek hari ini.’ Lalu selama ujian dia hanya duduk di bangku, sesekali bilang, ‘Yang di belakang!’ lalu terlihat menulis sesuatu. Sewaktu pengumuman, tahu-tahu nama kamu gak ada nilainya.

Cara menghadapinya:
Menghadapi pengawas seperti ini memang agak tricky. Pasalnya, kita tidak hanya menghadapi orangnya, tapi juga pulpennya. Oleh karena itu, yang harus kamu lakukan adalah: rebut pulpennya! Jika kamu pemberani, kamu tinggal samperin si pengawas, lalu patahin pulpennya pake dengkul. Mungkin leher kamu juga bakal dipatahin sama dia, tapi paling tidak kamu ga ketahuan nyontek. Cool!

Jika kamu rada cupu dan jago sulap, majulah ke mejanya dan tanya, ‘Boleh pinjem pulpennya?’ Si pengawas mungkin menatap kamu dengan pandangan heran. Beberapa akan bertanya dalam hati, ‘Ngerjainnya kan di komputer, bego.’ Lalu setelah si pengawas memberikan pulpennya, kamu tatap pengawasnya, dan pastikan kembali dengan bertanya, ‘Ini pulpen ibu/bapak?’ Jika dia mengangguk, minta si pengawas meletakkannya di telapak tangan kamu. Tutup dengan satu tangan kamu, lalu, setelah satu tarikan napas, bilang, ‘HILANG!’ Buka tangan kamu, tunjukkan bahwa pulpennya sudah hilang. Pengawas heran. Murid lain bertepuk tangan. Kamu digampar. Sambil terseok-seok, cari kamera dan katakan, ‘SEMPORNAAAH!!’

The Dealer



Ada masanya di mana kamu ujian, jawaban masih banyak yang kosong, tapi kamu udah terlalu depresi dan gatau mau jawab apa. Akhirnya memutuskan untuk pasrah ngisi ngasal dan ngumpulin aja. Masalahnya, begitu mau ngumpulin, si pengawas malah nanya-nanya, ‘Yakin? Ini gamau diperiksa lagi? Pulsanya ngga sekalian?’ Ini pengawas apa penjaga indomaret.

Cara menghadapi:
Cobalah bernegosiasi. Karena sesungguhnya pengawas ini sangat suka. Kamu bisa mulai dengan berkata jujur, ‘Sebetulnya sih nggak yakin, Pak.’ Lalu bersimpuhlah di depan dia sambil mohon ampun, ‘Punggung saya ada kurap, gak punya uang, tolong lulusin, Pak.’ Melihat kamu, ada kemungkinan dia akan iba dan menjawab, ‘GUE IBU-IBU, BENCONG!’

The Traveler



Sesuai dengan namanya, pengawas ini sangat suka jalan-jalan. Keliling nyatronin meja-meja. Dalam bahasa politis, dia sedang melakukan: blusukan. Sementara dalam bahasa anak sekolah setempat biasa disebut “Kayaknya Nih Guru Kena Wasir Deh”.

Cara menghadapi:
Pengawas ini emang sangat sulit dideteksi pergerakannya. Oleh karena itu yang perlu kamu lakukan adalah… menentukan timing. Sesaat setelah si pengawas jalan membelakangi kamu, keluarkan sumpit suku Dayak, tiup dan arahkan jarum beracunnya ke leher belakang. Kenapa leher belakang? Soalnya kalo leher depan takut ketangkis jakun.

The Ngendok Boys



Pengawas ini sebetulnya tergolong ke dalam pengawas yang asik. Kerjanya cuman duduk diam tanpa banyak bertingkah. Masalahnya… dia DUDUK DI SEBELAH KAMU!

Cara menghadapi:
Menangis dan mohon ampunlah kepada Tuhan. 

Itulah tadi 5 cara menghadapi berbagai pengawas ujian ngeselin di sekolah. Ini adalah buah dari pengalaman gue mengikuti berbagai macam ujian. Gue sendiri gatau apa hasilnya kalo ngikutin cara-cara di atas. Tapi apalah gunanya pengawas, kalau ujungnya remedial juga.

Nggak Enaknya Rambut Pendek

$
0
0
Sebenarnya gue udah lama pengin potong rambut, tapi nggak pernah kesampaian. Si pacar sampe sebel sendiri tiap gue bilang, ‘Aku kayaknya mau potong pendek deh.’ Bukan sebel karena nggak suka, tapi karena gue ngomong doang. Hehehe. Abis gimana, gue selalu punya pengalaman tidak asik sewaktu potong rambut. Di kompleks gue ada dua tempat potong rambut “normal”, bukan yang salon-salon gahul gitu ya. Namanya pangkas rambut Bang Maman (ini favorit bokap, jangan tanya gue ada hubungan apa bokap dan orang bernama Bang Maman itu). Sementara yang satu lagi namanya Gasela. Gasela ini tempat yang dari dulu selalu gue datangi kalo mau potong rambut. Dan tempat gue selalu menyesal selesai potong rambut.

Entah kenapa seperti ada peraturan tidak tertulis di Gasela yang mengatakan bahwa siapapun yang ke sana, bakal berakhir dengan BOTAK. Gak peduli kita milih apa di daftar Top Collection, yang penting kepala kita DIBABAT AMPE ABIS. Yah, pokoknya tiap kali potong di Gasela gue selalu mikir, ‘Ada masalah apa nih orang sama istrinya?’ Begitu kuliah di Bogor, udah deh. Gue gak pernah potong di Gasela lagi.

Berhubung kemaren tiba-tiba ada keinginan buat pendekin rambut, gue nyari-nyari tempat potong lagi. Sampai kemudian ada satu tempat potong rambut baru di deket Gasela. Namanya: The Tampan Barber Shop. Goks. Dia ngasih nama “Tampan” tapi diawali dengan “The”. Sungguh tempat cukur yang krisis identitas.

Begitu masuk ke The Tampan barbershop (anyway, kenapa ya pangkas rambut dinamain “barbershop” tapi kita gaboleh beli si barber?), auranya kayak beda. Ini semacam tempat potong rambut masa kini: bernuansa hitam putih minimalis, pomade tertata rapi, gak ada top collection. Abangnya (gue gak sempet kenalan, tapi gue yakin namanya bukan BANG MAMAN) nanya mau potong model apa. Gue, karena gatau nama model rambut, akhirnya ngeluarin hape dan nunjukin foto di Instagram semasa rambut masih pendek. Dan tahu apa yang terjadi? ABANGNYA PROTES SODARA-SODARAAA!! Dia bilang, ‘Itu mah nggak pendek, Mas. Yang pendek kayak gini!’ Lalu ngeluarin tablet dan nunjukin model potongan rambut cowok yang bagian atasnya tersisa dikit dan pniggirnya tipis banget. Saking tipisinya, ini rambut bentar lagi kena tiang gawang.

