Quantcast
Viewing all articles
Browse latest Browse all 206

Lebih Dari Simpati



Masih terdengar jelas di kepala gue suara tangis Agung lima belas menit yang lalu. Kalimatnya yang terputus-putus karena harus menarik napas, menjaga supaya tidak sesak. Semakin lama jeda kalimat yang dia buat, semakin lama gue berpikir tentang kebenaran kabar yang dia sampaikan. Setelah telepon gue tutup, entah kenapa ada dorongan untuk pergi ke minimarket, membeli tiga kaleng kopi, lalu naik ke lantai tiga gedung MIPA.

Gue duduk bersender di pilar putih,
menatap samar-samar langit Bogor yang tertutup kabut.

Ketika ada kabar yang datang saat kita tidak siap, hal pertama yang dilakukan adalah bertanya. Orang-orang yang mendapat kejutan di hari ulang tahunnya akan bertanya sambil tersenyum, memeluk semua temannya satu per satu. Seorang anak yang mendapati Ayahnya pulang kantor lebih cepat, akan bertanya sambil mencium tangannya, membuka mungkin martabak, atau brownies, atau apapun oleh-oleh yang dibawakannya. Orang-orang yang mendapat kabar tentang kematian sahabatnya, akan bertanya kepada dirinya sendiri. Matanya mengawang-awang. Pikirannya terus, dan terus berputar.

Ini yang sedang gue alami. Setiap mengingat kalimat ‘Bobby udah nggak ada’ dari Agung lima belas menit yang lalu, gue menenggak kopi. Mendalami kalimatnya. Suaranya. Maksudnya. Sambil menatap jauh ke lampu jalan di bawah. Mendengarkan hening yang datang bersama angin malam. Gue seperti orang mabuk, versi lebih cemen.

Setelah lama berpikir, akhirnya gue menyerah. Selama ini gue menganggap kematian adalah hal yang samar. Meskipun gue tahu setiap harinya ada orang yang meninggal di rumah sakit, atau tewas saat perang, atau kecelakaan, tapi gue tidak pernah menganggap itu ada. Gue melupakan satu kenyataan bahwa kematian itu benar-benar ada; dan itu pahit.

Mendadak, gue kangen Bobby.

Lucu bagaimana kita lebih sering kangen ketika orang tersebut tidak ada bersama kita. Kita baru merasakan pentingnya orang itu, justru di saat dia tidak ada. Gue ingat banget dulu, sebelum masa game online meledak, kami sering main game Harvest Moon. Sebuah permainan di mana kita menjadi petani yang mengurusi sawah dan peternakan. Karena permainan ini hanya bisa dimainkan satu orang, jadilah kami bertiga mengakalinya dengan main di rumah masing-masing, kemudian saling teleponan dan berpura-pura mempertemukan karakter kami di satu tempat.

‘Oh, lo di toko? Mau beli bibit apa? Tungguin ya. Gue juga mau ke sana.’ Gue menjepit gagang telepon di antara pundak dan telinga kiri, sementara tangan sibuk menekan joystick.

Walaupun gak penting dan kelihatannya aneh, tapi saat itu telepon rumah adalah satu-satunya alat yang mempertemukan kita ketika jauh. Telepon menjadi penghubung yang membuat kami semakin dekat.

Sampai kemudian, gue sadar. Kami tidak akan bisa melakukannya lagi. Bahkan dengan zaman yang sudah jauh lebih canggih, gue tidak bisa menghubunginya lagi.

Tiga kaleng kopi sudah habis gue minum,
Ponsel gue berbunyi. Satu pesan dari Agung: ‘Sekarang kita cuman bisa berdoa aja, Di.’

--
Sekarang #IndonesiaMakinDigital. Cara kita berhubungan menjadi lebih cepat dan taktis. Dengan menggunakan simPATI, misalnya, kita bisa menghubungkan orang-orang di mana saja. Kita bisa menelepon orangtua di kampung halaman saat merantau. Atau traveling tanpa harus goyang-goyangin hape di pinggir jalan untuk cari sinyal.

