Bagi kebanyakan orang, harapan menjadi salah satu tumpuan paling berpengaruh dalam hidup. Kita semua, mempunyai harapan-harapan yang kita tanam di dalam diri, untuk menjalani hari dengan lebih baik. Bagi sebagian orang, harapan itu ada pada gaji yang lebih tinggi. Beberapa yang lain semangat kuliah dengan harapan skripsinya cepat selesai. Ada juga yang menaruh harapan demi menyaksikan orang tua yang bangga.
Tetapi, tidak jarang kita menaruh harapan pada hal-hal remeh. Anak kuliah bisa saja buru-buru menyelesaikan tugas hanya demi makan pecel di warung kesukaan. Sementara bagi anak sekolah, harapan lebih sering kita tujukan kepada lawan jenis. Seseorang yang, setiap kali kita temui, entah kenapa, membuat kita gemetaran karena gemas.
Orang-orang ini, seringkali hanya kita jadikan motivasi untuk terus semangat. Hanya kita kagumi keberadaannya. Tidak ada keinginan sedikitpun, untuk benar-benar mengenalnya lebih jauh.
Uniknya, terkadang kita tidak punya alasan yang jelas kenapa memilih ‘Seseorang Untuk Berharap’ ini. Bisa hanya sesimpel dia terkenal. Atau sekompleks kita dan dia yang selalu dihukum guru yang sama. Gue sendiri, sejak kecil, kayaknya punya beberapa Seseorang Untuk Berharap. Berikut beberapa yang paling gue ingat:
Ayu
Entah kenapa, sewaktu kelas 6 SD, ada masa di mana setiap orang harus punya orang yang ditaksir. Bahkan, tidak jarang ini menjadi ajang pamer tersendiri. Sampai salah seorang teman nyamperin gue dan nanya, ‘Eh, kamu naksir siapa, Di? Nanti aku kasih tahu deh aku naksir siapa.’
Masalahnya, gue tidak punya siapapun untuk ditaksir.
Berhubung gue takut diketawain dan dibugilin masal, gue harus bisa menjawab pertanyaan itu. Seinget gue, hampir kebanyakan anak kelas naksir Ayu, cewek berkerudung di kelas. Daripada dikucilkan pergaulan, gue jawab, ‘Ayu. Emang kamu siapa?’
‘Oooh Ayu. Ciyeeeeeee,’ ledek temen gue itu. Lalu dia kabur.
Temen gue dari kecil udah brengsek semua.
Setelah ngejawab pertanyaan itu, gue malah benaran jadi kebayang-bayang. Gue jadi lebih sering merhatiin Ayu. Gue, yang tadinya gak peduli, sekarang selalu ngelihatin Ayu lebih lama setiap dia masuk kelas. Sampai pada pelajaran kesenian. Dari situ gue tahu kalau Ayu jago nyanyi. Selain jago ngaji, kerudungan, suara dia ternyata merdu banget. Sejujurnya, gue gak pernah ngerasa kalo cewek yang jago nyanyi itu adalah cewek yang cantik, yang patut ditaksir. Tapi, karena anak kelas pada naksir, gue pun ikutan aja. Gue mulai ngerasa kalo dia beda kayak cewek-cewek lain di kelas yang tiap istirahat pada main karet. Gue ngerasa kalo dia nggak sama kayak… Ayu Azhari.
Semakin lama, gue jadi semakin kagum sama Ayu. Pantas aja banyak anak kelas yang naksir dia. Dan, ada satu momen yang gue ingat. Satu momen yang, kala itu, sering gue putar kembali sewaktu sedih. Momen di mana ujian pelajaran kesenian. Satu per satu murid dipanggil ke dalam kelas untuk menyanyi. Kami semua ada di luar kelas ketika Ayu dipanggil pertama kali. Gue, bersusah payah jinjit mengintip di pinggir jendela, memerhatikan Ayu yang meliukkan tangannya sewaktu bernyanyi.
Momen itulah yang selalu gue ingat, dan ingat kembali, ketika lagi bete. Ketika lagi malas sekolah. Momen yang bikin gue deg-degan dan ngerasa semangat. Kayak ada yang ngomong, ‘Tujuan hidupmu telah bangkit, Adi! Kerjain peernya sekarang!’
Kalo dipikir-pikir, lucu juga gue pernah ngelakuin hal abnormal kayak gitu. Gimana gue menggantungkan harapan kepada orang lain, hanya karena orang-orang pada naksir. Dan lucunya, cerita ini berakhir gitu aja, setelah gue lulus SD. Gue nggak tahu dia masuk SMP mana, dan sama sekali nggak ada niat untuk mencari tahu. Semua benar-benar berlalu begitu saja.
Rachma
Salah satu pelajaran yang paling gue hindari sejak SD dan SMP adalah bahasa inggris. Kalau orang kebanyakan membuat asosiasi IQ Jongkok untuk orang yang begonya kebangetan. Mungkin, untuk bahasa inggris, IQ gue jongkok, kemudian buka celana dan boker di meja guru. Gue sama sekali gak paham sama yang namanya bahasa inggris.
Tapi tidak dengan Rachma.
Rachma adalah teman sekelas gue sewaktu SMP. Kepandaiannya akan bahasa inggris membuat gue merasa kagum sama dia. Setiap pelajaran bahasa inggris, tidak jarang Rachma dipanggil ke depan dan disuruh bercerita dengan bahasa inggris, yang, ketika itu, pengin banget gue sautin dengan, ‘Thank you. I love you too.’
Rachma yang hitam manis ini selalu gue perhatikan dari jauh. Selalu bikin gue senyam-senyum sendirian. Bahkan, secara tidak sengaja, kami pernah berada di satu kelompok yang sama. Pernah berada sedekat itu. Anehnya, gue justru selalu menghindar dan menjaga jarak kepada Rachma. Gue berharap dia tidak kenal gue, dan dia hanya menjadi Seseorang Untuk Berharap bagi gue. Seseorang untuk gue semangat berlatih bahasa inggris.
Lucunya, beberapa waktu lalu, gue tidak sengaja menemukan akun Instagramnya. Dan saat melihat-lihat fotonya, tidak ada lagi alasan untuk gue mengagumi dia. Mata gue sudah menangkapnya seperti akun Instagram perempuan lain. Sudah tidak ada lagi alasan bagi gue, untuk menjadikannya Seseorang Untuk Berharap.
--
Harapan memang menjadi bagian penting dalam hidup manusia. Itulah kenapa, kita berani mengejar mimpi yang kita buat sendiri, seaneh apapun itu. Tidak punya harapan mungkin sama seperti tidak punya emosi; kosong, diam, luntang-lantung gak jelas. Dan gue yakin, semua orang pernah merasakan hal itu. Maka pertanyaannya adalah: Bagaimana kalau di saat kita tidak sedang punya harapan, di luar sana, ada yang menjadikan kita sebagai Seseorang Untuk Berharap?