Inilah dia hasilnya:

Hal pertama yang gue sadari setelah berambut pendek adalah… HELM GUE LONGGAR ABIS! Atau dengan kata lain… kepala gue isinya rambut doang. Ini berimbas pada kebiasaan gue denger lagu sewaktu naik motor. Gara-gara longgar, earphone gue sering banget copot. Alhasil, lagunya sering putus-nyambung. Denger lagu Ed Sheeran jadinya cuman “The club… … …SHAPE OF YOU!! We push and pull… … …SHAPE OF YOU!!”

Nyokap jadi orang pertama yang mengomentari perubahan drastis di kepala gue. Ngeliat gue yang mendadak rapih, dia berseru, ‘Wah!’ Nyokap kemudian tersenyum lebar dan melanjutkan, ‘Anda siapa ya?’ Sedih.

Awal-awal potong rambut rasanya juga masih kagok. Gue yang biasanya suka ngacak-ngacak rambut sendiri jadi nggak bisa. Dan akhirnya beralih jadi ngacak-ngacak pasar pagi (lho?).

Hal yang tidak enak dengan rambut pendek adalah: gue kadang lupa. Udah beberapa hari ini banyak kejadian aneh gara-gara lupa kalo rambut gue udah pendek. Kemaren pas sampoan misalnya. Gue yang biasanya make sampo banyak lupa kalo udah potong rambut. Ngeselinnya, gue baru inget setelah nuangin sampo ke tangan. Ya udah, daripada mubazir, akhirnya gue sampoan sebadan-badan. Siapa tahu bulu dada gue jadi nggak bercabang.

Sorenya, gara-gara lupa kalo rambut udah pendek, gue gosokin anduk kekencengan sampe kelapa gue sakit. Hal ini membuat gue menyadari dua hal: 1) Gue baru aja buang-buang energi, dan 2) Gue baru sadar kalo selama ini diam-diam rambut gue ngelindungin kepala gue dari benturan. Oh perhatian sekali kamu, mbut..

Tapi ada enaknya juga punya rambut pendek. Kena angin dikit langsung kering. Hal lainnya adalah, kalo bangun tidur sekarang gue nggak kayak gelandangan lagi. Yah, kayaknya gue emang harus mencintai rambut ini apa adanya deh.. 

-- 
Nambahin dikit. Mulai sekarang gue udah nggak main Twitter lagi dan bakalan lebih sering di Instagram dan blog ini. Jadi kalo yang biasanya tahu apdetan blog ini dari twitter, mending masukin email di kotak subscribe atau add LINE di @crg7754y  (pakai '@') atau follow Instagram gue di keriba-keribo ini. Masih baru banget nih main Instagram, jadi masih norak. Muahaha. See you guys there! \:p/

Radio 102km/jam FM

$
0
0
Radio masih menjadi salah satu alat hiburan yang gue pakai sampai sekarang. Ini yang gue senangi: hubungan antara pendengar dan penyiar di radio mirip seperti pembaca dan penulis di blog. Keduanya tidak punya batasan dan terasa sangat personal. Di dalam radio, misalnya. Kita bisa merikues lagu atau menelepon secara langsung ke penyiar. Ini tentu berbeda dengan YouTuber yang terkadang suka berinteraksi dengan penontonnya, tapi malah terkesan aneh. Misalnya, si YouTube lagi naik motor, kemudian ban motornya kempes. Dia lalu mengeluarkan kamera, mengarahkan ke mukanya dan bilang ke depan kamera, ‘Gaes, gue punya bad news…’ Muka si YouTuber biasanya langsung pucat. Kayak udah sembelit dua minggu. Dia lalu lanjutin, ‘Kayaknya gue harus nyari bengkel nih, gaes…. Menurut kalian di sekitar sini ada bengkel nggak ya? Tulis di kolom komen ya gaes!’

INI BIAR APAAA?!

Komunikasi semu semacam ini jelas tidak berguna. Emangnya kalo gue komen ‘ADA BANG! ADA!’ tiba-tiba bakal muncul kuli lalu ngebangun bengkel di sana? Lagipula… TINGGAL TONTON VIDEONYA AMPE ABIS JUGA KETAHUAN?!

Anyhow, kembali ke radio.

Nah, salah satu radio yang gue demen adalah Prambors (102.2 FM). Dulu banget gue seneng dengerin siaran The Dandees (Danang dan Darto) selama perjalanan pulang kantor dan DGITM (Desta and Gina In The Morning) pas berangkat. Dengerin dua acara ini bisa bikin gue ngakak kayak orang sinting di motor.

Seiring berjalannya waktu, gue malah pengin nyoba jadi orang yang ngoceh sendirian. Kalau biasanya gue cuman dengerin, entah kenapa ada hasrat jadi gue yang pengin ngomong. Saat itu, akhirnya gue iseng nyoba-nyoba bikin podcast.

Masalahnya, karena masih amatiran, gue kadang teler sendiri kalo harus podcast lama-lama. Di sisi lain, gue takut kalo terlalu ngalor ngidul, gue malah jadi ngomongin hal yang aneh-aneh. Kayak kenapa orang-orang di FTV kalo ngomong dalam hati bisa sampe kedengeran? Kalau ini terjadi di dunia nyata udah pasti bikin orang lain jadi peka… DAN BERISIK.

Nah, gara-gara itu gue sempet bikin mainan radio-radioan di insta stories bareng temen-temen di grup Faedah Keriba-Keribo. Namanya radio 102km/jam FM (jangan tanya kenapa namanya ini, gue juga gatau). Jadi orang-orang di grup pada rikues lagu dan bakal gue puterin beserta salam-salamnya. Radio-radioan ini adanya kalo temen-temen di grup pada mau minta aja. Dan kayaknya pada mau curhat colongan. :p

Jadilah tadi malem gue bikin lagi karena ada beberapa temen yang mau. Gue sekalian pengin tahu lagu yang suka didengerin sekarang itu kayak apa. Apakah Wali Band? Five Minutes? Repvblik (ya, emang pake huruf ‘v’ biar gaul. Mungkin tahun depan dia pengin gaul banget dan ganti jadi R3pvblyq). Tapi ternyata tidak teman-teman! Nggak ada yang rikues lagu repvblik. Mungkin pada gatau lagunya. Atau biar gue nggak ribet ngomongnya aja. Gue berterima kasih atas hal ini.