Image may be NSFW.
Clik here to view.
kresnoadi nyari sinyal
nyari sinyal

Ini karena simPATI merupakan provider dengan cakupan sinyal paling luas. Lucunya, gara-gara sinyal ini gue dan Abang gue pernah ketakutan setengah mati. Jadi, pas gue SMP, Nyokap tiba-tiba mengabarkan kalau dia harus dinas di Taman Nasional Gunung Halimun Salak selama tiga hari. Berhubung ketika itu Bokap kerja di Cirebon, Nyokap jadi cemas, takut anaknya kenapa-kenapa di rumah sendirian. Dan lebih takut rumahnya dibakar dua anaknya ini.

Kesedihan bagi satu orang mungkin tidak berarti bagi orang lain. Nyokap yang sedih karena bakal ninggalin kami sendirian bukan berarti membuat kami sedih. Buat abg seperti kami, momen ini bernama: Kebebasan! Kepala gue langsung memutar adegan-adegan party di film-film: gue mengundang berbagai temen, nyetel musik kenceng-kenceng, makan popcorn, lalu mandi di Jacuzzi bareng cewek-cewek. Khayalan itu pun sirna seiring gue yang inget kalo di kamar mandi cuman ada ember dengan gambar bebek kuning. Gue merasa nyempil di ember rame-rame nggak akan bikin keren (yaiyalah!), yang ada pantat gue migrain karena dempet-dempetan.

Setelah Nyokap pergi, kami pun segera menjalankan aksi masing-masing. Gue menelepon temen SMP, dan Abang gue memanggil arwah penasaran temannya. Malam itu niat kami hanya satu: Adu turnamen game Playstation bola!

Seperti halnya cowok lain ketika main Playstation bola, ada aja keributan yang terjadi. Kalimat drama yang biasanya terlontar di antaranya: ‘Stick-nya gak asik nih!’ atau ‘Kalo ngegolin replay-nya gak usah ditonton kenapa!’ sampai ‘Pemain gue tadi lagi jelek statusnya!’ Namun, dari semua drama abg cowok saat main game PS bola, yang paling bikin emosi adalah mereka yang ngegolin menggunakan metode operan satu-dua. Atau bahasa inggrisnya: one-two. Atau dalam bahasa alay: wancu. Teknik itu membuat penyerang mampu membobol gawang lawan dengan gampang. Makanya, ada semacam peraturan tidak tertulis yang menyebutkan bahwa main game PS bola itu gak boleh pake wancu. Kami pun sepakat kalau wancu adalah teknik pengecut.

Di tengah keriuhan main game PS bola,
telepon rumah bunyi.

Suasana mendadak hening.

Agung menekan tombol start. Mem-pause permainan, lalu menengok ke arah gue. ‘Kata lo di tempat dinas Nyokap gak ada sinyal?’

Gue hanya menaikkan bahu. Telepon terus berdering. Gue mengangkat telepon dan menaruh jari telunjuk di depan bibir. Memberikan kode kepada yang lain untuk memotret diam.

‘Halooo!’ Suara yang tidak asing. ‘Di rumah apa kabar?’

Gue diam. Lalu berniat bikin bingung orang ini dengan bertanya, ‘Password-nya?’ tapi gue yakin Nyokap bakal ngomel. Jadi gue jawab: ‘Baik kok, Bu. Ini di rumah lagi pada main pees.’

‘Lho, udah jam berapa ini?’ Gue melihat jam di dinding: pukul sembilan malam. ‘Suruh pulang aja temennya. Udah malem gini lho.’

‘Ibu kok bisa nelepon?’  tanya gue, berusaha mengalihkan pembicaraan.

‘Iya nih. Ibu juga kaget. Ternyata simpati doang yang bisa di sini! Hihihihi,’ Nyokap ketawa geli. Bangga bener.

