Postingan ini masih nyambung dikit sama tulisan yang sebelumnya.
Kalo belum baca, bisa klik link ini dulu.
Entah kenapa masih ada sisa pikiran dikit dan gue baru ketemu jawabannya tadi malem. Oke, biar gue buka dengan bilang kalau mungkin kamu udah sering denger kalimat tentang kehidupan artis yang tidak seperti apa yang kita lihat di layar kaca. Kita tahu kalau terkadang, feed Instagram seseorang lebih indah dibanding hidup orang itu. Keliatannya cakep, ternyata mukanya kayak rendang. Coklat-coklat benyek gitu. Orang yang kita lihat hepi-hepi aja, bisa jadi sedang menutupi sesuatu. Orang yang kita ledekin lalu ketawa-ketawa, bisa aja diam-diam memendam sakit hati. Begitu pulang, baru nyantet kamu pake boneka voodoo.
Maka dari itu,
gue mau minta tolong ke kamu supaya lebih peka sama orang-orang sekitar. Sama temen deket. Sama orang yang kamu sayang. Gue cukup beruntung karena dilahirkan di keluarga yang ngajarin soal kasih sayang (walaupun sering gagal. Hehehe). Gue cukup beruntung punya temen yang peduli. Gue cukup beruntung bisa menyalurkan keresahan lewat tulisan.
Tapi nggak semua orang seberuntung gue.
Nggak seberuntung kita.
Beberapa waktu lalu “penyakit” gue kambuh. Gue ngerasa sendiri. Gue ngerasa tidak punya siapa-siapa. Gue ngerasa tidak punya tempat untuk cerita. Lalu pikiran-pikiran buruk datang. Gue takut. Rasanya kayak terhisap ke dalam lubang yang gue buat sendiri, lalu terjebak dan gak bisa keluar. Dan semakin lama semuanya jadi semakin gelap dan bikin gue sesak napas. Sampai kemudian gue ketemu sama videonya Brandon Burchard soal mengatasi rasa takut (bisa cek di sini). Dan akhirnya gue berusaha jujur sama diri sendiri. Lalu jadi postingan yang kemarin.
Lucunya, tidak lama setelah itu terjadi, gue seperti ditunjukkin sama Allah. Gue didatengin temen-temen yang peduli. Lalu gue nonton Before I Fall, yang bercerita tentang apa yang terjadi kalau kamu menjalani hidup yang sama setiap hari. Nggak lama setelah itu, temen gue, yang selama ini gue anggap hidupnya tenteram. Duitnya segudang. Suka jalan-jalan. Akademisnya keren. Mendadak cerita kalau dia ngerasa selama ini hidupnya berantakan. Dia cerita panjang lebar soal masalahnya, soal keluarganya, soal orang-orang terdekatnya yang dia rasa tidak mensupport dia.
Entah kenapa semuanya kayak ngasih tahu hal yang sama. Kalau gue tidak sendirian.
Kalau kamu tidak sendiri.
Lalu gue mulai mikir. Kenapa ini bisa terjadi? Kenapa banyak orang yang memendam masalahnya sendirian? Sampai di salah satu sesi obrolan editor dan penulis (videonya disini, 37 menit) ngasih tahu kalau sekarang cara kita berekspresi udah mulai berubah. Attention span kita jadi jauh sangat rendah. Kita jadi gampang terdistraksi. Akibatnya, di dunia maya kita jadi sering menulis dengan buru-buru dan pendek. Dan di situ masalahnya: tulisan seseorang baru akan baik setelah beberapa kali editing. Kalau kita liat sesuatu lalu emosi dan gak suka, kita jadi bakal gampang komentar. Dan komentar kita pasti buruk karena apa yang kita tulis pertama kali adalah sampah yang ada di kepala kita.
Hal lain yang lebih gawat adalah, kita jadi pengin “terlihat”. Era yang ngebuat kita gampang berekspresi ini ngebuat kita jadi pengin kelihatan dan diapresiasi orang. Akhirnya, apapun informasi yang kita terima, kita pengin “pelintir” supaya perhatian orang lain tertuju pada kita. Entah itu dengan komentar lucu yang tidak nyambung, membuat komentar asal, minta pertamax, dan lain sebagainya. Apakah ini salah? Mugkin nggak bisa dibilang gitu juga.
Masalahnya, secara tidak langsung, kebiasaan ini membawa pengaruh di kehidupan nyata kita. Kita merasa pengin jadi orang yang diperhatiin. Kita jadi egois. Kita nggak mau dengerin cerita-cerita orang dan menganggapnya sepele. Padahal, satu hal yang mungkin kita tidak tahu, ketika ada orang yang ngomong “Gue mau cerita deh”, di sana ada dia yang sudah menurunkan egonya. Dia sudah jujur sama dirinya sendiri tentang perasaannya.
Dan dia,
sedang percaya sama kita.
Bukan orang lain.