Meskipun nggak ada R3pbvlyq, ternyata gue tetep nggak ada yang tahu lagu rikuesan orang-orang ini. Ada satu band bernama Amigdala yang gue pikir nama ilmiah tumbuh-tumbuhan. Amigdala Heteropilus sp. Sayang seribu sayang ternyata bukan (ya iyalah!). Ada yang ngasih tahu kalo Amigdala adalah band indie asal Bandung. Belakangan gue baru inget kalo gue pernah baca di blognya Fasya tentang band ini.

Awalnya semua masih berjalan normal. Ada yang rikues Amigdala berjudul Ku Kira Kau Rumah yang secara asal gue terjemahkan sebagai lagu tentang orang yang membuat orang lain senyaman rumah, tapi pas dipikir-pikir lagi ternyata bukan. Ternyata kita masih nggak enak untuk bilang ‘Aku mo ee!’ ke orang ini (karena begitulah cara rumah bekerja). Akhirnya gue memutuskan untuk membuat lagu tandingan untuk itu. Lagunya berjudul: Ku Kira Kau Jamban.

Apakah lirik lagunya bakalan ada di postingan ini? Menurut kamu ada nggak? Coba tulis di kolom komen ya! *digampar*

Lagu demi lagu berjalan, sampai kemudian ada yang minta lagu Amigdala lagi. Karena gue kurang familiar dengan lagu ini, akhirnya gue mengeja pelan-pelan: “Amigdala. Dengan judul lagu Bi-o Psi-ko-lo-gi.”

‘Gila judul lagu band sekarang keren abis!’ Lalu dalam sepersekian detik otak gue langsung mikir cepet kayak Jimmy Neutron, ‘Ini judul lagu kok kayak mata kuliah ya?’

Tapi…

Tapi…

MANA ADA MATA KULIAH BIO PSIKOLOGI?!!

Kalo pun beneran ada, ini belajar apa coba? Bedain pohon mangga mana yang gila sama yang waras?

Setelah gue cari-cari, lagunya beneran nggak ada! (Ini untuk mastiin aja. Siapa tahu beneran ada band gendeng yang nyiptain lagu, ‘Oh manggakuu… Daunnya kuninggg… Kamu sakit kuningggg…’) Dan ternyata emang gue dikerjain! Atau lebih tepatnya… emang gue goblok aja. Hehehe.

Ini hasil main radio 102km/jam FM semalam:

A post shared by Kresnoadi DH (@keribakeribo) on


Well, kalo baru bikin beginian aja langsung ketahuan begonya… gimana mo jadi penyiar beneran.
*menggampar diri sendiri*

Kamu sedang pilih profesi? Coba baca info ini

$
0
0
Pеntіngnya milih pekerjaan mungkin mirip dengan memilih jodoh. Disadari atau tidak, memilih satu profesi akan memengaruhi hidup kita sеpanjang umur. Kalo udah milih kedokteran, misalnya. Kita nggak mungkin bisa mengganti pekerjaan seenak udel jadi guru BK. Nanti ada siswa dateng, bukannya dinasehatin malah disuntik tetanus.

Semakin ke sini, syarat yang dimiliki seseorang untuk bekerja juga makin spesifik. Di beberapa pekerjaan, misalnya. Gue sempat ngeliat harus memiliki syarat umur maksimal. Itu berarti, ketuaan dikit kita udah nggak boleh masuk. Dan itu berarti, orang yang sewaktu muda tidak punya pengalaman kerja tidak akan punya kesempatan lagi. Itu berarti, kita bakal mati pengangguran.


Makanya, sеbеlum membuat keputusan mau kerja di mana, ada baiknya perhatiin hal-hal berikut:

Satu. Pіlіh Jurusan Yang Kita Suka

Percaya sama gue. Ketika nanti kamu kerja, kamu bakal ketemu sama orang yang tiap hari bawaannya ngeluh melulu. Bilang ke kita kalo dia pengin keluar, udah nggak betah, dan hobinya ngomel terus. Apalagi kalo dia lagi kejebak di kamar mandi. Nah, sifat orang kayak gini menunjukkan kalo dia “salah pilih pekerjaan”.

Memilih jurusan kuliah yang benar menjadi salah satu faktor supaya kita nggak kerja di tempat yang salah. Pada waktu masuk unіvеrsіtas, sеtіap mahasіswa pastі dіkasіh saran mеngеnaі pіlіhan jurusan. Bisa darі оrang tua, teman, dukun (kalo kamu anaknya antimainstream). Nah, salah satu yang mesti kamu inget adalah: jangan pilih jurusan karena ikut-ikutan. Sewaktu gue lulus SMA, metode pemilihan jurusan kuliah di sekolah gue termasuk banyak yang “asal”. Ada yang cuman karena “namanya lucu”, ikut-ikutan gebetan, sampai yang paling absurd: gara-gara di jurusan itu ada artisnya. Memilih jurusan kuliah yang tepat artinya mempersiapkan bekal untuk profesi yang tepat juga.

Nah, sеbеlum mеnеntukan bіdang prоfеsі yang bakal kamu ambil, pastiin kamu tahu tujuan kamu. Caranya dengan menjawab "Gue di sini cuman mau sekadar kerja atau benaran mengabdi?” Kalo ternyata enggak, pikirin mateng-mateng. Kamu bakal suka nggak kalau melakukan pekerjaan dengan lingkungan itu secara terus-menerus dalam jangka waktu lama. Ini penting soalnya yang pertama kita bayangin pasti enak-enaknya aja. Sama kayak makan es krim. Kalo kita ngebayangin makan es krim rasanya enak banget. Masalahnya, kamu bakal betah nggak kalo makan es krim tiap hari? Nyaman nggak? Atau malah bakal mencret. Demikian.

Dua. Yang Pеntіng Hatі Sеnang

Ini mungkin mirip-mirip kayak poin pertama. Nggak cuman suka, tapi sewaktu ngejalaninnya juga harus asik. Contohnya gini: mungkin kebanyakan orang suka sama Raisa. Tapi apakah jalan bareng Raisa itu menyenangkan? Apakah dia sesuai dengan tipe kamu? Kalo ternyata Raisa di pom bensin nggak mau turun dari motor dan itu bikin kamu kesel, lama-kelamaan jalan bareng Raisa pasti terasa menyebalkan.