Kalimat itulah yang paling berkesan di kepala gue. Karena selain langsung kepikiran, ‘Wow. Keren juga simPATI. Sinyalnya ada sampai ke mana-mana’ juga menimbulkan ‘Wow. Beruntung sekali Agung. Gakjadi gue bantai dengan teknik wancu.’

Image may be NSFW.
Clik here to view.
cinemagraph kresnoadi
Connect Everywhere

Di zaman sekarang, hal seperti itu masih amat mungkin terjadi. Perbedaannya hanya sekarang, semua hal menjadi serba digital. Itulah sebabnya kita sering menemukan abege yang hapenya mahal tapi gak punya pulsa telepon. Sekarang, melalui internet, kita tidak cuma bisa berhubungan dengan cepat, tapi juga praktis. Untuk kebutuhan sehari-hari, kita sudah bisa teleponan menggunakan internet. Bagi yang pergi merantau dan kangen orangtua, bisa video call dan melihat wajah mereka secara langsung. Bagi yang posesif, bisa memanfaatkan internet untuk mintain foto lagi di mana dan sama siapa ke pacarnya.


Untungnya, tingginya kebutuhan internet ini juga didukung oleh jaringan 4G yang membuat kita tidak perlu panik dan bertanya, ‘Kamu panas dalam? Kok mukanya pecah-pecah gitu?’ saat melakukan video call. Satu hal yang mungkin banyak orang tidak tahu adalah, untuk mendapatkan akses jaringan 4G, kita harus menukar kartu SIM tersebut dengan simcard yang sudah 4G. Dan hal lain yang mungkin banyak orang tidak tahu adalah, kita tidak harus ke GraPARI buat ngurusnya:


Ironisnya, era #IndonesiaMakinDigitalini mengubah gaya hidup kita dalam berkomunikasi. Sejujurnya, ada hal-hal yang gue kangenin saat masih menggunakan telepon rumah. Perasaan deg-degan karena tidak tahu suara siapa di seberang sana. Perasaan cemas karena takut salah ngomong. Perasaan memilih-milih kalimat yang tepat, untuk meminta izin supaya dapat menghubungkan dengan orang yang ingin kita telepon. Perasaan takut karena yang terdengar justru suara orang asing, dan akhirnya kita menutup telepon.

Bagaimana telepon rumah, secara tidak langsung membuat kita berpikir terlebih dahulu sebelum berbicara. Berbeda dengan zaman sekarang di mana setiap orang punya ponsel masing-masing sehingga bisa berbicara secara langsung. Zaman di mana orang merasa asing berkomunikasi secara langsung. Bagaimana kita jadi takut memanggil orang saat di depan rumah dan justru memberikan pesan kepada orang itu untuk keluar. Bagaimana ketika baterai ponsel habis, ada sepuluh menit yang dihabiskan untuk berunding di dalam mobil tentang siapa yang akan menanyakan alamat kepada pejalan kaki.

Karena merasa ‘jauh’, internet membuat kita jadi berani berbicara apa saja. Semakin ke sini, kita semakin sering menemukan komentar-komentar tidak pantas. Terlebih situasi politik saat ini yang sedang memanas. Internet dijadikan sarana untuk memaki. Menyebarluaskan kebencian kepada orang lain. Kondisi ini diperparah dengan mereka yang berlindung di balik “freedom of speech”. Internet membuat kita tidak sadar, bahwa sebetulnya kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan.

Melihat ini, tampaknya kita harus lebih dari sekadar bersimpati. Kalau Agung mengingatkan gue bahwa satu-satunya cara untuk berhubungan dengan orang yang sudah tidak ada adalah dengan berdoa,

kenapa selagi ada di dunia,
kita tidak menghubungkan hal-hal baik saja?

Viewing all articles
Browse latest Browse all 206

Trending Articles