Quantcast
Channel: Kresnoadi, beserta rambutnya yang tidak kribo.
Viewing all articles
Browse latest Browse all 206

Patah Hati Terkonyol

$
0
0
Hoah. It’s been a long time since last post.

Kangen banget rasanya menulis dengan asal lagi. Terus terang, ada beberapa alasan mendasar yang bikin gue belum sempet update lagi. Tapi, kayaknya itu terlalu privasi dan gue belum berani untuk menulis di sini deh. Jadi, yahhhh gitulah.

But, whatever it is, now I’m back beibeh.

Sebetulnya banyak banget yang mau gue ceritain. But, let me talk this first.Kasih sayang, cinta, atau apapun itu orang menyebutnya. Perasaan, yang, selalu paling sulit untuk dideskripsikan. Rasa gemes berlebihan terhadap seseorang sampe-sampe bikin kta geregetan sendiri. Nicholas Sparks bilang kalau cinta itu seperti angin, kita tidak dapat melihat, tapi bisa merasakannya. MGK di lirik lagunya menulis bahwa cinta adalah kupu-kupu dan sakit perut. Begitu banyak orang yang mendefinisikan cinta dan semuanya berbeda-beda. Plato bahkan mengatakan kalau cinta itu penyakit mental.

Nah, masalahnya, pada sadar nggak sih. Dengan semua keabsurdan soal cinta ini, bagaimana orang yang pertama kali merasakan jatuh cinta bilang ke temennya? Bagaimana orang ini, memberi tahu bahwa yang dia rasakan itu bernama... cinta? Bagaimana kemudian orang ini nembak dan menyatakan perasaannya. Apakah si orang itu akan bertanya-tanya, ‘Eh, waktu aku ngeliat kamu... kok aku deg-degan ya? Ini maksudnya apa sih?’

Lucu bagaimana seseorang berusaha mengungkapkan apa yang dia rasakan kepada orang lain. Gue terkadang berpikir bagaimana kata ‘cinta’ pertama kali ditemukan. Bagaimana orang-orang bahasa ini merumuskan perasaan. Berkumpul di tengah ruangan. Berdiskusi, lalu memegang dada sambil cengar-cengir, ‘Eh kalo lo ngerasa kayak gini namanya ‘cinta’ ya. Setuju?

‘Gini gimana?’
‘Deg-degan gitu.’
‘Kebanyakan ngopi?’
‘BUKAN!!!’

Lalu mereka sepakat kalau perasaan gemas berlebihan sampe bikin kita pengin gigit-gigit kuping gebetan sambil ngeremes baju sendiri itu dinamakan ‘cinta’. Lalu masalah selanjutnya datang. Jika kita punya istilah khusus untuk perasaan menyenangkan itu, kenapa kita tidak punya istilah untuk patah hati? Kenapa orang-orang ini gak mau ngasih kata baru kayak ‘Pores, Yehbah, atau Kuma’ untuk patah hati. Kenapa perasaan hancur, sakit, berantakan, hanya diberi nama sesimpel... patah hati? Padahal, hati itu organ yang lembek kayak tahu. Bukan tulang atau kayu yang bisa patah. Melihat anatomi organnya, seharusnya istilah patah hati diganti menjadi... hati mejret?

Well, lagipula kenapa sih orang-orang bahasa ini tidak membuat satu kata baru aja? Padahal, patah hati adalah hal yang penting. Perasaan yang khas dan unik. Kenapa mereka justru sibuk mikirin orang yang kepalanya terbentur tembok dan malah membuat istilah... benjol.

Karena, pada dasarnya, setiap orang pasti akan mengalami patah hati. Bahkan, semalem heboh beredar kabar soal patah hati terhebat Rachel Vennya. Tentang seseorang yang diselingkuhi pacar sehingga ia batal menikah.

Everybody can fall in love, and so break their hearts.

Dalam frekuensi paling kecil sekalipun, secara tidak sadar kita pernah mengalami patah hati terkonyol. Ikal dalam Laskar Pelangi patah hati sewaktu tidak lagi melihat ‘kuku cantik’ di toko kapur. Andy patah hati begitu sadar ia bertumbuh dan harus merelakan mainannya. Seorang anak bisa jadi akan patah hati saat mengetahui sarung guling kesayangannya dicuci diam-diam.

Dan gue, baru aja mengalami patah hati terkonyol.

Peristiwanya terjadi minggu lalu. Percaya nggak percaya, setiap orang punya caranya sendiri untuk melawan rasa pengin gantung diri gara-gara macetnya Jakarta. Cara gue, adalah melihat ini:

Ada yang tahu namanya?

Foto itu adalah billboard yang ada di jalan Slipi. Entah kenapa, tiap kali abis macet-macetan dari Pamulang ke kantor, ngeliat foto si cewek itu di billboard bikin gue cengar-cengir sendiri. Apa emang bener ya kata orang-orang kalau senyum itu menular? Lucunya, billboard itu juga ada di Pondok Indah. Jadi, sewaktu pulang dari kantor, gue tetap bisa ngelihat foto si mbak-mbak itu.

Keparatnya, minggu lalu, billboard itu secara misterius berubah.

Gue masih inget banget kejadiannya. Ketika itu malem pulang kantor. Tanah masih becek bekas selesai hujan. Dan, seperti biasanya. Perpaduan jam pulang kantor dan hujan selalu bikin Jakarta lebih macet dari biasanya. Gue udah gerah banget, di underpass PIM rasanya pengin jerit-jerit di atas motor. Setelah bersabar-sabar (dan beberapa kali meneteskan air mata), gue berhasil ngelewatin PIM. Di bagian ini jalanan selalu lebih lengang. Gue menambah kecepatan sambil menengok ke kiri. Bersiap melihat foto si mbak-mbak menenangkan jiwa.

TAPI GAK ADA.
Malah berubah jadi beginian:



DI MANA BOTAKNYA YA ALLAH.

Begitu tahu billboardnya ganti, gue langsung patah hati. Galau. Pulang masuk kamar, ngurung diri. Kemudian menangis semalaman. Terlebih pas tahu Ria Tangerang keluar dari Golden Memories.

Sampai beberapa hari kemudian, gue baru sadar. Kayaknya nggak ada gunanya deh sedihin dia (ya iyalah!). Gue pun harus cari cara lain supaya gak emosi sewaktu macet. Kalo lo pernah ngerasain patah hati terkonyol gak sih? Apa cuma gue ya? Muahahaha. 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 206

Trending Articles