Sedikit tips dari gue buat yang sekarang ngerasa udah “terjebak” di jurusan yang salah: cari hal-hal yang menyenangkan dari sana dan jadiin itu motivasi kamu untuk bertahan. Kalo kamu gak demen naik mobil, tapi sekarang udah ada di dalam mobil. Kamu bisa cari tahu hal-hal yang kamu suka di mobil itu. Kamu bisa mikir: “Gara-gara naik mobil ini gue bisa merhatiin detail bahan jok mobil.” Atau “Gue suka sama pengharum di mobil ini.” Kalau kamu gak suka sama Raisa gara-gara gamau turun pas lagi ngisi bensin, pikirin kalo, “ITU RAISA, DUNGU!”  Nah, hal ini yang kamu jadiin motivasi buat terus lanjut.

Gue, misalnya. Nyasar di jurusan Kehutanan padahal pengin belajar tentang komputer. Setelah gue cari tahu lebih dalam, ternyata gue suka komputer karena gue demen menganalisis sesuatu. Gue nggak suka Kehutanan karena gue bego di Biologi dan gak jago hapalan. Akhirnya gue bikin motivasi kalo gue bakal bisa “menganalisis” sewaktu belajar Kehutanan. Yang terjadi adalah: pas lagi belajar gue malah bengong merhatiin temen-temen. :p

Tiga. Jangan Mikirin Uang Doang

Ini mungkin terlihat klise. Jangan liat kerjaan dari uangnya doang. Uang emang penting karena kita belom bisa beli nasi padang pake daon pisang. Tapi percayalah, teman-teman. Kalo kamu liat satu pekerjaan dari uangnya doang, kamu bakalan terlihat itung-itungan. Kamu bakal mikirin kerja lewat teori ekonomi: untung-rugi. Kamu akan jadi orang yang money oriented. Pertanyaan yang datang jadi “Kalo ikut meeting emang gue dapet duit lembur?” “Kalo projek ini gue ambil untung nggak?” “Kalo gajian bakal dapet duit nggak ya?” Kamu malah sibuk pada pertanyaan-pertanyaan itu dan bukannya fokus pada pekerjaan.

Orang yang kayak gini biasanya pacaran juga itung-itungan. Serem.

Empat. Sіap Bеlajar

Satu hal yang menyenangkan dari bekerja buat gue adalah: kita belajar setiap hari. Kita bisa mеngеmbangkan dіrі dari hal-hal yang ada di sekitar. Salah satu bos gue pernah bilang: kita harus bisa belajar dari siapa aja. Dan ini yang jadi prinsip gue sampai sekarang. Seberapa tinggi jabatan kita, mau gak mau kita bakalan terus belajar supaya tetap update. Masalahnya, ini hal yang susah. Kadang dikasih kritikan dikit kita langsung defensif dan mengerang kayak orang kesurupan. Ternyata pas dicek emang kesurupan beneran.

Pada awalnya itu hal yang wajar. Tapi lama-kelamaan kita akan sadar bahwa kritikan itu akan bikin kita lebih mantap jiwa.

Lima. Sеlalu Punya Jalan Laіn

Dunia lowongan kerja adalah dunia yang berkembang sangat pesat. Ada masanya di mana kita nggak perlu maksain diri untuk bekerja di satu tempat sampe modar. Kalo kamu ngerasa pindah ke tempat lain bisa bikin kamu berkembang dan jadi lebih baik, kenapa enggak? Kalo pacaran tapi cuman bikin hati sakit terus, emang tetep mau bertahan?

Salam super saiya, 

Briptu Kresnoadi Chaiya Chaiya.

KAOS BLOGGER MENULIS UNTUK KERABAT BUKAN KE ROBOT!

$
0
0
Beberapa waktu lalu gue sempat ngerasa cukup capek buat ngeblog. Entah kenapa kayaknya ngeblog jadi kayak satu pekerjaan sendiri yang butuh waktu khusus untuk ngelakuinnya. Belum lagi ditambah gosip-gosip soal ranking Alexa yang tiba-tiba jatuh. Ini bikin gue pusing abis. Bagian paling pusing adalah nyari pengertian dari Alexa itu. Hehehe. :p

Maklum, blog gue bukan blog profesional. Dari awal gue bikin blog ini untuk jadi semacam “pelarian” dari dunia nyata. Kalo orang jaman dulu curhat di halaman belakang buku pas guru lagi ngejelasin, gue di internet. Yang mana orang-orang jadi pada bisa baca dan komentar, “Sampah lo, Di!” Ini jelas berbeda sama nyokap. Komentar nyokap sewaktu tahu gue punya blog adalah: “Sampah kamu, Dek!”

Lalu sampai akhirnya, gue malah jadi kenal sama kamu. Kita jadi bisa ngobrol. Tukar pendapat. Kadang ngetawain gue. Kadang gue ngetawain yang komen sewaktu bikin postingan selanjutnya. Kadang ada yang nyapa di LINE. And I’m really happy to know you who read my abnormal story.

Tapi bukan berarti gue nggak pengin blog gue jadi kayak blog profesional. Kadang gue iri aja gitu sama orang yang dapat penghasilan dari ngeblog. Pas gue liat blognya, beuh emang keren-keren abis. Begitu bandingin sama blog sendiri, langsung muntah nasi kuning. Nyadar, Di. Nyadar. Hehehe.

Kemudian dilema itu datang. Di satu sisi gue merasa ngeblog udah nggak asik lagi. Di sisi lain, gue nggak mau “ngilang” gitu aja. Paling enggak, gue pengin ngejadiin blog ini sebagai medium untuk melihat proses demi proses hidup gue. Akhirnya, dengan segala kejeniusan (atau ketololan) yang gue punya, gue memutuskan untuk bikin kaos. Niatnya untuk ngingetin diri sendiri.

Lalu tahu apa yang lebih jenius? Karena kaos yang mau gue bikin tentang bloger gitu, akhirnya gue tanya lewat LINE dan Instagram. Siapa tahu kamu tertarik juga. Eh, nggak disangka lumayan juga yang mau. Ada sekitar 3762 orang. Oke, nggak sebanyak itu sih. Kira-kira… 3 orang lah.

Supaya gampang dan lebih enak, gue coba tanya lewat sini aja. Desain kaosnya kayak gini:

Karena tiba-tiba gak bisa embed postingan instagram, cek Instagram gue di sini ya: Kaos blogger.
Di-swipe ke kanan ya! 

Kalo belum jelas:



Judul kausnya: Bloger. Menulis untuk kerabat, bukan ke robot.

Ukuran kaosnya:
Lebar dada x Panjang kaos
S: 46 x 67.5cm
M: 48 x 70cm
L: 50 x 72.5cm
XL: 52 x 75cm

Kaos ini akan gue bikin sesi preorder minimal satu lusin. (Dan, ya, warna kaosnya cuma hitam aja). Maksudnya, kalau yang mau kurang dari 12 orang, kaos ini nggak akan jadi gue jualdan yang punya cuman gue. Hehehe. :p

Jadi begini cara pemesanannya:

Kirim email ke kresnoadidh@gmail.comdengan subject “PREORDER KAOS BLOGGER” lalu kirimkan biodata di badan emailnya. Contoh:

Nama: Kresnoadi Rudolfo Zaragoza
Jumlah kaos: 134
Ukuran: M
Alamat: Jalan Sendirian Aja RT 06/RW 08 (kodepos)
Nomor hape/whatsapp: 14045

Gue akan tunggu emailnya sampai minggu depan (Senin, 24 April 2017). Kalau kuotanya masuk batas minimal, gue akan balas email kamu dan minta untuk bayar secara full (harga satu kaos 85 ribu. Kalau XL tambah 15 ribu). Ongkir ditanggung pembeli ya. Jadi kalo yang mau lebih dari 12 orang, hari senin depan gue akan minta kamu untuk bayar 85 ribu + ongkir. Karena gue baru akan bikin kaosnya setelah semuanya bayar. Ini biar nggak ribet dan bolak-balik bikinnya. Hehehe.

Jadi kalo kamu minat jangan langsung kirim uangnya. Tunggu emailnya dibalas dulu ya. Soalnya kan kalo nggak sampe satu lusin nggak jadi dibikin. :p

Ok then. See you in the next post and happy buying! \:p/

Ketika Setan Indonesia Bikin Grup Whatsapp

$
0
0
Kita semua punya permasalahan tersendiri dari grup whatsapp. Mulai dari keragaman karakter orang-orangnya yang cuma silent reader, si tukang sebar gambar, tukang ngelawak, gosip, sampai sebar berita hoax. Keragaman ini membuat satu grup whatsapp punya warna tersendiri. Masalahnya, apa yang terjadi kalo para setan di Indoensia bikin grup whatsapp?

Kira-kira begini jadinya:

*Genderuwo created grup "Pengalaman Pertamaku"*

Genderuwo:
Kuy sharing. Gue apes bgt smalem.. *insert emoji nangis ketawa*

0837739xxx:
Hihihi

Suster_Ngesot:
Is writing a message..

Tuyul:
Gue lancar aja sih. Lo apes gimana, Wo?

Genderuwo:
Masa gue lagi ngendok di samping beringin…

Genderuwo:
Udah ada bapak2 tua deketin

Genderuwo:
Pas gue mau beraksi

Genderuwo:
Dia malah ngelukis gue!

Suster_Ngesot:
Is writing a message…

0837739xxx:
Hihihi

Tuyul:
Wkwkwkw. *insert emoji nangis ketawa* 

Genderuwo:
JANGAN KETAWA YA!

0837739xxx:
KAN GUE KUNTILANAK BEGO. HIHIHI.

Genderuwo:
Oh sori sori. Belum gue save no lo. Hehehe.

Kunti:
Sian ngets lo wo. Terus gimana?

Suster_Ngesot:
Is writing a message…

Genderuwo:
Ya... gue gaya.

Tuyul:
... 

Genderuwo:
Udah gaya aja gambarnya tetep jelek. Najong! 

Tuyul:
((najong)) 

Suster_Ngesot:
Is writing a message…

Kunti:
Ini si suster mau ceramah ya daritadi nulis kagak beres2

Suster_Ngesot:
INI STIKER TATAN DI MANA SIH ELAAAH?!

Tuyul:

Genderuwo:

Kunti:

*Tuyul Left group Pengalaman Pertamaku*
*Kunti invited Tuyul to Pengalaman Pertamaku*

Kunti:
Ciye ngambek. Hihihi.

Genderuwo:
Tau sans laaah. Gue aja sans ini.

Suster_Ngesot:
Gw baru ngeh nama grupnya. Wkwkwkw. Kayak mesum woy!

Tuyul:
Lagian ngeselin anjay. Lo semalem gimana sus?

Suster_Ngesot:
Emangnya gw kue!

Tuyul:
Wkwkwkw.

Genderuwo:
kue sus murah

Suster_Ngesot:
Laper anjrit!

Tuyul:
SERIUS WOY!

Suster_Ngesot:
Gw rada berhasil sih. Tapi…

Tuyul:
?

Kunti:
Perasaan gue ga enak nih. Hihihi.

Suster_Ngesot:
Is writing a message

Kunti:
Kan…

Tuyul:
????

Suster_Ngesot:
Iya jadi kemaren ada anak magang baru di rumah sakit. Kerjanya belom bener. Biasanya anak shift malem suka nyapu-nyapu gitu. Ini gatau kenapa belom. Berhubung udah waktunya gw keluar, ya udah. Gw samperin. Dan dia ngibrit dooong! Gw kejar sekuat tenaga! Gas terus! Dari ruang bedah ke kamar mayat ke wc (pas di wc pantat gue mulai berdarah dikit) sampe akhirnya dia masuk mushola. Gw tungguin dong di luar.

Kunti:
Lah lo nggak masuk?

Suster_Ngesot:
YA KAGAKLAH!

Kunti:
Cobain anjir biar anget.

Tuyul:
Hmmmm.

Genderuwo:
rukuk yang baik dan benar


Tuyul:
BRENGSEK LO WOOO!

Suster_Ngesot:
Merinding gw kampret!

Kunti:
Kayak mo maen kuda tomprok ya. Hihihi.

Tuyul:
((kayak mo maen kuda tomprok))

Genderuwo:
Sori gaes. Kepencet.

Tuyul:
((kepencet))

Genderuwo:
Terus gimana sus?

Suster_Ngesot:
Ya gw tungguin aja di luar. Lamaaa banget. Bete kan gw. Ya gw keliling dulu nyari betadine. Pas keliling gitu gw baru sadar ada yang berubah. Rumah Sakitnya jadi bersih. Bulu kuduk gw langsung merinding!

Tuyul:
????

Suster_Ngesot:
Iya soalnya kan sebelum gw kejar, rumah sakitnya kotor. Begitu dia sampe mushola langsung bersih. Sekarang gw pengen tobat. *insert emoji nangis*

Tuyul:
Serius?

Suster_Ngesot:
Iya. Takut gw.

Tuyul:
Baju lo sekarang jajdi kotor nggak?

Suster_Ngesot:
Bentar gw cek…

Suster_Ngesot:
IYA! ANJIR BENER LO YUL! ASTAGHFIRULLAH!

Tuyul:
Itu kepel bego.

Suster_Ngesot:
Oh iya.

Suster_Ngesot:
Gw ngesotnya terlalu napsu. Wkwkwkwkw.

Kunti:

Genderuwo:
Ckckckc.

Congki:
Da pa nrh?

Kunti:
Congki dateng perasaan gue ga enak. Belom siap mata gue.

Congki:
Hngan gotu lah..

Kunti:
Kan. Hihihi.

Tuyul:
Masih aja typo lo cong..

Congki:
Susas gue ngetoknya woy

Congki:
Ngetok

Congki:
*ngetuk

Congki:
*ngetik

Congki:
ELAH!

Genderuwo:
Semalem gimana cong?

Congki:
Ya gotu daj

Tuyul:
Oh gotu.

Congki:
Tyop njir. Kwkwkwwk.

Kunti:
Ketawa tuh “wkwkwkwk” bukan “kwkwkwkw”. Hihihi. Emang beli barang di taman puring kw kw.

Tuyul:
((beli barang di taman puring)) 

Tuyul: 
Sumpah ya gue pengen left lagi.

Genderuwo:
Sabar yul. Inget. Allah menyukai orang yang sabar.

Tuyul:
Kita bukan orang.

Genderuwo:
Oiya.

Kunti:
Lanjut cong.

Congki:
Ya kan smalem gue nyamar jadi gulung

Congki:
*gulimg

Congki:
*guling

Congki:
Orangnya sadsr. Gue ditendang. Pala gue mentpk lemari. Dia kabur. Gue susah bangun.

Genderuwo:

Kunti:
Sedih woy. Wkwkwkw.

*Tuyul left Pengalaman Pertamaku*

Suster_Ngesot:
Hayoloh cong. Kenapa tuh si Tuyul

Genderuwo:
EH TUYUL NGEJAPRI GUE!

Congki:
Kenpapa gue woy! *insert emoji nangis*

Congki:
Bilang apa dia?

Kunti:
Ciye gak typo.

Suster_Ngesot:
Akhirnya.. *insert emoji nangis ketawa*

Genderuwo:
tumpeng selametan


Genderuwo:
Bentar masih ngetik.

Genderuwo:
Kata Tuyul

Genderuwo:
“Wo gue kepencet. Tolong masukin lagi dong.”

*Genderuwo Invited Tuyul to Pengalaman Pertamaku*

Kunti:
Ini grup ga beres bener dah. Wkwkwkwk. Hihihi.

Tuyul:
Gimana gimana?

Genderuwo:
Kayaknya kita harus ada orang baru deh. Fail semua gini.

Kunti:
Tahu sampah anjir. Hihihi.

Suster_Ngesot:
Setuju!

Congki:
Gue ada sih kandidat. Pada may cek orangnya gak?

Genderuwo:
Boleh.

Congki:
vicky prasetyo pacaran lagi


Suster_Ngesot:

Tuyul:
Bgst itu siapa woy!

Kunti:
Komuknya kayak setan. Wkwkwk. Hihihi.

Genderuwo:
KITA SEMUA SETAN ANJIR! Itu dia serem emang?

Congki:
Jangan liqt mukanya anjit. Serem serius dah.

Tuyul:
Hmmmm.

Genderuwo:
Bener ya? Masukin deh coba.

Kunti:
Gue ragu sih. Tapi boleh deh. Hihihi.

*Congki invite Vicky to Pengalaman Pertamaku*

Vicky:
Hello gaes.

Kunti:
Wuih berpendidikan nih.

Genderuwo:
Keren juga temen lo cong.

Congki:
Sa ae lo.

Vicky:
Helo. I’m 29 my age. My profession is to nakut-nakutin orang by keragaman kagetnisisasi nasi basi.

*Tuyul left Pengalaman Pertamaku*
*Kunti left Pengalaman Pertamaku*
*Suster_Ngesot left Pengalaman Pertamaku*
*Genderuwo left Pengalaman Pertamaku*
*Congki left Pengalaman Pertamaku*

Vicky:
Lho kok sepi nih sisasi di sini sapi?

Tulisan Fiksi Bohong

$
0
0
tulisan fiksi bohong


Sampai saat ini, gue masih bermimpi untuk jadi penulis atau komedian. Dua medium yang menurut gue tidak berbeda jauh. Penulis akan membuat komplain-komplain di hidupnya menjadi sebuah tulisan. Bisa menjadi sebuah cerita sedih, atau menginspirasi. Atau melihat perjalanan hidup gue, jatuhnya lebih ke cerita horor.

Begitu juga dengan komedian. Seorang pelawak akan membuat lelucon dari hal-hal yang dia alami. Tragedi yang dia pendam selama ini. Buat gue, pelawak adalah pencerita yang malu-malu. Gue selalu yakin ada hal-hal “tersembunyi” yang ia sampaikan lewat ceritanya.

Well, gue emang suka bercerita.

Dan gue malu. Seringkali gue terlalu takut untuk menyebarkan apa yang sudah gue tulis. Entah sudah berapa dering telepon yang gue dengar untuk merencanakan pertemuan. Entah sudah berapa coretan ide yang gue tulis untuk memberikan buku ini. Sewaktu di Dufan waktu itu. Atau menyelipkannya diam-diam saat menonton Guardian of the Galaxy di Senayan. Gue bahkan hampir melempar buku ini ke halaman rumahnya. Untung keburu ada tetangga yang teriak maling dan nimpuk sendal.

Tapi hari ini, tekad gue udah bulat.

--
Sampai saat ini, gue masih bermimpi untuk menjadi penulis atau komedian. Kayak yang gue pernah bilang, keduanya sama-sama pencerita. Keduanya mungkin malu-malu dan butuh media lain untuk bersuara. Sewaktu gue bekerja di Kumon, gue ingat betul pelajaran itu: kita tidak perlu bersuara untuk memberitahu sesuatu.

Kita hanya butuh satu jari telunjuk. Ketika kita sadar ada pekerjaan yang salah, yang perlu kita lakukan hanyalah menunjuk jawaban si anak kecil, lalu menunjuk kembali pertanyaannya satu per satu. Ini membuat si anak berpikir sendiri tanpa diberitahu begitu saja. Ini membuat rasa penasaran si anak terpakai untuk hal yang benar: mencari solusi atas masalah yang dia hadapi.

Gue jadi berpikir bahwa seharusnya hal ini juga bisa kita pakai untuk hal-hal lain. Contoh: Ketika salah beli ukuran sepatu. Tunjuk sepatu yang udah kita beli, lalu tunjuk pacar, lalu tunjuk sepatu yang kita inginkan. Hasil: Mata kelilipan sneakers.

Gue lalu bangun dan mengambil kacamata yang tertutup selimut. Saat membereskan kasur, gue agak kaget karena mendengar suara barang jatuh. Apa tuh? Gue menunduk ke bawah tempat tidur. Memanjangkan leher ke dalam. Aneh, kok gelap banget. Oh iya, lampunya belum dinyalain. Gue bangun, kejedot bentar, nyalain lampu, lalu kembali ke kolong tempat tidur.

Gue melihat sesuatu di ujung, dekat kaki tempat tidur. ‘Apaan tuh item-item?’ Gue nanya sendiri, dan anehnya jawab sendiri. ‘Jangan-jangan… dementor!’  Gue panik sendiri.

Abnormal sekali hidup ini.

Gue merogoh, mencoba menggapai benda itu pelan-pelan. Agak merinding juga karena kadang tangan gue menyentuh jaring-jaring halus. Sampai gue berhasil menarik benda itu keluar.

Benda itu,
Bando milik Salsa.

Gue mengusapnya, lalu diam sebentar. Entah kenapa barang ini masih ada di kamar gue. Gue dan Salsa bahkan sudah tidak pernah berkomunikasi sejak tujuh? Delapan bulan yang lalu? Pokoknya lama deh. Waktu itu dia sempat marah besar sama gue. Itu karena gue sok perhatian dengan bertanya mengenai perubahan poninya. Apa salahnya sih nanya poni ke orang botak pasien kanker?

Kelanjutannya, ya, dia ngamuk-ngamuk gak terima. Dia nge-blocksemua medsos gue. Telepon gue gak pernah diangkat. Rumah gue dikencingin. Kata orang-orang, dia langsung ngedit foto avatar twitternya jadi sebelahan sama Adipati Dolken. Idih, kan gue juga mau.

Beberapa hari kemudian, dia minta putus.

Udah pasti gue ngerasa bersalah banget. Erwin Schrodinger, filsuf dari jerman, pernah bilang kalau kata-kata itu ibarat galah tajam yang panjang. Terkadang kita mengarahkannya ke kiri, tapi yang kena imbas malah orang di sebelah kanan. Ini ternyata bener sih. Di dalam kasus gue, apa yang ingin gue tunjukkin adalah kalau gue perhatian sama dia. Gue pernah baca di salah satu artikel di internet kalau cewek suka dilihat perubahan di tubuhnya. Satu-satunya yang gue tahu waktu itu, rambutnya udah gak berponi lagi. Sayangnya, gue tidak tahu kalau efek samping dari kemoterapi itu ternyata bikin botak.

Gue udah berusaha minta maaf. Gue samperin langsung, tapi dia gamau ketemu. Untungnya lama kelamaan luluh juga. Dia baru keluar rumah setelah gue nulis permintaan maaf pake pilok di tembok rumahnya. Cewek memang sulit dimengerti.

Setelah itu hubungan kita mulai baik lagi. Meskipun dia belum mau balikan.

Dan untungnya, beberapa bulan setelah itu, kesehatannya membaik.
Abis itu gue malah jadi takut dan milih untuk menjauh aja.

Tapi gue masih tidak paham soal si bando ini. Gimana ceritanya coba bando ini bisa ada di kamar. Gue coba inget-inget sambil pergi ke dapur, mencuci si bando. Hmmm. Kalau melihat posisi jatuhnya bando ini, asumsi terngasal adalah kepala Salsa nyungsep di antara kasur dan tembok. Kepalanya berhasil diselametin keluar, tapi bandonya tetep nyangkut sampai barusan jatoh pas lagi beres-beres. Tapi… ngapain anjir? Gue bingung sendiri.

Gue coba buka hape, mengecek kontak di LINE. Lalu mengirim foto bando di tangan.

“IH KOK MASIH ADA?” tanya dia.
“Capslock jebol bu?”
“IYA NIH. EHEHEHE. GATAU CARANYA AKU…. EH ITU KOK MASIH ADA?”
“Nggak coba benerin di konter hape?” tanya gue, mulai keluar urat di kepala.
“KATA MAMA NGGAK RUSAK DEH. ANEH EMANG. EH JAWAB YA PERTANYAAN AKU!”
“Coba pencet bagian kiri bawah keyboardnya deh,” balas gue lagi. Urat di kepala udah berubah jadi bakso.
“Oh iya bisa. Hehehe.”
“MASIH AJA GAPTEK KAMU YA?”
“Capslock jebol pak?”
“Enggak. Hehehe.”
“Eh jawab dong itu pertanyaan aku!”

Gue lalu menceritakan semuanya lewat telepon. Mulai dari bangun tidur, sampai tentang gue yang keingat masalah kami waktu itu. Lucunya, ternyata, dia, sama seperti gue, sebenarnya tidak ingin putus komunikasi. Diam-diam dia masih suka membaca twit-twit gue. Dia belum jadian lagi (ini yang paling penting) dan dia sempat mencari bando itu, sampai kemudian beli bando baru dengan model yang sama.

Akhirnya kita janjian untuk ketemuan.

Aneh rasanya ketika kita ingin bertemu orang yang pernah kita sayangi setelah sekian lama. Gue berdiri di depan kaca, senyum-senyum sendiri.

Kesan apa yang mau gue kasih ke dia sewaktu ketemu nanti? Gue membuka lemari. Melihat pilihan baju yang ada. Putih-putih? Gue mau ketemu mantan, bukan pemburu hantu. Hitam-hitam? Lebih kayak mau ngelayat. Hitam putih? Kayak zebracross.

Di saat kayak gini, milih baju kok jadi persoalan yang rumit ya?

Satu minggu kemudian, gue udah berdiri di depan rak buku fiksi. Pilihan gue berakhir pada kaos hitam polos dan celana jeans biru. Menjadi nyaman kayaknya pilihan terbaik untuk situasi kayak gini. Sesekali gue mengeluarkan hape, mengecek jam. Masih dua puluh menit lagi sampai waktu ketemuan. Kalau dipikir-pikir, agak aneh juga memutuskan buat ketemuan di toko buku kayak gini.

Sambil menunggu, gue mengambil buku Critical Eleven. Oke, bagi sebagian orang, mungkin gue akan terlihat banci dengan mengambil buku romanceseperti ini. Tapi mau gimana lagi? Menurut gue tidak ada buku yang terlalu “pas” untuk cowok kayak gue. Baca-baca buku personal literature a la Raditya Dika? Kesannya akan jadi seperti cowok yang kekurangan teman, penyendiri, dan kekanak-kanakan. Sastra? Uh, pasti dicap terlalu kaku. Baca buku OCD Deddy Corbuzier? Takut gak bisa tidur liat cover-nya.

Di dalam Critical Eleven ditulis bahwa saat naik pesawat, akan ada sebelas menit krusial yang bikin kita pasrah. Beberapa menit saat akan terbang, dan menit lainnya saat bersiap mendarat. Kalau buat gue, bagian paling pasrah pas pesawatnya delay.

“Penumpang dengan nomor penerbangan VY393 UU diharap menunggu karena penerbangan ditunda 15 menit..”
“Yaaaah… Abangnya mo pulang… Abangnya mo pulang…”

Oh, itu dia. Datang dengan totebag hitam bertuliskan “FUCK YOU, BITCH!” Ini kenapa dia jadi sangar gini ya. Gue lalu berputar ke belakang rak, berpura-pura tidak melihat. Dari kejauhan dia terlihat masih sama seperti Salsa yang terakhir kali gue ketemu. Badannya, ya, gitu-gitu aja. Kacamata bulat a la Uya Kuya. Celana jeans dan sneakers. Dan rambut sebahu yang sedikit dicat cokelat.

Dia ngeliat gue.

Dia senyum ke gue.

Mampus.

Jantung gue berhenti.

Senyumnya kayak bilang: “Fuck you, Di!”

Dobel mampus.

Gue menarik napas, naroh buku dengan sok cool abis, lalu melambaikan tangan. Di sela buku-buku yang ada, dia menyambut gue dengan hangat. Ini yang gue khawatirkan. Pertanyaan-pertanyaan di masa lalu, dan kenyataan bahwa dia masih seperti dulu bikin gue kalang kabut. Setelah beberapa pertanyaan kemudian, gue memberikan bandonya.

“Gimana?” tanya Salsa, langsung memasang benda itu di kepalanya.

Gue mundur satu langkah. “Kalo aku bilang ‘najis’ pasti kamu jitak kan? Jadi ‘bagus’ deh.”

“Ih kok gitu?!” Dia mendorong gue.

“Aaaaaaarrggghhh!!” seru gue, pura-pura mental ke belakang. “Masih macho aja kamu ya. Kalah aku nih.”

Dia ngegebuk gue. “Sialan!”

Entah apa yang gue rasakan waktu itu. Tapi rasanya kayak gue menemukan dia lagi. Gue tahu ada jeda setiap kali dia memilih kalimat tertentu. Gue juga tahu terkadang ada hening canggung di antara obrolan kami. Tapi, entah kenapa, gue tidak ingin hari itu cepat berakhir. Sampai kaki kami pegal dan akhirnya memilih untuk melanjutkan obrolan di salah satu kedai kopi. Stephen Hawking punya kebiasaan berhenti menulis di tengah-tengah paragraf supaya saat mengerjakan sesi selanjutnya, dia tidak stuck dan bisa langsung melanjutkan dengan cepat. Mungkin ini yang gue rasakan sekarang. Gue dan Salsa terakhir ketemu saat kami pertama kali makan di Roti Bakar Eddy. Saat itu kami bertaruh soal penyebab ramainya tempat ini. Gue bilang karena harganya murah, sementara dia karena makanannya enak. Di tengah obrolan, tetangga gue mengabarkan kalau rumah gue kebakaran. Gue pergi sewaktu dia di kamar mandi.

Yha, goblok memang.
Sama kayak gue, yang masih punya perasaan ke dia. Sampai sekarang.
Goblok memang.

--
Gue diam, menuang botol coca-cola ke dalam gelas dan meminumnya. Di depan gue, Salsa meletakkan buku yang baru aja gue kasih. “Bagus sih walaupun tulisan lo kayak tulisan dokter abis disetrum. Tapi… INI KENAPA PAKE NAMA GUE KAMPRET?!”

“Uhuk! Uhuk! Ehem!” Gue pura-pura keselek.

“DAN INI APA-APAAN STEPHEN HAWKING YA?!” Dia menunjuk paragraf akhir dari buku bersampul hitam itu. “Setahu gue yang kayak gitu Hemingway deh. Iya gak sih?”

“OHOHEK HOEK HOEK!!” Coca-cola muncrat dari lobang idung. Setelah agak tenang, gue bilang, “Yah, terus terang, gue pengin banget bisa bikin tulisan kayak gitu deh. Kayak buku-buku yang kesannya hasil riset mendalam. Yang biasa lo baca gitu. Tapi gue kan gatau harus nyari ke mana. Gue pikir lo nggak bakal sadar, Sa. Ampun. Jangan amputasi gue.” Gue menutup kepala dengan dua tangan, takut digebuk.

“YEE SI KAMPRET.” Matanya kembali berjalan di sepanjang tulisan. Sampai kemudian berhenti dan melanjutkan, “I-ini... Schrodinger juga bukannya yang kucing itu ya?”

Gue menggeleng tanda tidak tahu. Sambil nengok kanan-kiri. Kali aja ada kantong kresek yang pas untuk dipake ke muka gue.

Salsa kemudian mengetik sesuatu di handphone-nya, lalu memberikannya ke gue. Dia kemudian ngasih tahu kalau Schrodinger itu fisikawan asal Austria. Terkenal karena teori kucing schrodinger-nya yang menjelaskan fenomena fisika kuantum. Di saat ini, gue cuman bisa pura-pura haus dan terus miinum… dan berharap keselek lalu modar di tempat. Malunya itu lho.

Gue menutup buku, memasukkannya ke dalam tas. “Udah, udah, gak usah dibaca lagi. Malu gue.” Gue menatap wajahnya, berusaha merekam adegan ini di dalam kepala. Ekspresi wajahnya. Senyum-senyum pengin ngejitaknya. Caranya menunjuk layar handphone. Matanya yang cokelat. Dan di dalamnya, ada gue, yang berharap, kalau gue dan dia, akan jadi cerita yang lebih baik dari sekadar tulisan fiksi bohong ini.

Hening canggung.

“Kenapa, Di?”
“Enggak. Enggak ada apa-apa Salsa.”
Viewing all 206 articles
Browse latest View live